Deadline - 9

1708 Kata
Deva mengucak matanya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Tumben sekali ia bangun siang. Padahal jila tidak lelah sekali, Deva tidak akan tidur lagi setelah solat subuh. Ia memijat pelipisnya yang sakit. "Alya," panggil Deva dengan suara seraknya. Kepalanya terasa berat sekali, perutnya juga sangat sakit. "Alya," panggil Deva lagi, namun tidak ada sahutan sama sekali. Pria itu mencoba berjalan menuju kamar mandi. Ia mengandalkan tangannya memegang tembok untuk menopang tubuhnya yang lemas. "Pak Deva?" Alya terkejut bukan main. Tentu saja ia baru keluar dari kamar mandi lalu melihat Deva sudah berdiri di depan pintu. "Alya," gumamnya sambil memegangi perut. Wajahnya pucat sekali. Alya mengerutkan dahinya. Ia mengulurkan tangannya menyentuh dahi Deva yang berkeringat. "Pak Deva kenapa?" "Perut saya ... sakit," katanya. Alya langsung menaruh handuknya dan memapah Deva menuju tempat tidur dengan hati-hati. "Pak Deva emangnya makan apa semalam? Makan sambal, ya? Pak Deva gak bisa makan pedas? Kan tahu gitu bilang ke saya, jadinya saya gak sendokin banyak sambal,” katanya dengan nada khawatir. Deva menggelang lemah. "Kopi." "Kopi? Pak Deva mau kopi?" Deva menggelangkan kepala lagi. "Saya gak bisa ... minum kopi." Ingatan Alya berputar pada saat ia memberikan secangkir kopi untuk Benua dan ... Deva? Alya menutup mulutnya. Ia menggaruk belakang kepalanya dan memasang wajah bersalah. "Maafin saya, Pak. Saya gak tahu kalo Pak Deva gak bisa minum kopi. Tahu gitu, kan, saya bikinin yang lain." Deva menggelang pelan. "Salah saya, Alya. Saya gak bilang ke kamu," kata Deva dengan suara lirih yang makin membuat Alya merasa bersalah. "Terus saya mesti gimana? Kita ke rumah sakit, ya?" "Jangan. Kita pulang aja." "Tapi, kan—" Alya menggigit bibir bawahnya. Akhirnya ia menuruti permintaan Deva untuk pulang. Setelah pamit pada Disha, Alya mengajak Deva pulang diantar oleh supir Disha. Deva gak bisa minum kopi. Kalo minum kopi, perutnya pasti sakit dan panas. Biasanya Deva bakal panas-dingin. Kata-kata Disha tadi terus terngiang-ngiang di kepala Alya. Bahkan ketika sampai di rumah, Alya selalu menatap Deva dengan wajah menyesal. Tentu saja Deva peka. Dia mengetahuinya. Ekspresi wajah Alya menggambarkan dengan jelas bahwa gadis itu benar-benar merasa bersalah. Meskipun Deva mengatakan berkali-kali untuk tidak menyalahkan dirinya, tetap saja. "Alya, saya gapapa," kata Deva unuk yang kesekian kalinya. "Gak usah bilang gapapa. Udah tahu muka Pak Deva pucat, dari tadi ngeringis kesakitan. Masih mau bilang gapapa?" omel Alya. Melihat Alya mengomel seperti ini mengingatkan Deva pada Sily—mamanya. Sily juga pasti akan memarahinya habis-habisan jika tahu apa yang terjadi pada Deva saat ini. Deva hanya tesenyum simpul. Alya menelpon Silvy dan meminta izin untuk tidak ikut kelas hari ini. Tentunya dengan alasan, "Gue gak enak badan hari ini. Kayaknya, sih, gue sakit. Izinin, ya," kata Silvy. Lo sakit apa? Gak parah, kan? Gak samape bikin mati? "Ini lo nanya apa nyumpahin? Udah, deh. Pokoknya gue pengin istirahat, kepala gue sakit banget. Udah, ya, bye." Selesai sudah misi pertama, Alya bersiap untuk melanjutkan misi ke dua. Ia sudah siap dengan dengan rambut terikat dan tentunya celemek. "Oke, Bi. Saya siap," kata Alya dengan semangat 45, begitupula Bi Ina yang terlihat semangat dengan lap dapur yang dijadikan ikat kepala. "Let's go, Non!" Keduanya berdiri menghadap meja dapur yang penuh dengan bahan-bahan masakan. Alya menggaruk alisnya. "Jadi, kita pake yang mana dulu, Bi?" "Non mau buat cream soup, kan? Nah, yang pertama dibutuhin itu pastinya bahan-bahannya." "Saya juga tahu, Bi. Maksdunya bahannya apa aja, gitu, loh." "Pertama ambil wortel, sama kentang. Non Alya bisa motongnya, kan?" "Motong doang saya mah bisa, Bi. Tenang aja." "Oke, sip." Disha bilang, Deva suka cream soup. Oleh karena itu Alya dengan kemampuan limitnya mencoba untuk membuatkan cream soup kesukaan Deva, tentunya dengan bantuan Bi Ina. Anggap saja sebagai permintaan maaf soal kopi. Setelah kurang lebih satu jam menghancurkan dapur, cream soup buatan Alya pun jadi. Dari tampilannya begitu menarik. Pertama kalinya Alya berhasil memasak sebuah makanan yang terlihat bisa dimakan. Sebelumnya, masakannya selalu gagal dan tentunya tidak layak dimakan. Alya tersenyum senang. "Udah enak, kan, Bi?" tanya Alya memastikan sekali lagi, meskipun sebelumnya sudah hampir puluhan kali ia mencicipinya. "Sempurna." "Yaudah, saya mandi dulu, deh. Bau kerusuhan." Alya terkekeh. Selagi Bi Ina membersihkan kekacauan yang dibuat Alya di dapur, Deva turun dari kamarnya hendak mengambil segelas air. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat dapur yang berantakan. Panci ada di atas meja, wortel di lantai, potongan kentang di kursi, serta celemek yang ditarush asal di atas kulkas. Deva menatap frutsrasi. "Makhluk apa yang udah bikin dapur saya kaya hutan rimba gini, Bi?" Bi Ina menggaruk belakang kepalanya, lalu berdeham. "Tadi ... Non Alya masak, Mas Deva." Deva mengernyit, "Alya? Alya istri saya?" "Ya iya, toh, masa Alya anak Bibi. Anak Bibi mah namanya Arum." Deva mengusap wajahnya, lalu menghela napas berat. "Alya masak apa?" "Itu," kata Bi Ina sambil menunjuk ke arah meja makan. Ada semangkuk cream soup dan roti gandum yang sudah dipanggang serta segelas air putih. Deva melangkah ke arah meja makan dan duduk tepat di depan makanan yang sudah Alya hidangkan. Ia menatap makanan di depannya dalam diam. Benar kamu yang buat semua ini, Alya? Tak lama, Alya datang dengan jubah mandinya yang berwarna putih lengkap dengan handuk berwarna senada yang melilit di kepala. Alya berlari menghampiri Deva yang sudah duduk di meja makan. "Kok, dilihatin aja? Ayo dicoba! Saya bikin pake kekuatan setengah hidup saya, pak." Deva tertawa pelan. "Hebat, ya. Saya kira kamu gak bisa masak." "Saya emang gak bisa masak. Ini pertama kalinya saya masak makanan yang ribetnya luar biasa. Ayo dicoba." Alya ikut duduk di sebelah Deva. Matanya menatap pria yang saat ini sedang mencicipi hasil masakannya. "Gimana, Pak?" tanya Alya penasaran. Deva mengangguk pelan. "Lumayan, daripada saya enggak makan." Alya mendengkus, lalu menarik mangkok sup itu dari hadapan Deva. "Yaudah, gak usah dimakan." "Ck, gak usah ngambek. Sini! Saya mau makan masakan istri saya." Alya tersenyum lalu mengembalikan mangkok sup itu. Melihat Deva melahap makanan buatannya tentu membuat Alya senang. Alya bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari Deva. Rasanya seperti ia berhasil membuat keajaiban dunia. "Ehem, Alya." "Iya, Pak?" "Pakai baju kamu!" Alya merentangkan tangannya. "Udah, kok." "Maksud saya baju yang lebih pantas dipakai. Itu cuma boleh kamu pakai di kamar." "Ah, ribet. Saya juga mau makan." Alya berjalan menuju kulkas, lalu mengambil puding mangga yang tadi ia buat tentunya dengan bantuan Bi Ina. Jika Alya sendiri yang membuatnya, sudah dipastikan puding itu akan masuk ke tempat sampah. Suara bel terdengar memenuhi ruang tamu. Bi Ina langsung bergegas menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Deva melirik Alya yang sedang memakan pudingnya. "Kamu juga yang bikin?" Alya mengangguk. "Pak Deva mau?" Deva membuka mulutnya meminta agar Alya menyuapinya. Tentu saja Alya melakaukannya tanpa protes. "Enak? Lagi, gak?" Deva mengangguk. Alya menyuapi Deva sekali lagi. "Alya!" teriak seseorang yang membuat Deva dan sang pemilik nama menoleh ke arah suara. "ALYA?!" teriak Silvy dengan mulut terbuka. "PAK DEVA?!" teriak Raka dengan mata membulat. Silvy memerhatikan Alya yang hanya memakai jubah mandi. "Alya, lo?" lalu beralih menatap tangan Alya yang masih dengan posisi menyuapi Deva. "Hah?" serta Deva yang hanya memakai kaos dan bukan kemeja seperti yang ia lihat di kampus. "Pak Deva?" Alya menutup mulutnya. Ia menarik tangannya yang tadi sedang menyuapi Deva. Gadis itu langsung membenarkan tali jubah mandinya dan berjalan menghampiri Silvy dan Raka. "Lo berdua ngapain ke sini?" tanya Alya, panik. Alih-alih menjawab pertanyaan Alya, Silvy dan Raka malah menatap Deva dengan tatapan menginterogasi. Yang ditatap hanya berdeham pelan. Kini Silvy dan Raka duduk menghadap kedua orang yang kini sedang gugup. Raka menyilangkan kedua tangannya. "Udah gue duga ada yang aneh. Ternyata ... kalian main di belakang, ya?" "Lo gak kasihan sama istri Pak Deva, Al? Lo masa jadi pelakor gini, sih? Kan gak keren tahu," kata Silvy, namun beberapa detik kemudian ia menutup mulutnya. "Hah, atau jangan-jangan istri Pak Deva itu lo?" Alya menggelangkan kepalanya. "Enggak gitu, Sil. Gue tuh ... Gue sama Pak Deva ... Itu ...." "Iya. Alya memang istri saya." Silvy memekik girang lalu menghampiri Alya dan memeluk gadis itu. "Alya ... setidaknya yang jadi istri Pak Deva itu lo bukan cabe-cabean kampus. Gue bangga banget." "Hah? Kenapa bangga? Aneh lo." "Ya bangga aja. Karena lo teman gue. Berarti, kan, gue gak mesti malu kalo lo jadi jomlo sampe tua." Alya ingin sekali memukul mulut Silvy tapi ia urungkan saat menyadari bahwa suasana di antara mereka masih tidak enak. Raka masih menatap Deva dengan tatapan yang ... entahlah. "Kamu mau tanya apa, Raka?" tanya Deva yang bisa membaca ekspresi Raka. "Kapan kalian nikah? Di mana? Kenapa gak ngundang kita?" Baru saja Deva akan menjawab, Alya menghentikannya. "Biar saya aja, Pak. Pak Deva mending ke kamar, mandi, abis itu tidur. Ini anak berdua biar saya yang urus." Deva menghela napas. Pria itu bangkit dan pergi seperti yang Alya perintahkan. Sepeninggal Deva, Alya langsung menghampiri Raka dengan wajah memelasnya. "Jangan marah karena gue gak ngasih tahu kalian, ya? Gue punya alasan." "Yaudah, sekarang jawab pertanyaan gue yang tadi." "Tapi harus janji gak marah sama gue." "Mana berani dia marah sama lo, Al. Dia takut dikasih C sama suami lo," kata Silvy yang saat ini sedang mengotak-atik kulkas. Sejak kapan anak itu ada di sana? Raka berdeham pelan. "Tapi lo jangan aduin yang jelek-jelek soal gue ke Pak Deva," kata Raka. Alya mendengkus. "Lagian, gue udah yakin banget Pak Deva suka sama lo. Secara, dia suka ceper, kan, ke lo?" sambung Silvy. "Ck. Inituh gak semulus yang kalian kira. Rumit, asal kalian tahu." "Serumit apapun itu, intinya lo punya suami ganteng, Al. Udah nikmatin aja." Alya melempar bantal ke arah Silvy. "Ngadi-ngadi anda!" "Lo jadi udah ..." Raka menatap Alya dengan tatapan aneh. Saat menyadari arti tatapan itu, Alya langsung melotot. "Gak usah macem-macem. Gue masih suci, bersih, dan tidak ternodai!" "Yah, gak asik," gumam Raka. "Yaudah, lo berdua ngapain ke sini, heh?" "Ya pas lo nelepon gue bilang sakit, gue langsung panik, apalagi lo, kan, kalo sakit kaya orang mau mati. Lemah. Ya gue ke sini pengin jenguk lo. Noh, gue bawain buah sampai banyak banget. Satu ruko gue borong." Alya menatap kantong plastik putih berisi buah yang dibawa kedua temannya itu. "Dua kantong lo bilang seruko?" "Ya, rukonya udah mau tutup. Itu sisahan." "Kampret, lo!" Silvy dan Raka tertawa keras. Membuat Alya marah adalah kesenangan yang luar biasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN