Deadline - 10

2045 Kata
Deva sedang merapikan berkas-berkas yang ada di mejanya. Matanya sibuk memeriksa setiap map tanpa melewatkan satupun. Suara ketukan pintu mengalihkan pandangannya. Alya datang wajah malasnya seperti biasa. "Pak Deva kenapa manggil saya mulu, sih? Dari kelas ke kantor Pak Deva itu jauh tahu!" "Bantu saya koreksi tugas anak semester satu. Saya gak punya cukup waktu kalau ngerjain sendiri." "Harus saya?" Deva menaikkan sebelah alisnya. "Iya kamu. Kalau saya minta yang lain, mereka pasti berisik. Tahu sendiri, saya banyak pengagumnya," kata Deva sedikit menyombongkan diri. "Ckckck. Sombong sekali anda." Deva menahan senyumnya. Alya duduk di kursi yang ada di depan Deva lalu mulai mengoreksi tugas-tugas milik adik kelasnya itu. Ponsel Deva berdering. Sebuah panggilan masuk dari dokter Felix membuyarkan konsentrasinya. "Iya, Halo, Dokter. Ada apa telepon saya? Pasti ada hal penting." Alya melirik ke arah Deva sebentar, lalu kembali fokus pada kertas jawaban yang ada di tangannya. "Baik. Saya akan datang. Tentunya dengan istri saya." Kali ini Deva yang melirik Alya. Deva mematikan panggilan itu. Ava mengernyit. "Siapa?" "Dokter Felix. Dia salah satu orang penting dan kebetulan saya kenal karena saya pernah jadi pembawa acara di perayaan besarnya dan … dia teman ayah saya." "Oh." "Besok malam, ada acara peresmian perusahaan milik beliau. Acaranya diadakan salah satu hotel di Jakarta. Kamu mau ikut saya?" Mata Alya langsung berbinar. "Ikut, dong. Pasti makanan di sana enak-enak. Sayang-sayang kalo gak ikut. Jarang-jarang, kan, datang ke acara orang penting." "Tapi sebagai istri saya, bukan mahasiswa saya." "Iya, saya tahu." "Kamu mau?" "Mau apa? Jadi istri Pak Deva? Ya, saya, kan, memang istri Pak Deva. Pak Deva mau ngajak istri, kan? Yaudah, saya ikut." Deva tertegun. Jika biasanya Alya akan menolak mengungkap statusnya, kini gadis itu malah bersikap sebaliknya. "Jadi sekarang kamu mau mengakui status kamu sebagai istri saya?" "Ternyata jadi istri Pak Deva punya manfaat besar buat hidup saya," kata Alya bangga. "Contoh kecilnya, saya bisa jadiin Pak Deva ancaman buat nakutin Silvy dan Raka," kata Alya dengan santainya. Alya tetaplah Alya. Anak ini benar-benar luar biasa pemikirannya sampai ia hanya bisa geleng-geleng kepala. "Terserah kamu aja, Alya." *** Alya mengambil sebuah buku di rak perpustakaan. Ia duduk di salah satu kursi kosong dan mulai membaca dalam diam. Sebuah ketukan di meja membuyarkan konsenterasinya. Arvee mengedipkan sebelah matanya lalu tersenyum. "Arvee? Lo ngapain di kampus gue?" Pria itu menghela napas. Ia duduk di kursi yang ada di sebelah Alya. "Lo lupa? Gue, kan, perwakilan buat ikut seminar di kampus lo." Alya menepuk dahinya. "Ya ampun, maafin." "Faktor usia, tuh. Udah diingatin biar cepat-cepat nikah." Alya terkekeh. "Anda sendiri? Kapan punya gebetan? Lihat itu tangan lumutan gak ada yang gandeng." Arvee mengacak-acak rambut Alya, gemas. Disudut ruangan, Silvy menarik lengan Raka dengan tergesa-gesa. "Alya lagi selingkuh, kita harus samperin dia, Ka." "Apaan, sih. Itu, kan, Arvee." "Iya, emang Arvee. Lo tahu Arvee siapa? MANTAN ALYA!" kata Silvy dengan menekankan dua kata terakhir. "Iya terus?" "Ah, lo, mah gak peka banget." Silvy berjalan mendahului Raka kemudian menghampiri Alya dan Arvee. "Ehem." Keduanya menoleh ke arah Silvy. Gadis itu berdeham lagi, namun kali ini ia menatap Arvee. Pria itu langsung tersadar, ia bangkit dari duduknya dan membiarkan Silvy duduk di tempat itu. "Gak boleh berduaan. Al, lo harus ingat doi!" Alya menepuk lengan Silvy menyuruh gadis itu diam. Arvee mengerutkan dahinya. "Lo udah punya pacar, Al?" Baru saja Alya ingin menjawab, Silvy sudah lebih dulu membuka suara. "Udah, dong. Teman gue ini, kan, cantik. Pasti cepat lakunya." Arvee tertawa pelan. Ia mengacungkan jempolnya ke arah Alya. "Mantan gue emang paling the best. Salam buat pacar lo. Gue ke audit dulu, ya. Bye, Al. Bye, temannya Alya." Sepeninggal Arvee, Alya langsung memukuli Silvy. Benar-benar tidak tahu waktu. "Mulut lo mesti gue sumbangin ke orang waras kayaknya. Awas aja sampe lo keceplosan bilang gue udah nikah. Gue timbun lo di dalam tanah." "Ampun Nyonya Devano." Silvy langsung berlari saat Alya hendak memukulnya lagi. *** Deva dan Alya sudah siap pergi ke acara peresmian perusahaan milik dokter Felix. Sejujurnya Alya tidak punya gaun cantik dan mewah. Ia jarang sekali datang ke acara-acara resmi. Ia hanya membawa pakaian yang kebanyakan adalah kemeja. Alya panik sendiri. Bagaimana ini? Tidak sempat jika harus membeli gaun terlebih dahulu. Sebuah ide muncul di otak Alya. Ia mengambil kemejanya yang agak besar. Kemeja cokelat yang ia beli beberapa bulan lalu. Ia memakainya lalu menambah sebuah sabuk berwarna senada dan memakaikannya ke pinggang. Ia menatap dirinya di cermin. "Hmm, kurang sempurna." Alya berpikir sejenak, lalu beberapa detik kemudian ia menurunkan sebelah lengan kemejanya hingga mengekspos bahu putihnya. "Oke, perfect.” Alya berjalan menuruni tangga, lalu menghampiri Deva yang sudah siap dengan tuksedo berwarna hitam. Deva selalu rapi … dan tampan. "Ayo, Pak!" "Tunggu!" Deva menahan lengan Alya. Ia menatap Alya dari atas sampai bawah. "Terlalu terbuka. Terlalu pendek. Gak ada baju lain?" Alya menatap Deva malas. "Ada. Baju handuk yang kemarin. Mau saya pakai itu?" Deva melepaskan lengan Alya dari pegangannya, kemudian pria itu berjalan lebih dulu tanpa mengatakan apapun. Kenapa sifat suaminya ini random sekali? Keduanya sampai disebuah hotel mewah di Jakarta. Hotel dengan suasana eropa yang khas. Dokter Felix selalu begitu. Deva menggandeng lengan Alya. Keduanya masuk ke dalam ballroom hotel. Alya terkesima dengan pemandangan di depannya. Anggap saja Alya norak. Tapi memang ia tidak pernah datang ke acara sebesar ini. Alya tidak akan mau diajak oleh orang tuanya. Ia lebih memilih berdiam diri di rumah. Tapi hari ini ... ia ingin merasakan pergi ke acara besar sebagai seorang nyonya. Mereka menghampiri seorang pria paruh baya yang tidak lain adalah dokter Felix. Deva menyapa pria itu. "Malam, Dokter Felix." "Deva? Akhirnya kamu datang. Saya sudah tunggu dari tadi." Deva hanya tersenyum menanggapinya. Pandangan Dokter Felix mengarah pada Alya. Pria itu tersenyum. "Ini?" "Oh, ini istri saya. Namanya Alya." Alya menunduk sopan. "Cantik," kata Dokter Felix yang membuat Alya tersipu malu. "Yasudah, kalian nikmati saja dulu hidangannya. Masih ada setengah jam sebelum acara dimulai." Deva pamit undur diri lalu mengajak Alya duduk disalah satu kursi. Dokter Felix menepuk bahu seseorang di sebelahnya. "Kamu tahu, kan, harus melakukan apa? Pastikan Deva meminumnya dan buat dia meniduri Reyna." "Siap, Tuan." Disisi lain, Reyna datang menghampiri Deva dan Alya. "Deva," panggilnya. Deva tersenyum dan memeluk gadis itu sebagai sapaan sedangkan Alya hanya tersenyum. "Dia?" Reyna nampak terkejut melihat Alya. Tentu saja karena sebelumnya ia sempat berpapasan dengan Alya kala berjalan bersama Deva waktu itu. "Ini istri saya." "Ah, istri kamu? Cantik. Saya Reyna," sapa gadis itu. "Alya," jawab Alya dengan senyum ramahnya. "Ayo! Aku mau kenalin kamu ke dosen-dosen yang datang langsung dari Amerika." Deva mengangguk. Ia menoleh ke arah Alya. "Mau ikut?" Gadis itu menggelangkan kepalanya. "Enggak, deh. Saya lapar, mau makan." "Kamu makannya di sini aja. Jangan pindah tempat, oke? Saya cuma sebentar, kok." Gadis itu mengangguk patuh. Setelah kepergian Deva, Alya langsung berlari kecil menuju meja yang penuh dengan aneka makanan. Sungguh surganya seorang Alya. Ia mengambil sepotong cake dan mulai melahapnya. *** Deva dan Reyna berbincang santai dengan kedua dosen yang datang jauh dari Amerika. Keduanya berbagi pengalaman yang seru, bahkan Deva sampai lupa waktu saking asiknya mengobrol. Acara sudah dimulai. Sambutan dari dokter Felix diakhiri dengan tamu pentingnya. "Ayah kamu hebat, Reyna. Kamu pasti bangga punya Ayah seperti Dokter Felix." Reyna terkekeh pelan. "Semua pasti bangga sama Ayah sendiri, Deva." Seorang pelayan memberikan minuman pada keduanya juga pada kedua dosen yang ada disebelah mereka. "Maaf, Nona. Tuan bilang, Nona harus antar temannya ke kamar yang sudah disiapkan." "Ah, iya. Aku sampai lupa. Ayo, aku antar ke kamar kamu. Jangan lupa ajak Alya." Deva melirik ke kanan-kiri, namun tidak menemukan Alya. Padahal baru beberapa menit ditinggal, gadis itu sudah menghilang. "Kita duluan aja, nanti biar saya telepon Alya." Reyna mengangguk. Mereka berjalan santai menaiki lift. Dari kejauhan, Alya yang sedang memegang piring berisi makanan melihat keduanya pergi masuk ke dalam lift. "Lah, kok, gue ditinggal?" Alya berlari menghampiri keduanya. Namun belum sempat menyusul, seseorang menghentikannya. Ya ... Dia Dokter Felix. "Alya? Kamu mau ke mana? Padahal saya mau ajak kamu ke dapur buat cicipinmakanan spesial kita." Alya terlihat tergoda, namun ia langsung menggelang cepat. "Makasih, Dok. Saya kenyang. Permisi." Alya berlari menaiki tangga karena tidak sempat menyusul mereka masuk ke dalam lift. Ia sempat melihat di mana lift itu akan berhenti. Dengan usaha kerasnya, Alya hampir mematahkan tulang punggungnya. Untung saja hanya di lantai 3. Keduanya kini sedang berdiri di depan sebuah kamar. Alya menyipitkan matanya. "Ck. Ninggalin gue di bawah, tahunya selingkuh. Tahu gitu, gue gak usah ikut ke sini, lah. Jadi nyamuk kampung gue." Alya mengigit roti panggang miliknya dengan wajah sebal. Beberapa detik kemudian wajahnya memerah. "Apaan, nih?" Alya tidak sengaja mengigit cabai yang ada di dalamnya. Gadis itu langsung berlari menghampiri Reyna dan Deva. "Pak Deva," teriak Alya sambil berlari ke arah pria itu. Alya langsung menyambar minuman yang dipegang Deva kemudian meneguknya hingga habis. Rasa pedas itu sama sekali tidak hilang. "Masih pedeas," rengek Alya. Ia melirik minuman milik Reyna. Reyna yang menyadari itu langsung memberikannya pada Alya. Dari kejauhan, pelayan yang tadi memberikan minum itu langsung berdecak sebal. Rencananya gagal. Ia pun berbalik dan pergi dari sana. "Kamu makan apa?" tanya Deva khawatir. "Ada cabai, gede banget," kata Alya sambil menunjuk roti di piring yang ia bawa. Reyna terkekeh. "Oh, itu roti khas keluarga kami. Di tengahnya memang ada cabai." Alya merengek sambil mengipasi lidahnya yang terasa terbakar. "Kamu ajak masuk aja dulu. Di dalam ada air putih." Deva mengangguk. "Makasih, Reyna. Saya ajak masuk Alya dulu, ya." Reyna tersenyum, lalu mengangguk. Alya terus mengipasi dirinya dengan telapak tangan. Padahal, gadis itu sudah meminum dua gelas air putih. Namun, Alya merasa seluruh tubuhnya mulai panas. Apa memakan cabai berefek sebesar ini? "Pak, saya, kok, kepanasan, ya?" "Iya. Tumben panas. Padahal AC nya nyala, kok." Deva ikut mengibaskan tangannya. Aneh ... Deva merasa sesuatu yang aneh pada dirinya. Wajahnya memerah begitupula Alya. Deva mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Tidak ada yang aneh sampai .... "Minuman itu?" Deva mengusap tenggorokannya yang panas. Ia memang sudah meminum minuman yang diberikan pelayan itu padanya. "Sial," umpat Deva. Ada yang berusaha menjebaknya. Jika saja bukan Alya yang meminum minuman milik Reyna, mungkin saja Reyna ... Deva mengusap wajahnya frutrasi. "Alya. Kamu jangan keluar kamar, oke?" Deva mengambil kartu hotel milik kamar mereka, lalu berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Ia menyalakan shower kemudian membasahi tubuhnya yang masih mengenakan tuksedo. Siapapun orang yang merencanakan semua ini, Deva yakin orang itu adalah salah satu tamu di acara ini. Pria itu mengepalkan tangannya. "Argh," pekiknya berusaha menahan gejolak aneh yang sedang menguasai tubuhnya. Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Alya dengan wajah merahnya. Gadis itu berjalan menghampiri Deva dan membiarkan pakaiannya ikut basah. Alya mengalungkan tangannya ke leher Deva. Matanya yang sayu menatap pria itu. "Minuman tadi ... pasti ada sesuatu di sana," kata Deva pada Alya. Gadis itu hanya diam. Deva memejamkan matanya. Ia berusaha menahannya, namun yang ia lakukan justru menarik pinggang Alya agar lebih dekat dengannya, dan dalam hitungan detik, Deva mencium Alya. Bukan sekadar ciuman ... tapi juga lumatan. Deva berusaha menahannya namun tidak bisa. Gejolak di dalam dirinya begitu kuat. Dan jujur ... hatinya juga menginginkannya. Ia tidak pernah tahu efek obat perangsang akan semengerikan ini. Namun, tidak ada yang bisa Deva lakukan. Malam itu mereka melakukannya. *** Alya mengucak matanya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, kemudian membuka mata perlahan. Ia menoleh ke kanan, matanya terbuka lebar. Netranya menangkap sosok Deva yang tertidur dengan bertelanjang d**a. Alya meraba tubuhnya yang ternyata tidak memakai sehelai benang pun. Gadis itu mengumpat dalam hati. Ia bangkit dari tidurnya dan betapa terkejutnya ia melihat keadaan kamar yang berantakan. Shower kamar mandi masih menyala. Alya mencoba mengingat apa yang terjadi, sedetik kemudian ia merutuki dirinya sendiri. "Bodoh! Dalam semalam lo bisa ngelakuin hal ini, Alya? Gak waras, lo," gumam Alya. Ia memakai pakaiannya yang tergeletak di lantai. Pakaian itu basah, namun lebih baik daripada tidak pakai apapun. Ia berjalan dengan menahan rasa nyeri dibawah perutnya. Durjanah sekali kau, Alya. Ia pergi ke kamar mandi untuk mematikam shower. Ia melirik lemari yang ada di sana. Untung saja ada sepasang piyama. Beberapa saat kemudian, Deva mengerjapkan matanya. Ia meraih ponselnya yang berdering, lalu mengangkatnya dengan malas. "Halo." "PAK DEVA, SAYA TUNGGU DI BAWAH!" kata Alya dengan sedikit berteriak. Deva sampai harus menjauhkan ponsel itu dari telinganya, kemudian ia tersadar satu hal. "Astaga."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN