Deadline - 7

4162 Kata
Alya menepuk pelan pipi Silvy, mencoba membangunkan gadis itu. "Woy! Di depan ada cogan, tuh, nyariin lo." "Hah? Gara ya?" kata Silvy setengah sadar. "Au amat, Gara, Garam, siapa namanya. Buruan bangun! Pulang, gih. Nanti emak lo ngamuk." "Lo bohong! Gak ada Gara, kan?" tanya Silvy curiga. Kini gadis itu sudah sepenuhnya sadar. "Udah tahu pake nanya! Sana, ih! Gak usah pake mandi. Langsung pulang!" "Jahat lo sama bestfriend." "Ck. Udah sana pulang!" Silvy mendengkus sebal. Ia menendang kaki Raka, membuat cowok itu tersentak kaget. Matanya langsung terbuka lebar. "Ayo pulang! Diusir tuan rumah, nih." Raka mengucak matanya lalu menguap. Ia menggaruk alisnya dengan wajah khas bangun tidur. Alya mengantar keduanya ke depan. Betapa terkejutnya Silvy dan Raka saat melihat warna langit masih hitam. "Gue kira udah siang. Lo tega banget nyuruh pulang masih gelap gini." "Sekarang jam 5 subuh. Dikit lagi terang. Solat di rumah aja. Di sini mau ada penyemprotan bakteri." "Iya, iya. Bawel, ih. Yaudah kita pulang dulu, ya. Bye." "Bye!" Setelah melihat kedua temannya pergi dengan taksi, Alya langsung menutup pintu. Ia menghela napas lega. Akhirnya kekhawatirannya soal Deva yang ada di rumah ini hilang seketika. "Sumpah. Ini kenapa gue kaya penjahat lagi nyembunyiin tahanan?" gumam Alya. Gadis itu menggelang kuat. "Masa bodo. Yang penting gue bisa tidur lagi." Alya merebahkan tubuhnya di sofa. Ia tersenyum lalu memeluk bantal yang ada di sana. "Alya, ayo solat." Suara bariton yang sudah tidak asing lagi baginya itu terdengar menusuk telinga. "Lagi gak solat, Pak." Tidak ada lagi sahutan dari Deva. Alya memilih melanjutkan tidurnya yang harus tertunda karena Deva membangunkannya untuk segera mengusir kedua temannya itu. Tak lama, Alya merasakan tepukan di pipinya. Gadis itu menggeliat pelan, lalu bergumam, "Masih ngantuk." "Kamu gak ada kelas pagi?" Alya menggelang pelan, kemudian menjawab, "Pak Saveer bilang gak masuk pagi ini." Deva mengangguk. Bukannya pergi, pria itu malah menarik tangan Alya, membuat gadis itu jatuh dari sofa. Alya meringis memegangi bokongnya yang terasa sakit. Matanya kini terbuka sempurna. Ia mendengkus sebal. "Pak Deva ada masalah apa, sih? Pak Deva ada dendam sama saya?" kata Alya sambil menyilangkan kedua tangannya. "Ayo ikut saya." "Gak mau." Gadis itu hendak pergi menuju kamar, namun Deva menarik Alya agak keras, membuat gadis itu terhuyung dan berbalik ke belakang. Kini Alya sangat dekat dengan Deva. Keduanya berdiri dengan jarak beberapa senti. Alya bahkan bisa nerasakan embusan napas pria di depannya. Gadis itu membeku. "Lusa ulang tahun Kak Disha. Saya mau kasih kado perlengkapan bayi karena Kak Disha sebentar lagi melahirkan. Tapi saya gak bisa milihnya, saya gak paham soal perlengkapan bayi. Saya butuh bantuan kamu." Alya menelan ludah dengan susah payah. Berada sedekat ini dengan Deva sangat tidak baik untuk jantungnya yang sejak tadi memacu cepat. Buru-buru Alya mendorong tubuh Deva agar menjauh darinya. Ia menggaruk alisnya lalu berdeham. "Pak Deva salah kalo minta bantuan saya. Saya juga gak ngerti." "Tapi setidaknya kamu itu perempuan. Kamu pasti punya sisi keibuan yang mungkin belum terlihat. Saya benar-benar butuh bantuan kamu, Alya." "Ya ... Tapi, kan ...." Deva menaikkan sebelah alisnya, menunggu apa yang akan dikatakan Alya selanjutnya. Alya menghela napas. "Yaudah, deh. Saya mandi dulu." Selagi menunggu Alya bersiap-siap, Deva menyempatkan memeriksa tugas-tugas yang dikirimkan mahasiswanya. Bi Ina datang membawa segelas teh hangat dan menaruhnya di sebelah laptop Deva. "Mas Deva mau sarapan apa?" "Enggak usah, Bi. Saya sama Alya mau pergi. Bibi sama Pak Bima aja yang sarapan." "Ah, siap, Mas." "Eh, iya, Bi. Saya mau nanya. Kemarin, waktu Alya ajak dua temannya ke sini mereka ngapain aja?" Bi Ina terlihat berpikir sejenak, kemudian ia tersenyum. "Kemarin Non Alya sama temannya cuma nonton film aja, Mas, sampai malam." "Kalo Alya ajak teman kaya kemarin, tolong bilang saya, ya, Bi." "Oke, Mas Deva. Yaudah, saya ke belakang dulu, ya. Banyak cucian." Beberapa menit setelah Bi Ina pergi ke belakang, Alya sudah siap dengan kaos putih dipadu dengan jaket jeans hitam senada dengan celananya. Alya menghampiri Deva yang duduk di sofa. "Ayo, Pak!" Deva mengangguk. Ia mematikan laptopnya lalu mengambil kunci mobil di atas meja. Keduanya pergi menuju mall yang lumayan jauh dari rumah. *** "Kya, lucu banget," pekik Alya saat melihat-lihat baju bayi di hadapannya. "Ini kenapa manis banget, sih. Ih, gemes." "Yang ini lucu, Pak. Warnya kalem. Bahannya juga lembut. Jadi nyaman sama bayi." Deva terkekeh pelan. Ia menyentil dahi Alya pelan. "Tadi kamu bilang gak ngerti." Alya hanya menunjukkan cengiran khasnya. "Saya emang gak ngerti, Pak. Gak tahu aja tiba-tiba pas sampe sini saya langsung tahu." "Ada-ada aja. Yaudah, kamu pilih aja yang menurut kamu bagus." "Eh, iya. Anak Kak Disha cewek atau cowok?" "Kemarin sih, katanya cewek." "Oke." Seorang pegawai menghampiri Alya yang terlihat sedang memilah baju. "Cari untuk usia berapa, Kak?" "Oh. Cari untuk usia 6 bulan-1 tahunan, Mba. Yang bahannya bagus, ya." Deva mengerutkan dahinya. "Kok, belinya buat umur segitu? Kan buat yang baru lahir." "Ck. Ini biar bisa dipakai pas udah gede." Melihat Alya dan Deva, pegawai wanita tadi tersenyum. "Ini cocok untuk cewek dan cowok, Kak. Karena saya lihat perut Kakak masih rata, pasti jenis kelaminnya belum ketahuan pastinya." Alya tercengang. Apa? Apa gue kelihataan kaya orang hamil? Ngadi-ngadi, nih, mbaknya. Alya hanya cengegesan dengan wajah malasnya. Sedangkan Deva hanya bisa menahan tawanya melihat ekspresi Alya. Alya menjelajahi toko perlengkapan bayi itu sambil sesekali memekik kagum karena merasa gemas dengan pakaian mungil dan lucu itu. Deva hanya mengikuti dari belakang sambil memegang trolli. "Ini lucu banget," kata Alya sambil memegang sepasang sepatu berwarna biru dongker dengan motif bulu di atasnya. "Yaudah sini masukin." "Tapi ini untuk anak cowok," kata Alya dengan nada kecewa. Ia mengembalikan sepatu itu ke tempatnya. Lalu ia beralih ke tempat lain. Setelah membayar semua belanjaan, keduanya memutuskan untuk makan di salah satu restoran Korea langganan Alya. Selagi makan, keduanya tidak mengatakan apapun. Hanya ada suara sendok dan piring yang beradu juga suara dari pengunjung lain. Saat Alya sedang memerhatikan pengunjung yang berlalu lalang melalui kaca, matanya melotot kala melihat seseorang yang ia kenal sedang berdiri di depan restoran. Alya sontak menutupi wajahnya dengan buku menu. Melihat itu Deva mengerutkan dahinya. "Kenapa?" "Ada Agam sama Viola, Pak," kata Alya. Agam dan Viola adalah teman sekelasnya. Jika keduanya tahu Alya sedang makan berdua dengan Deva, hancurlah sudah reputasi Alya. Ia tidak mau statusnya sebagai istri Deva ketahuan. Setidaknya untuk saat ini. Saat melihat keduanya masuk ke dalam restoran, Alya buru-buru pergi menuju toilet. Deva hanya bisa menghela napas melihat kelakukan istrinya itu. Agam dan Viola yang melihat Deva langsung menghampiri dosen mereka. Jarang-jarang sekali bertemi seorang dosen di Mall. "Pak Deva?" sapa Viola. Deva membalasnya dengan senyuman. "Pak Deva main di Mall juga? Saya kira Pak Deva sama kaya dosen lain yang sukanya di rumah." "Saya lagi beli hadiah buat keponakan saya." Keduanya ber 'oh' bersamaan. Agam melihat piring dengan makanan yang sudah habis setengah di depan Deva. Ia juga melihat seorang perempuan yang baru saja pergi menuju toilet. Ia ingin bertanya, tapi Viola keburu mengajaknya pergi untuk memesan makanan. "La, kamu tahu, gak? Pak Deva tadi sama cewek loh. Di mejanya juga ada dua piring. Aku lihat cewek tadi ke toilet." "Beneran?" tanya Viola terkejut. "Iya beneran." "Wah, ini, sih, bakal jadi trending topic di kampus. Aku mau kasih tahu yang lain di grup kelas. Jarang-jarang, kan, Pak Deva yang terkenal datar itu punya cewek." *** "Wah, masa, sih? Gila! Patah hati gue." "Siapalah cewek beruntung yang dapetin Pak Triplek?" "Pak Deva mematahkan hatiku." "Pak Deva diam-diam berhadiah." Begitulah percakapan seisi kelas yang ramai karena berita Viola tentang Deva. Wajar saja Deva menjadi perbincangan. Siapa yang tidak mengidolakan dosen muda dan pintar itu? Hanya saja, Deva memang terkenal datar dan membosankan. Meskipun begitu, itu tidak menjadi alasan mereka tidak mengidolakan Deva. Tak lama setelahnya, Deva datang dengan buku di tangannya. Hari ini ia menjadi dosen pengganti lagi. Ia memang sering menjadi dosen pengganti karena jadwal mengajarnya hanya dua kali dalam seminggu. Oleh karena itu, kadang Deva menjadi dosen pengganti dibeberapa matkul. Ia juga menggantikan Pak Wahyu sebagai dosen pembimbing akademik sementara waktu. Jadi, itulah alasannya mengapa Deva sering sekali mendapat jadwal di kelas Alya. "Selamat siang, semuanya." "Siang, Pak." Deva memulai dengan membuka bukunya. Namun ia mendengar beberapa mahasiswanya yang berbisik-bisik. Deva tidak suka jika ada yang mengobrol jika bukan tentang mata kuliah. Sangat tidak sopan dan tidak menghargai waktu. "Kalian lagi ngomongin apa?" tanya Deva. Seseorang mengangkat tangannya. "Pak, saya boleh nanya? Tapi bukan seputar perkuliahan." "Iya, kenapa?" "Pak Deva udah punya pacar? Kemarin Pak Deva jalan sama siapa?" Pertanyaan lain muncul setelahnya. "Pacar Pak Deva dosen di sini?" Deva sudah tahu ini akan terjadi. Ia melirik ke kursi Alya. Tidak ada gadis itu di sana. "Coba kasih saya alasan kenapa saya harus jawab pertanyaan kalian?" Viola langsung mengangkat tangannya. "Klarifikasi, Pak. Patah hati kami butuh alasan. Pak Deva, kan, tahu, kalo banyak yang idolain Pak Deva. Kalo Pak Deva punya pacar tapi gak bilang-bilang, kan, kasian, jadinya kita korban PHP. Ya, gak, gais?" "Betul, tuh, Pak!" jawab hampir seluruh mahasiswi perempuan yang ada di kelas termasuk Silvy yang jadi korban patah hati karena berita Deva. Tentu saja, Silvy adalah salah satu yang mengidolakan Deva. "Kemarin bukan pacar saya," kata Deva masih dengan wajah datarnya. Ada helaan napas lega dari beberapa mahasiswi. Namun, itu bukan jawaban yang diinginkan mereka. "Terus siapa, Pak? Tunangan Pak Deva? Adik? Kakak?" "Istri saya." Hampir seisi kelas menatap Deva tak percaya. "Pak Deva udah nikah? Kapan? Sama siapa? Gimana bisa?" semua pertanyaan itu sekarang terdengar menenuhi ruangan. Bagaimana tidak? Tidak ada berita soal pernikahan Deva. Silvy yang mendengar itu hanya bisa menggigiti kaos Raka. "Aaa ... Pak Deva udah bukan bujang, Ka." "Ck. Kaya bocah tahu gak lo! Yaudah, sih. Pak Deva juga cowok normal. Pasti pengin nikah lah." "Aaa, gak bisa. Tetep potek hati ini, Bang Raka." Alya yang baru saja datang dari toilet bersama temannya terlihat kebingungan melihat kelas yang ramai. Ia bahkan melihat beberapa temannya yang berakting menangis. Drama sekali. Tatapan matanya beralih ke arah Deva yang berdiri di depan podium dengan ekspresi tenang. "Ini kenapa pada ngedrama, sih? Emang sekarang kelas seni?" gumam Alya. Alya berjalan menuju mejanya. Ia melihat Silvy yang tengah merengek sambil menarik lengan baju Raka. "Ini pada kenapa, sih? Rame banget kaya tempat ruqyah massal." "Tahu, nih, temen lo. Abis denger Pak Deva ternyata udah punya istri." "Oh ..." Alya duduk di kursinya. Beberapa detik kemudian gadis itu membulatkan mata. "APA?! PAK DEVA PUNYA ISTRI?!" teriak Alya sambil berdiri menatap Silvy. Saking kerasnya suara Alya, hampir seisi kelas sekarang menatapnya, begitu juga Deva. "Ada apa, Alya?" tanya Deva yang juga mendengar teriakan Alya. Alya jadi kikuk. Ia kembali duduk dengan wajah malu karena jadi pusat perhatian. Silvy memeluk Alya erat. "Pak Deva kita udah gak suci, Al. Dia sudah ternoda. Gua gak bisa ngecengin Pak Deva lagi, Al," rengek Silvy. Alya yang mendengar itu merasa kesal sekaligus bingung. Kenapa bisa Deva menyebut 'istri' saat berada di kelas? Benar-benar tidak menepati omongan. Padahal mereka sudah sepakat untuk tutup mulut perihal ini. "Oke, saya akan mulai pelajaran hari ini. Soal istri saya, saya memang belum lama ini menikah. Hanya dihadiri keluarga, jadi gak banyak orang tahu. Saya rasa, saya gak perlu menceritakan lebih detail." "Pak!" Deva menoleh. "Iya, Alya?" Alya terdiam sebentar, ia menghela napas. "Saya gak enak badan. Saya boleh izin gak ikut kelas, Pak?" Deva menatap Alya dalam diam. Ia baru bersuara beberapa detik kemudian. "Ya, silakan." Gadis itu langsung merapikan bukunya. "Al. Gue yang patah hati, kok, lo yang pulang?" "Lo kalo mau pulang, ya, pulang aja. Gue lagi gak betah di kelas." Alya berjalan menuruni tangga lalu melirik Deva yang sama sekali tidak meliriknya sama sekali. Gadis itu pergi menghilang dari balik pintu. Menyebalkan! Alya membenarkan letak tasnya. Ia memilih berjalan kaki dibandingkan menaiki taksi online. Moodnya sedang buruk. Ia berhenti disebuah kedai kopi tak jauh dari tempatnya berdiri. Sepertinya meminum kopi adalah pilihan bagus disaat seperti ini. *** Setelah mengajar, Deva kembali ke ruangannya. Ia mengambil ponselnya dan menelepon rumah. "Halo?" Iya, Mas Deva? "Alya di rumah, Bi?" Non Alya? Enggak, tuh. Bukannya kuliah? "Tadi bilangnya gak enak badan. Saya kira udah sampai rumah. Seharusnya sih udah sampai 30 menit lalu." Bibi enggak lihat Non Alya pulang, Mas. "Yaudah, nanti kalau Alya pulang, kasih tahu saya, ya, Bi." Iya, Mas Deva. Deva menghela napas pelan. Ia masih punya satu jadwal lagi baru bisa pulang. Pria itu mengambil bukunya lalu bersiap masuk ke kelas yang akan ia ajar. Meskipun perasaannya tidak tenang perihal Alya, tapi ia tidak boleh mengabaikan tanggung jawabnya. Alya sudah dewasa. Deva tidak terlalu khawatir. Setelah menyelesaikan jam terakhirnya, Deva mengecek ponsel. Tidak ada panggilan dari Bi Ina, itu artinya Alya belum pulang. Deva mengusap wajah lelahnya. Ia menelepon Aldo, namun Aldo bilang Alya tidak ada di sana. Hujan deras di luar membuat kekhawatiran yang sempat ia abaikan justru bertambah. Tanpa membuang-buang waktu, ia merapikan barangnya lalu bergegas menuju parkiran. Tidak peduli kemejanya yang basah karena hujan. Ia masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya keluar dari kampus. Tak hentinya ia menelepon Alya, namun tidak kunjung diangkat. Disisi lain, Alya duduk seorang diri, di dekat jendela dengan latte yang sudah dingin serta ponsel yang tak berhenti bergetar. Alya sibuk membaca novelnya. Sebenarnya, ia sengaja mengabaikan panggilan Deva. Biar tahu rasa. Membaca n****+ ketika hujan memang sangat menyenangkan. Entahlah ... Alya menyukainya. Lumayan menambah referensinya untuk n****+ yang sedang ia buat. Membaca kadang membantunya mengumpulkan ide untuk ceritanya. Ia berencana akan pulang setelah hujan agak reda. Dan benar saja ... Setengah jam kemudian hujan reda. Hari sudah mulai gelap. Alya harus segera pulang. Ia memesan taksi online dan pergi tentunya menuju rumah. Meskipun ia kesal dengan Deva, bukan berarti ia harus kabur ke seberang samudera, kan? Sesampainya di rumah, Bi Ina langsung menghampiri Alya. "Ya allah, Non Alya. Kenapa baru pulang? Bibi khawatir." Alya terkekeh pelan. "Habis baca buku, Bi. Maaf, ya." "Mas Deva nyariin Non Alya dari tadi siang. Katanya Non Alya sakit. Yaudah ayo masuk! Bibi buatin bubur. Non Alya belum makan, kan?" Alya menurut dan langsung masuk ke dalam. Deva tidak ada di rumah. Ya sudahlah, lebih baik Alya segera tidur. Ia malas sekali harus berdebat hari ini. Mungkin besok saja. Alya merapatkan selimutnya lalu mengecek ponselnya. Ada 62 panggilan tak terjawab dari Deva. Ia langsung menonaktifkan ponselnya dan bergegegas tidur. Ia butuh tenaga untuk menegur Deva besok. Deva baru pulang setelah Bi Ina memberitahu bahwa Alya sudah di rumah. Ia menghela napas lega. Setidaknya Alya baik-baik saja. "Non Alya di atas. Kayaknya udah tidur." Deva mengusap wajahnya. Ia berjalan menuju kamar. Saat membuka pintu ia bisa melihat Alya yang tengah tertidur dengan tenangnya di atas tempat tidur. Deva menghampiri gadis itu. Matanya kini memerhatikan wajah Alya yang tenang. Aroma shampo yang yang kuat masuk ke indera penciumannya. Rupanya Alya baru saja mandi. Deva melepaskan dasinya. Ia mengganti kemejanya dengan kaos. Setelahnya ia duduk di sofa. Ia mengambil ponselnya di saku celana. Sebuah panggilan masuk terpampang di layar ponselnya. "Iya, halo." Besok akan kedatangan tamu yang akan mengisi seminar lusa. Dia akan datang ke kampus besok untuk ketemu dekan. Saya harap kamu bisa menemani dan mengarahkannya. "Ah, baik, Pak. Kalau boleh tahu, siapa tamunya?" Anak Dokter Felix—Reyna. "Reyna?" *** Seperti biasa. Tidak ada yang membangun kan Alya. Deva? Lupakan saja, dia memang sengaja membuat Alya telat kuliah. Alya buru-buru mandi dan berdandan ala kadarnya. Saat sampai di bawah, ia menyapa Bi Ina yang tengah membersihkan meja. "Bi, besok-besok, bangunin saya, ya." Bi Ina mengusap lehernya. "Eng, itu, Non. Mas Deva gak ngizinin Bibi bangunin Non Alya. Katanya biar Non Alya bangun sendiri." Alya mengehela napasnya. Sudah diduga. Deva memang sangat kejam. Dasar menyebalkan. Bahkan pria itu tidak meminta maaf soal kejadian kemarin. Alya benar-benar dibuat jengkel. Sepanjang perjalanan ke kampus, Alya terus memasang wajah super bete. Sang supir taksi saja sampai sesekali melirik ke arah Alya. Mungkin supir taksi itu merasa wajah Alya menyeramkan. Ah masa bodo. Alya berjalan menyusuri koridor dalam diam. Ia juga tidak berlari menuju kelas meskipun ia tahu bahwa jam pertama sudah dimulai 5 menit lalu. Saat masuk ke dalam kelas, Alya mengerutkan dahinya. Ia tidak melihat ada dosen di depan podium. Kelas juga terlihat sepi. Raka dan Silvy masih ada di dalam kelas. Keduanya memanggil Alya agar mendekat. "Gak ada kelas?" "Gak tahu. Pak Burhan gak dateng-dateng." "Yang lain ke mana?" "Ngelihat istrinya Pak Deva." Kali ini Raka yang menjawab. Alya semakin dibuat bingung. Istri Deva? Tapi, kan istri Deva itu dia? "Istri apa? Jangan ngawur." "Iya. Dari pagi heboh banget di auditorium. Ada Kakak cantik yang katanya istrinya Pak Deva." Alya menghela napas. "Yaudah, sih. Gitu aja heboh sekecamatan. Tahu gitu, kan, tadi gue gak buru-buru ke kampus." Silvy memeluk lengan Alya. Gadis itu menunjukkan sebuah foto yang dikirim di grup kelas. "Nih, fotonya dikirim ke grup. Mereka lagi makan di kantin. Gila, sih, mana couple-an gitu bajunya. Fix, ini, mah, istri Pak Deva." Alya melirik ke arah ponsel Silvy. Matanya menyipit kala melihat wajah pria di foto itu memang wajah Deva. Dan wajah wanita di depannya, Alya tidak kenal siapa dia. "Tahu dari mana lo dia istri Pak Deva?" tanya Alya masih berusaha menyangkal apa yang dikatakan Silvy. "Ya, ini contohnya. Baju mereka sama motifnya, kaya ulzzang couple gitu. Terus juga, lo tahu, kan, Pak Deva jarang senyum? Tapi hari ini dia senyum mulu. Fix, dia istri Pak Deva!" "Kayaknya lo gak terima banget kalo dia istri Pak Deva? Gue tahu lo patah hati juga, kan? Lo juga diam-diam suka Pak Deva, kan? Ngaku aja lo!" Karena istrinya Pak Deva itu gue! "Gak usah ngada-ngada. Udah, ah, jangan ngomongin Pak Deva mulu. Panas otak gue. Makan aja, yuk! Gue belum sarapan, nih. Tapi jangan makan di kantin yang ada Pak Devanya. Di kantin satu lagi aja." Silvy dan Raka hanya bisa menuruti permintaan teman mereka yang paling bawel itu. Jika sudah Alya yang meminta, Silvy dan Raka mana berani menolak. Bisa-bisa, Alya mengamuk. Kalau sudah mengamuk urusannya akan rumit. Ketika ketiganya berjalan menuju kantin satunya, mereka melihat Deva dan wanita yang menjadi perbincangan hangat itu sedang berjalan ke arah berlawanan. Alya berusaha tetap tenang dan biasa saja. Ternyata benar, Deva terus tersenyum bahkan ketika wanita itu bicara. Alya membatin, "Sama gue aja senyumnya bisa dihitung pake jari. Muka kalem jiwa fakboy." "Eh, iya. Kemarin kata Kak Aldo, dia punya film baru. Kalian mau nonton?" "Eh, serius?" Jiwa-jiwa film yang ada dalam diri Raka dan Silvy langsung tergoda. Mereka bertiga memang penggemar berat film-film terutama sci-fi. Dan biasanya memang Aldo lah yang selalu memliki film-film baru yang keren. Jangan tanya seberapa banyak film-film yang Aldo miliki. Entah dari mana ia mendapatkannya, Alya dan Silvy tidak tertarik untuk tahu. Yang terpenting adalah menontonnya. "Serius. Sci-fi, loh. Itu, sih, kalo kalian mau." "Mau, lah!" ucap keduanya. Bahkan perhatian kedua temannya pada Deva langsung teralihkan. Deva yang mendengar teriakan ketiganya langsung menoleh. Mereka berpapasan, namun Alya sibuk berbicara dengan kedua temannya. Alya bahkan tidak melirik ke arah Deva sedikitpun. "Dev? Deva?" Deva menoleh, "Hah?" "Kamu lihatin apa?" tanya Reyna. "Ah, enggak. Tadi mereka mahasiswa saya." Reyna menoleh ke belakang mendapati ketiga mahasiswa yang tengah asik dengan pembicaraannya. "Mereka gak nyapa kamu?" Deva terkekeh. "Mereka terlalu asik ngobrol. Mungkin gak lihat saya." Reyna mengangguk. "Ayah bilang, dia nawarin kamu ambil S3 di AS? Kamu terima?" "Saya masih belum kepikiran. Lagipula, saya harus bilang dulu ke istri saya." "Ah, iya. Aku lupa kalo kamu udah menikah." "Kalau gitu, saya permisi, ya. Ada banyak yang harus saya kerjakan. Kamu bisa langsung ketemu Pak Dekan. Ruangannya ada di ujung sana. Jalan lurus ke depan, terus belok kanan." Reyna tersenyum. "Makasih, ya, Dev. Aku jadi ngerepotin kamu." "Gapapa. Udah tugas saya. Saya permisi." Deva melangkah pergi meninggalkan Reyna. *** Alya, Silvy, dan Raka tengah menyantap sarapan mereka. Ya ... Ini masih jam 9 pagi. Anggap saja sarapan. Disela-sela itu, mereka juga saling bercerita, meskipun kebanyakan cerita tidak jelas dari mulut seorang Raka. Diantara ketiganya, hanya Raka yang selalu punya bahan cerita untuk diperbincangkan. Meskipun kebanyakan dari itu adalah cerita yang … tidak penting juga untuk diceritakan. "Jadinya, kucing lo mati?" tanya Silvy. "Enggak. Dibawa ke bidan sama Kakak gue." "Ngapain dibawa ke bidan? Emang mau beranak?" "Nah itu dia. Pas gue tanya, tahu gak Kakak gue jawab apa? Kakak gue bilang kucing dia alergi dokter. Buahahaha." Tawa Raka pecah seketika, namun Silvy dan Alya tidak merasa itu lucu sama sekali. Keduanya hanya menatap Raka dengan tatapan jengah. Sia-sia sudah mereka meluangkan waktu selama 10 menit untuk mendengar Raka menceritakan perihal kucingnya. "Kakak lo sama lo sama-sama gak waras emang." Alya mengangguk setuju. Punya teman seperti Raka memang harus bersiap menanggung malu. Untungnya di kantin tidak ramai. Saat mereka asik mengobrol, seorang gadis berambut ikal menghampiri meja mereka. "Permisi. Kak Alya, ya?" tanyanya. Dari cara berbicara sepertinya gadis itu mahasiswa baru. "Iya. Kenapa?" "Dipanggil Pak Deva, katanya Kakak disuruh ke ruangannya." Alya memutar bola mata malas. "Iya. Nanti Kakak ke sana." "Kalau gitu, aku permisi, Kak." Sepeninggal gadis tadi, Alya menghela napas berat. Ia menjatuhkan garpunya di atas piring yang berisi pasta. Selera makannya langsung punah. Tidak tahu kenapa jika mendengar nama Deva Alya langsung kehilangan moodnya. Pria itu senang sekali membuatnya kesal. "Ayo, ikut, Sil!" "Lah? Tumen lo ngajak gue? Biasanya kalo ke ruangan Pak Deva selalu sendiri." "Lo gak mau lihat Pak Deva? Meskipun dia udah nikah, tapi kan dia masih ganteng." Silvy langsung tersenyum. Penawaran yang begitu menggiurkan. Bagi Silvy, melihat Deva itu selalu mengembalikan moodnya. Sebenarnya Silvy tidak benar-benar menyukai Deva. Hanya saja, wajah Deva memang tampan. Jadi selalu enak dipandang mata. "Let's go!" Ketika keduanya pergi meninggalkan Raka, pria itu langsung mengumpat dalam hati. "Gue yang disuruh bayar, nih?! Gak waras kalian!" teriak Raka. Keduanya masuk ke dalam ruang Deva yang memang terlihat sepi. Biasanya ada Pak Burhan karena ruangan itu juga ruangan Pak Burhan. Tapi Pak Burhan mungkin memang sedang tidak ada. Makanya kelas Alya tidak masuk. "Permisi, Pak," ucap Alya mengetuk pintu, membuat Deva mendongakkan kepalanya. Namun matanya melirik ke arah Silvy yang berdiri di belakang Alya. Ia menghela napas. "Masuk." Keduanya masuk dan berdiri di depan meja Deva. "Kenapa Pak Deva manggil saya?" Deva merapikan kertas yang ada di mejanya, lalu menyodorkan kertas itu ke arah Silvy. "Silvy. Bisa tolong antar kertas ini ke Bu Indah? Beliau ada di perpustakaan." Silvy meraih kertas itu dengan wajah sumringah. Meskipun jarak kantor Deva dan perpustakaan lumayan jauh, tapi jika Deva yang menyuruhnya Silvy mana bisa menolak. Gadis itu tersenyum. "Siap, Pak." Silvy berbisik ke arah Alya, "Gue antar ini dulu ya, Al. Nanti langsung ke kelas aja." "Tapi, kan ..." Belum sempat Alya melanjutkan ucapannya, Silvy sudah pergi lebih dulu. "Duduk, Alya," suruh Deva dengan suara bariton yang khas dan terkesan datar itu. "Pak Deva kenapa manggil saya?" tanya Alya yang tetap berdiri. Melihat Alya yang masih berdiri, Deva juga ikut berdiri. Kini mereka saling berhadapan dipisahkan dengan meja. "Kamu udah sarapan?" Alya menghela napas pelan. Ia menatap Deva malas. "Pak Deva manggil saya cuma buat nanya itu?" "Enggak. Bukan itu yang mau saya tanyain." "Kalo gitu langsung intinya aja, Pak. Bukannya gak sopan, tapi saya lagi makan sama teman-teman saya. Kalo Pak Deva mau tahu." Deva diam sebentar sebelum akhirnya bersuara. "Hari ini kita harus ke rumah Kak Disha. Kalo kamu ingat, hari ulang tahunnya. Kita ke sana nanti sore." "Iya." Hanya itu kata yang keluar dari bibir Alya. "Saya juga mau minta maaf, soal kemarin ... Saya cuma mau kasih tahu supaya mereka berhenti. Kamu pasti paham maksud saya, Alya." "Oh." Alya mengangguk. "Lagian juga, semua ngiranya cewek yang sama Pak Deva tadi itu istri Pak Deva. Jadi saya gak perlu takut kalo tiba-tiba mereka ngincar saya." "Namanya Reyna." "Iya, Reyna," kata Alya dengan nada malas. "Udah, kan, Pak? Saya boleh pergi?" "Tunggu sebentar." Deva berjalan mendekati Alya. Gadis itu hanya diam memerhatikan Deva yang semakin dekat dengannya. Tangan Deva terulur ke arah telinga Alya. Pria itu membenarkan rambut yang menyangkut di anting Alya. Sambil melepaskan helaian rambut yang tersangkut, Deva mengatakan sesuatu, "Kalau kamu gak suka, bilang gak suka. Kalau mau marah, silakan marah. Kamu harus tahu ... Kalo kamu berhak." Alya tidak mengeluarkan sepatah katapun. Mulutnya serasa kaku. Rasanya seperti telinganya saja yang berfunsi. Bahkan untuk menjauh dan mendorong Deva seperti biasa ia tidak bisa. Sekarang ia sudah mirip seperti manekin. "Alya, kamu istri saya. Bagaimanapun kamu, perasan kamu, sifat, kebencian kamu sama saya ... kamu adalah wanita yang saya sebut namanya ketika saya berikrar dihadapan Tuhan." "Lalu?" tanya Alya yang lebih seperti gumaman. "Lalu kasih saya kesempatan. Saya masih belajar, untuk jadi suami yang baik. Salah saya ... karena gak pernah mengerti kamu. Maaf." Alya menyingkirkan tangan Deva yang berada di bahunya. "Saya permisi, Pak." Gadis itu pergi meninggalkan ruangan Deva. Pria itu mengusap wajahnya, lalu menghela napas berat. Ia kembali duduk di kursinya sambil sesekali memijat pelipisnya. Deva mengaku bahwa ia memang salah. Ia bahkan belum menjadi suami yang baik untuk Alya. Suami itu pemimpin dan pembimbing untuk istrinya. Tapi Deva? Ia tidak melakukan apa-apa bahkan sampai detik ini. Berat. Ini juga berat buat saya, Alya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN