Deadline - 8

1466 Kata
Alya dan Deva pergi ke rumah Disha—Kakak perempuan Deva. Hari ini adalah ulang tahun Disha dan seluruh keluarga di undang menghadiri acara makan malam bersama di sana. Keduanya tampak saling diam dan tidak membuka pembicaraan apapun selama di mobil bahkan saat sampai di rumah Disha. Ketika sampai, Alya langsung menghampiri Disha dan membantu menyiapkan makan malam sedangkan Deva tentunya mengobrol bersama Benua di ruang tamu. Alya menata piring di meja makan. Ia juga membantu Bibi merapikan dapur. Karena memang hanya itu yang ia bisa. Daripada memasak, lebih baik beres-beres saja. Alya masih cukup punya hati daripada meracuni satu keluarga dengan masakannya. "Al, gak usah. Biar Bibi aja. Kamu buatin minum aja untuk Mas Benua sama suami kamu." "Iya, Kak." Eh, tapi, Kak Benua biasanya minum kopi atau teh, ya? Alya menghampiri Bibi yang sedang mangaduk sop di panci. "Bi. Kak Benua biasanya suka minum apa, ya?" "Oh. Biasanya Mas Benua minum kopi, Non." "Ah, oke. Makasih, Bi." Alya mulai membuat kopi dengan pengetahuan ala kadarnya. Dua sendok kopi, satu sendok gula, dan air panas. Mudah memang bagi kalian. Tapi bagi Alya ini sudah termasuk sulit. Alya juga membuatkan kopi untuk Deva, karena ia tidak tahu apa minuman kesukaan pria itu. Masa bodo. Alya membawa nampan berisi dua cangkir kopi itu ke ruang tamu. Ia menaruhnya di meja. "Kak Benua, diminum dulu kopinya. Tapi ... jangan protes kalo rasanya aneh, ya. Ini kopi perdana yang aku buat tanpa search di internet." Benua tertawa mendengarnya. Ia menyeruput kopi itu. Senyuman terukir di wajah tampannya. Benua memang sangat tampan. Alya mengakui itu. Disha beruntung sekali. "Perfect." Alya tersenyum senang. Pria itu melirik ke arah kopi yang ada di hadapan Deva. Wajahnya nampak terkejut saat melihat Deva meraih cangkir itu dan menyeruput kopinya. "Dev, kamu ...." Deva menaruh lagi cangkirnya. Alya hanya tersenyum samar lalu pamit pada Benua untuk kembali ke dapur. Sepeninggal Alya, Benua nampak menyilangkan kedua tangannya. Deva terbatuk beberapa kali lalu. "Dasar," gumam Benua. Setelah semuanya berkumpul, mereka duduk bersama di ruang makan. Ada Sily dan Daren—orang tua Deva, juga kedua orang tuanya dan Aldo—kakak laki-lakinya. Acara makan malam pun dimulai. Alya menyendokkan nasi ke piring Deva, tentu saja tanpa ekspresi. Deva mencoba tersenyum dan berterima kasih pada Alya, namun Alya mengabaikannya. "Al, ambilin udang untuk Deva juga. Dia suka banget udang. Kakak sengaja bikin untuk dia." Alya tersenyum lalu mengangguk. Ia menyendokkan udang lalu menaruhnya di piring Deva. "Duh, aduh. Anak manja binti cengeng sekarang udah jadi istri solehah," ledek Aldo yang duduk di sebelah Alya. "Iya, nih. Udah cocok jadi Ibu juga kayaknya. Kapan mau kasih cucu?" tanya Nayla—Mama Alya. "Kak Disha sebentar lagi lahiran. Itu udah dapet cucu," jawab Alya dengan santai. "Maksud Mama, cucu dari anak Mama ... Ya, kamu, Alya." "Alya masih kuliah, Ma." Jawaban Alya membuat seisi ruangan menjadi hening. Sepertinya mereka juga merasakan hawa-hawa tidak enak dari kedua pengantin baru itu. Deva juga terlihat diam. Menyadari ada yang tidak beres, Disha mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Oh, iya. Besok kamu kuliah, Al?" "Kuliah, Kak. Tapi aku masuk siang." "Nah, kalo gitu, malam ini kamu nginap di sini, ya. Soalnya Kakak mau beresin kamar baby. Kamu mau bantu, kan? Kalo Kakak ajak Mas Benua, dia gak ngerti selera kita. Dia tahunya berantakin." Alya tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Kak. Aku bantu." *** Alya dan Disha sudah berada di kamar berukuran sedang yang dipenuhi plastik dan barang-barang bayi yang masih belum di tata. Keduanya sibuk membuka kotak dan plastik yang membungkus barang-barang itu. "Ini semua kado, Kak?" Disha terkekeh. "Sebagian kado, sebagian Kakak yang beli. Sengaja, sih, Kakak bungkus kaya gini biar gak kena debu. Kakak emang rencana mau tata kamar baby nya pas mau lahiran aja." Alya mengangguk paham. "Pasti Kak Disha senang ya, sebentar lagi jadi Ibu." Disha tertawa. "Kamu juga nanti jadi Ibu." Alya hanya membalas dengan senyuman simpul. "Kamu ada masalah sama Deva?" Alya agak terkejut, namun sedetik kemudian gadis itu menghela napas berat. Ia menundukkan wajahnya. "Enggak, kok, Kak. Cuma ... aku ngerasa, kita gak cocok aja." "Kakak juga pernah ngerasa kaya gitu waktu baru menikah sama Kak Benua." Alya menatap Disha, menunggu kelanjutan ceritanya. "Kami pacaran dari SMA. Kakak udah suka Kak Benua dari waktu kita kelas 10. Kakak kira, Kakak udah memahami Kak Benua, ternyata enggak. Waktu itu ... Kakak gak sepemahaman sama Kak Benua. Dia bilang itu, Kakak bilang ini. Kakak bahkan sempat mikir, apa kita gak cocok? Apa kita harusnya gak menikah? Tapi ... Perbedaan itulah yang jadi tameng kokoh dari pernikahan. Kita menikah bukan untuk menjadi sempurna, Al, tapi saling melengkapi yang tidak sempurna. Alya ... kamu menikah baru hitungan minggu. Perjalanan kamu masih jauh. Deva ... anak itu memang agak sulit dimengerti. Kamu harus paham betul sifatnya baru kamu bisa paham pemikirannya. Jangan pernah sekali-kali kamu berpikir untuk mengakhiri apa yang baru kalian mulai.” Disha terkekeh pelan. Ia menepuk bahu Alya dan tersenyum hangat. Senyuman seorang Ibu yang tulus. Meski baru akan menjadi calon Ibu, Alya merasa Disha sudah seperti seorang Ibu yang sedang menasihati anaknya. "Saat kamu dan Deva mengucapkan janji suci di depan Tuhan, saat itulah kalian berkata akan memulainya." Setelah membantu Disha, Alya pergi menuju kamar tamu yang sudah disiapkan untuknya dan Deva. Disha meminjamkan bajunya untuk dipakai Alya, karena memang awalnya ia tidak berniat menginap. Setelah mengganti pakaiannya dengan piyama, Alya langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memainkan ponselnya. Suasana kamar di sana mirip sekali dengan suasana kamar Deva. Bagaimana jika kamar di rumah Lemuel? Apakah suasananya juga sama? Mungkin lain kali ia harus ke sana. Knop pintu kamar terbuka. Tentu saja Deva lah yang membukanya. Tidak mungkin Aldo, karena Aldo dan kedua orang tuanya langsung pulang setelah makan. Deva melepas kemejanya. Pria itu memakai kaos abu-abu polos. Ia langsung duduk di sofa dan memainkan ponselnya. Alya melirik sebentar ke arah pria itu lalu kembali menatap layar ponsel. Beberapa detik kemudian, matanya menyipit kala mendapat notifikasi dari seseorang. Pakde' Vano Bisa bicara sebentar? Alya awalnya malas untuk membalas, tapi kata-kata Disha beberapa waktu lalu terngiang di otaknya. Jangan pernah sekali-kali kamu berpikir untuk mengakhiri apa yang baru kalian mulai. Jadi gue harus gimana ini? Bales enggak, ya? Tapi gue males banget ngomong sama dia. Alya menggaruk alisnya seraya berpikir, hingga sebuah notifikasi muncul lagi di ponselnya. Pakde' Vano Alya, saya tahu kamu baca pesan saya. Alya memutar bola mata malas. Ia menoleh ke arah sofa mendapati Deva yang tengah menatapnya. "Mau ngomong apa?" kata Alya sedikit ketus. Deva menyilangkan kedua tangannya. "Sini!" suruh Deva. Alhasil, Alya menurut saja. Ia berjalan menuju sofa lalu duduk di sebelah Deva. "Apa?" tanya Alya lagi. "Kamu masih marah sama saya?" "Gak tahu. Saya mau marah tapi males banget." "Al?" "Hmm." "Maaf soal waktu itu. Saya gak bermaksud mengungkap hubungan kita, tapi saya cuma mau kasih penjelasan ke yang lain supaya mereka berhenti mengidolakan atau mungkin berharap sama saya. Saya bilang kaya gini bukan mau pamer." Alya tertawa kecil. "Dengan Pak Deva bilang kaya gitu, itu udah termasuk pamer." Deva menghela napas. "Kenapa kita gak coba untuk jalanin ini semua? Seperti pasangan suami-istri pada umumnya?" Alya merapatkan kedua tangannya menutup d**a. Ia sedikit menjauh dari Deva, lalu menatap pria itu dengan tatapan kaget. "Enggak! Saya belum siap, ya, Pak! Saya masih mau jadi gadis." Deva terkekeh, lalu memukul dahi Alya dengan ponselnya. Tidak terlalu keras memang, namun Alya cukup merasakan sakitnya. "Dasar otak kotor! Maksud saya bukan itu. Yang saya bilang tadi hal selain itu." "Ya, saya mana tahu. Coba kasih contoh." Deva mengusap dagunya, lalu menjawab, "Berhenti panggil saya Pak Deva. Panggil Deva aja. Lagian umur kita gak beda jauh." Alya menggelangkan kepalanya dengan cepat. Yang ini ia tidak setuju. "Gimana kalo buat perjanjian? Saya akan tetap panggil Pak Deva sampai saya selesai skripsi? Saya gak mau, ya, orang-orang tahu gara-gara nanti saya keceplosan manggil tanpa embel-embel 'Pak'." "Hmm, oke. Mungkin yang itu kita lewati." "Lagian, saya belum bilang setuju, ya." "Kamu setuju atau enggak, saya tetap mau jalani. Saya hanya akan menikah sekali seumur hidup. Bagaimanapun pendapat kamu, saya tetap akan mempertahankan pernikahan ini." Mendengar ucapan Deva tentu membuat pipi Alya memerah. Kenapa perkataan datar itu bisa jadi semanis ini? Apa ia sudah gila? Alya menggelangkan kepalanya. "Itu gak adil." "Terus, kamu gak mau mempertahankan pernikahan ini?" "Ya ... Enggak gitu juga," jawab Alya, kikuk. "Oke. Saya anggap kamu setuju." Belum sempat Alya protes, Deva sudah lebih dulu pergi dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Alya melebarkan matanya melihat itu. Mereka, kan, sudah sepakat tidak akan tidur seranjang, "Pak Deva ngapain?" "Tidur." "Di sana?" "Saya cuma mau tidur, Alya, bukan ngajak kamu tidur. Udah sana tidur!" Baru juga mengeluarkan kata-kata manis beberapa detik lalu, sekarang nada bicaranya sudah kembali menyebalkan seperti biasa. Disha memang benar ... Alya harus paham sifat Deva baru bisa paham pemikirannya. Sepertinya Alya punya tugas baru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN