Deadline - 6

1720 Kata
Alya mengerjapkan matanya. Ia menguap lalu mengusap pipinya. Matanya terbuka perlahan. Satu benda yang pertama kali ia lihat ... jam dinding. Mata Alya terbuka lebar. "Jam 06.30?! Gilak!" Alya langsung berlari menuju kamar mandi. Alya menggerutu dalam hati, mengumpati Deva yang selalu saja tidak membangunkannya. Memang apa susahnya membangunkan sebelum pergi? Alya tidak habis pikir. Seperti biasa, taksi online adalah kendaraannya sehari-hari. Alya tidak diizinkan mengendarai mobil oleh sang Ayah. Alasannya karena Alya ceroboh dan mereka takut Alya membuat masalah. Itu sebabnya Alya tidak punya SIM. Alya berlari menuju kelas. Memang hari ini Deva tidak masuk untuk mengajar, Alya tetap saja harus tepat waktu atau dosen menyebalkan itu akan menceramahinya sepanjang jam. Seperti yang sudah diperintahkan Deva, Alya lah yang menggantikannya untuk menyampaikan materi yang beberapa hari lalu diajarkan Deva, dan karena materi itulah ia sampai melepas status lajangnya dengan tidak keren. Digrebek? Ah, sudahlah. "Selamat pagi, teman-teman. Sebelumnya saya ingin memberitahu bahwa hari ini dosen kita yang bernama Devano Rendra tidak bisa hadir, namun saya yang menggantikannya untuk menyampaikan materi. Mohon kerja samanya." *** Alya meneguk jus mangganya sampai setengah lalu menaruh gelasnya di meja agak kasar. "Tapi, gue akui lo keren hari ini, Al. Lo udah cocok lah jadi dosen." "Al ... Lo yakin, lo gak suka sama Pak Deva?" tanya Silvy yang membuat Alya memutar bola mata malas. "Pertanyaan lo gak berfaedah banget, sumpah." Alya mengunyah rotinya. "Atau jangan-jangan, Pak Deva yang suka sama lo." Uhukk! Alya mengusap dadanya lalu menatap Silvy dengan tatapan sebal. "Jangan ngadi-ngadi, anda!" "Ya habisnya, Pak Deva tuh ... apa-apa lo ... apa-apa lo. Kayak gak ada orang lain aja di kelas selain lo." "Yakan dia PJ matkulnya, bodoh!" kata Raka yang ikut kesal karena pertanyaan Silvy. "Ya gue tahu. Tapi lo lihat Arsy. Dia PJ Pak Saveer, tapi Pak Saveer gak cuma minta tolong Arsy. Bianca juga gak digituin sama Bu Ana. Semua yang jadi PJ gak kayak Alya. Cuma Pak Deva doang yang selalu nyebut Alya di mana aja." Raka kini mulai merasa omongan Silvy ada benarnya. Memang hanya Alya yang selalu disebut Deva. Maksudnya, apapun keadaanya, ada atau tidak adanya Alya, semua urusan yang berkaitan dengan pria itu ... Alya lah orang pertama yang akan disebut. "Iya juga, sih." Raka menganggukkan kepalanya setuju. "Dan yang paling penting ... Pak Deva memperlakukan lo beda." "Lebih menyiksa gue, gitu?" tanya Alya yang sama sekali tidak tertarik dengan topik pembicaraan saat ini. "Ya, bisa aja ... Pak Deva sengaja, karena dia mau cari perhatian lo." "Cari perhatian macam apa yang ngasih deadline gak ada akhlak?! Ngaco lo! Udah, ah. Males gue ngomongin dia. Sakit kepala gue." "Lo ngomong kayak gini, awas aja lo berjodoh sama dia. Jilat ludah sendiri entar." Skakmat! "Eh, iya. Gue bosen pengin nonton film, nih. Ka, lo ada film bagus, gak?" Alya mencoba mengalihkan pembicaraan. Untungnya, kedua temannya itu tidak melanjutkan pembicaraan tentang Deva. "Ada. Film robot, lo mau nonton?" "Mau! Ayo, nanti pulang ngampus kita nonton! Di rumah lo, ya!" Raka menggelangkan kepalanya. "Di rumah gue lagi ada sodara. Males ... Berisik. Di rumah lo aja, Al." "Kalo rumah lo, Sil?" "Lo, kan, tahu, nyokap gue lagi sakit. Gak bisa berisik dikit. Raka bener, tuh. Di rumah lo aja." Mampus. Gue, kan, udah pindah rumah. Kalo gue ajak mereka ke rumah gue, nanti Mama lemes lagi. Kalo gue ajak ke rumah Pak Deva, nanti mereka banyak nanya. Alya menggigit bibir bawahnya. Ia merutuki dirinya sendiri karena mengusulkan menonton film. Sekarang ia terjebak dalam perkataannya. Alya berpikir keras. Tapi ... Pak Deva, kan, lagi pergi. Pulangnya besok pagi. Gapapa kali, ya. Lagian mereka gak bakal nginep juga. "Okedeh. Ke rumah gue!" Mereka menepati ucapan mereka untuk menonton film di rumah Alya. Ketiganya memakai taksi online untuk sampai ke sana. Raka dan Silvy langsung kebingungan saat mereka sudah berdiri di depan rumah asing yang tentunya bukan rumah Alya yang sering mereka kunjungi. "Lo yakin, gak salah rumah, Al?" "Ini bukan rumah lo." Alya menggaruk alisnya. Ia harus mencari alasan yang pas. "Ini ... rumah punya orang tua gue waktu mereka nikah. Tapi karena rumahnya kecil, setelah punya Kak Aldo sama gue, mereka pindah deh. Jadi, ini rumah gak ditempati, gak dijual juga. Gue sengaja tinggal di sini, soalnya di rumah Kak Aldo sering ganggu gue. Lo tahu sendiri." Keduanya mengangguk saja, meskipun sebenarnya mereka juga tidak peduli Alya tinggal di mana. Ketiganya paling pandai dalam mengubah ruang tamu menjadi bioskop. Dengan proyektor dari Raka, semuanya sempurna. Sebuah hologram yang muncul dari proyektor itu. Lalu mereka bisa memilih film yang ingin mereka tonton dengan menggerakkan tangan mereka. Alya sudah siap dengan snack yang sebelumnya ia beli di supermarket. Ketiganya terlarut dalam film yang mereka tonton, hingga tak sadar waktu cepat berlalu. *** "Baik. Terima kasih atas kerjasamanya, Deva. Saya berharap kamu bisa mempertimbangkan tawaran saya." Deva tersenyum sambil membalas jabatan tangan pria di hadapannya. Pria itu adalah Dokter Felix—salah satu pendiri universitas besar di Amerika dan juga kenalan Ayahnya. "Ah, ya. Kamu masih muda, Deva. Saya punya anak perempuan yang umurnya sama dengan kamu. Mungkin lain waktu jika kamu ingin saya kenalkan?" Deva terkekeh pelan. "Saya sudah menikah, Pak." Dokter Felix nampak terkejut. Dari informasi yang ia dengar, Deva masih melajang. Bagaimana ia bisa salah mendapatkan informasi? "Ah, benarkah? Saya tidak pernah dengar soal pernikahan kamu." "Hanya pernikahan yang dihadiri keluarga. Memang tidak ada pesta, jadi tidak banyak orang tahu." Dokter Felix tersenyum dan mengusap bahu Deva pelan. Sejujurnya ia berharap bahwa Deva mau dijodohkan dengan putri semata wayangnya. Deva adalah pria muda yang berbakat dan menjanjikan. Masa depannya sudah terjamin. Sayang sekali, Dokter Felix tidak mengenalkan Deva pada putrinya dari awal. "Pasti gadis itu sehebat kamu. Saya rasa, kamu tidak akan sembarangan memilih istri." "Dia mahasiswi saya, Pak. Dan lagi ... saya mencari istri, bukan teman untuk beradu otak." Perkataan Deva barusan membuat Dokter Felix tertawa sumbang. Sudah bisa dipastikan bahwa istri Deva tidak sehebat putrinya. Itu artinya ia masih punya kesempatan untuk membuat Deva jatuh hati pada putrinya. "Kalau begitu, lain kali ajak istri kamu ke sini. Sepertinya istri kamu bisa jadi teman anak saya." Deva tahu Dokter Felix berusaha mendekatkannya pada putrinya. Meskipun keduanya tidak pernah bertemu, namun Deva bisa mengenali secara tidak langsung karena pria itu selalu menceritakan tentang putrinya. "Tentu, Pak. Dia pasti senang. Kalau begitu, saya permisi." Deva pergi setelah berpamitan. Dokter Felix menatap kepergian Deva sampai pria itu menghilang dari balik pintu. "Cari tahu soal gadis yang dinikahi Deva! Dari keluarga sampai kehidupannya. Jangan lewatkan sedikitpun," kata pria berkacamata itu dengan suara tegas pada sekretarisnya. "Baik, Tuan." "Deva harus menikahi Reyna. Hanya Deva yang pantas. Apapun yang menghalangi akan saya singkirkan, termasuk gadis yang dinikahinya.” *** Deva melempar jasnya ke atas tempat tidur. Ia membuka kancing dan melipat lengan kemejanya. Ia berjalan menuju balkon lalu duduk di sofa kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Banyak notifikasi yang muncul saat ia menyalakan ponsel. Satu persatu pesan dibalasnya. Namun ada seseorang yang tidak menghubungi Deva sama sekali. Alya ... gadis itu bahkan tidak melaporkan absensi kelas. Deva menekan ikon telepon lalu menaruh ponsel di telinganya. Telepon itu tersambung, namun tak kunjung di angkat. "Ini anak ke mana, sih?" gumam Deva. Deva terus menelepon namun tidak ada jawaban. Pria itu sedikit khawatir. Tidak biasanya Alya begini. Gadis itu selalu mengangkat panggilan darinya. Deva mencoba menghubungi Aldo. Untung saja pria itu cepat mengangkatnya. Iya, kenapa adik iparku yang ganteng. "Alya ada di sana?" Alya? Ya enggak ada, lah. Sejak kalian nikah dia gak pernah ke rumah. Emang gak tau diri banget lu pada. "Maaf, nanti kita ke sana minggu depan. Tunggu jadwal kosong." Iyadeh yang sibuk. Eh betewe Alya beneran gak di sini. Lo gak sama dia?" "Enggak. Saya di Bali. Alya gak angkat telepon. Saya khawatir. Bisa tolong ke rumah lihat Alya?" Yaelah, Bro. Adek gue gak usah lo khawatirin. Dia salto aja gak bakal lecet. Kulitnya kulit baja. Tapi kalo lo emang khawatir kenapa lo gak pulang aja? Jakarta-Bali gak sejauh gue dan hatinya. Asoy. Benar juga yang dikatakan Aldo. Lebih baik ia pulang sekarang. Lagipula, ia sudah tidak punya urusan lagi di Bali. Lebih baik ia pulang. "Oke, saya pulang." Deva memutus panggilan. Ia langsung merapikan pakaiannya dan memasukkan ke dalam koper. Tak butuh waktu lama untuk sampai di bandara. Deva langsung memesan tiket saat itu juga. Ia bahkan tidak mengatakan apapun pada Ayannya yang saat itu juga berada di Bali. Keduanya memang berjanji akan bertemu besok pagi. Kebetulan Daren ada janji temu dengan teman lamanya. Hari menunjukkan pukul 03 pagi. Deva baru sampai setelah 5 jam perjalan dari menunggu pesawat hingga naik taksi ke rumah. Pria itu memijat lehernya yang kram. Ia menekan pin lalu pintu terbuka. Keadaan rumah begitu gelap. Setelah menaruh sepatunya di rak, langkah Deva terhenti mendapati ketiga manusia yang tengah tertidur di ruang tamu dengan hologram yang menampilkan sebuah film di depannya. Deva menghela napas. "Astaga. Saya pulang karena khawatir, tapi ternyata kamu lagi berantakin rumah. Alya, kamu ini ...." Deva mengusap wajahnya. Ia memungut beberapa sampah yang tergeletak di lantai. Ia bahkan menyempatkan menyapu lantai meskipun badannya terasa pegal. Deva mematikan proyektor yang menampilkan hologram itu. Ia mendekati Alya yang tengah tertidur dipangkuan Raka. Kepala Raka menghadap ke bawah, hampir menyentuh wajah Ava. Dengan cepat,. Deva mendorong dahi Raka, membuat kepala pria itu menyender kembali ke sofa. Deva menggendong Alya dan membawanya ke kamar. Ia menidurkan Alya dengan perlahan agar tidak membangunkan gadis itu. Alya menggeliat pelan. Matanya perlahan terbuka. Ia bisa melihat wajah Deva yang berada dekat dengan wajahnya. Matanya membulat sempurna. "Pak Dev—" Deva menutup mulut Alya dengan telapak tangannya. "Diam. Kamu nanti bangunin mereka," bisik Deva. "Pak Deva kok udah pulang?" tanya Alya dengan suara berbisik. "Kenapa? Kamu mau buat pesta tujuh hari tujuh malam dan ngehancurin rumah?" Alya menggaruk belakang kepalanya. "Gak gitu juga kali." "Saya bosan di sana. Saya gak suka," bohong Deva. Alya mendengkus pelan. "Orang-orang pengin ke Bali. Lah, Pak Deva bosan di Bali. Ngaco, ih." "Yaudah, tidur sana! Nanti subuh saya bangunin. Terus usir teman-teman kamu itu. Lain kali jangan tidur dipangkuan cowok! Meskipun itu teman kamu." Alya menaikkan sebelah alisnya. "Bilang aja kalo Pak Deva cemburu." "Saya enggak cemburu. Tapi itu gak pantas. Kamu udah ..." "Menikah. Iya, saya tahu," kata Alya dengan wajah malas. "Bilang cemburu aja gengsi banget." "Saya dengar!" "Sengaja!" Alya menjulurkan lidahnya, lalu menarik selimutnya dan mencoba memejamkan mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN