Bab 9. Love You More

2297 Kata
Jam sekolah selesai. Crystal sengaja urung pulang karena berjanji untuk menemani Intan untuk fangirling-an melihat Morgan beraksi di turnamen basket antar sekolah kali ini. Padahal ada banyak juga anggota basket dari sekolah lain yang tampan, tetap saja Morgan jadi pangeran terbaiknya. Seluruh siswa SMU Golden dan beberapa siswa SMU lain sudah memenuhi gedung basket sekolah. Beverly sudah berada di tengah lapangan. “Beverly! Aaaaa!!!” Histeria mulai membahana. Crystal saja sampai menutup rapat telinganya. “Ih, pada lebay anak-anak Golden!” Crystal keki. Di sampingnya, ternyata Intan juga bersorak-sorak menyemangati Morgan. Dia menjerit keras seakan Morgan bisa menyadari eksistensi di antara para pendukung. “Morgan! Hwaiting, Ayank!” teriak Intan. Crystal tertawa kecil. 'Beraninya maen belakang doang. Tatap muka aja langsung ciut,' gumamnya. Mereka duduk di tribun paling depan, menanti pertandingan yang hampir dimulai. “Go Golden, Go Golden, Go!” sorak para siswa memberi semangat. Morgan tersenyum, memberikan sebuah kerlingan mata dan flying kiss untuk para pendukungnya. “Aaaaaaaaa! Morgan!” Histeria mengisi gedung olahraga. Pertandingan sudah dimulai. Pantas saja fans-nya berjibun seperti semut, permainan mereka memang kompak. Drible bola saja keren, apalagi saat melakukan shoot. Begitu juga lay-up nya.Untung saja belum ada yang slamdunk, bisa pingsan para fans mereka. Crystal masih setia menemani Intan. Padahal sebenarnya Crystal sudah menggerutu. 'Hebat si Intan ini, bisa dapat barisan paling depan. Yang lain aja malah ada yang nggak kebagian tempat. Sejak jam berapa nih anak nge-booking posisi?' batin Crystal. Crystal terkejut ketika Emerald datang dan duduk di sampingnya. “Ngapain lo di sini? Cewek lo mana?” ketus Crystal dengan nada jutek. Tentu saja dia masih ingat bagaimana Emerald yang selalu tebar pesona dan pendekatan pada Mutiara. “Dia bukan cewek gue. Ya ... gue emang naksir dia, sih.” 'Minta dijitak nih si Al. Gampang banget ngomong gitu di hadapan gue?' gerutu Crystal dalam hati. Crystal menunduk sejenak, lantas terkejut ketika dagunya diangkat oleh Emerald. “Lo ... jealous?” tanya Emerald. Crystal terdiam, tak terlalu paham akan isi hatinya sendiri. “Gue memang jealous, tapi apa sekarang gue berhak? Lo cuma teman gue. Gue cuma nggak rela aja lo lebih merhatiin Mutiara daripada gue. Dan gue juga bisa nyingkirin Ruby gitu aja.” Crystal terlihat bingung. Dia hanya terjebak di antara dua lelaki yang berkaitan hati dengannya. Keduanya sangat diidamkan Crystal. Emerald merasa kasihan pada Crystal. Dia melihat air mata menggenang di binar cokelat matanya. “Kenapa? Lo mulai cinta sama dia? Lo mulai sayang sama dia?” tanya Emerald. Crystal tak langsung menjawab, hanya tak ingin Emerald tahu perasaannya pada Ruby. Karena jujur, dia juga belum tahu pasti seberapa besar cintanya untuk Ruby. Memang benar cinta ataukah sekadar kagum akan kesempurnaan pesona Ruby. “Gue harus nerusin perjodohan gue ini, sekalipun di hati gue masih ada lo, Al.” Tak peduli di tengah keramaian siswa Golden, Emerald mencium kening Crystal dan menghapus air mata mantan kekasihnya itu. Naasnya, dari puluhan pasang mata yang tak memperhatikan, ada seseorang yang melihat jelas adegan perselingkuhan itu. Morgan. “Gan!” Morgan pecah konsentrasi. Bola basket yang diarahkan Jimmy itu justru mental keras di kepalanya. Bukkkk! “Aaaghh! Sakit, Nyong!” kesal Morgan. Priiiittttt!!! Waktunya istirahat. Para Beverlous cemas karena pangeran mereka tertimpuk bola basket. Morgan masih terus mengompres dahinya yang biru karena hantaman bola. Matanya justru masih liar mengikuti Crystal yang pergi meninggalkan arena tribun bersama Emerald. 'Ck, cari mati tuh anak! Awas aja dia mainin si Ruby,' rutuk Morgan dalam hati. Sementara itu, Intan terlihat cemas menyadari kondisi Morgan. “Ya ampun, pangeran gue. Gimana, nih, Crys? Apa yang harus gue lakuin?” tanya Intan. Intan tak menyadari karena terlalu fokus pada permainan di lapangan. Crystal sudah pergi bersama Emerald. Dia gugup ketika beradu tatap dengan Morgan. Ketika hendak lari, Morgan segera mengejar dan menarik tangan Intan. “Eeh ... mau kabur?” tanya Morgan. “Kabur apanya? Kan, kali ini bukan gue yang bikin lo ketimpuk bola,” kesal Intan. Intan sok jutek, padahal sebenarnya hatinya sudah kelimpungan. Morgan tak bicara, lantas menarik tangan Intan untuk duduk di sebelahnya. Dia memberikan handuk putih itu pada Intan. “Bantu kompresin! Kemarin kayaknya lo jago ngompres gue,” seru Morgan. “Jago apanya? Emang ada, orang jago ngompres? Ngarang banget!” Morgan tak bicara lagi. Seorang pelatih mendekati mereka. “Kamu bisa lanjut, Gan?” “Bisa, Coach, tapi ntar di pertengahan aja. Kepala saya masih pusing banget, nih! Si Jimmy itu keras banget nimpuknya.” Pelatih itu tersenyum dan pergi dari hadapan mereka. Intan mengulas raut sok jutek. “Emangnya siapa yang nimpuk lo? Jimmy itu mau ngoper ke lo. Siapa suruh lo nggak konsen? Lo terlalu terbius sama pesona dan sorakan Beverlous lo itu?” “Iya. Gue terbius sama pesona salah satu fans gue. Puas, lo?” Intan manyun. Dengan sabar, dia mengompres dahi Morgan dengan handuk dingin yang dibasahi air es. Morgan terus menatap Intan, lantas mengurai smirk evil. 'Tan ... Tan. Harusnya lo punya jantung cadangan. Jadi, kalau jantung lo tiba-tiba copot waktu ngeliat wajah gue, lo masih bisa hidup,' batin Morgan. Wajar Morgan terlalu percaya diri. Dari wajahnya saja jelas terlihat bahwa Intan begitu gugup di dekat Morgan. Intan mengangkat pandangannya, langas kembali menunduk saat Morgan masih menatap lekat matanya. Ngeliatin gue segitu banget, sih? pikirnya. “Lo udah punya pacar?” tanya Morgan. Intan terkejut, segera menghentikan aksinya ketika melihat wajah Morgan terlalu dekat dengannya. “Hah? Gue ... nggak! Nggak ada pacar.” Intan tersenyum simpul. Biasanya, kan, kalau cowok udah tanya gitu, pasti ada usaha pedekate. 'Yes!' batin Intan. “Ya iyalah, nggak ada pacar. Emangnya cowok mana yang mau sama cewek jadi-jadian kayak lo?” Morgan terkekeh. Intan kesal dengan tawa Morgan. Dia menekan keras dahi Morgan dengan handuk, lalu berlari. “Makan, tuh!” “Adoooowwww!” jerit Morgan. Morgan tersenyum melihat Intan berlari kecil meninggalkannya. “Lucu banget, sih!” Morgan sangat suka ekspresi kesal Intan. Dan sialnya, dia harus mengompres lagi dahinya. “Aduh!” * Sudah setengah jam sejak turnamen selesai, tentu saja SMU Golden yang menyabet tropi. Crystal clingak-clinguk mencari keberadaan Morgan dan yang lainnya, hendak memberi ucapan selamat. “Congratz, Guys! Sumpah! Kalian keren banget!” ucap Crystal seraya mengacungkan jempolnya. “Of course, Baby,” seru Davin. “Anak Beverly dilawan,” tambah Jimmy. Sedari tadi, Crystal hanya melihat Morgan cemberut. Pemuda tampan berkulit tan itu hanya memasukkan baju seragamnya ke dalam tas. “Lo kenapa, Gan?” tanya Crystal. “Harusnya gue yang tanya gitu, lo yang kenapa? Seenak jidat lo mainin kakak gue!” pekik Morgan. Crystal bingung, Morgan segera berdiri dan menarik tangannya menjauhi mereka. Entah ke mana. Davin dan Jimmy jadi heran. “Kenapa, sih?” tanya Jimmy. “Nguntit, yuk!” “Oke, jadi Love Spy 007, ya!” “Eh? 007? James Bond?” “Yuhuuu!” Bak detektif handal, atau lebih enaknya dibilang mata-mata, keduanya mengikuti dari belakang. Ketika Crystal dan Morgan terhenti di pelataran, mereka ikut berhenti dan bersembunyi di balik tiang. Crystal dan Morgan masih bergulat dengan masalah kecil mereka. “Lo kenapa, sih?” tanya Crystal. “Lo yang kenapa? Lo itu tunangan kakak gue. Kenapa lo masih ada hubungan sama Emerald? Jahat banget, lo. Kalau lo bukan cewek, gue ajak berantem juga, lo.” Crystal bungkam sesaat, memilih kata yang tepat ketika hendak menjawab ucapan Morgan. 'Sebaiknya dipikir-pikir dulu kata-kata yang pas. Kalau salah, gue bisa ditelan hidup-hidup sama si Morgan ini. Galak banget,' gumamnya. Morgan masih menunggu jawaban pasti dari Crystal. “Lo ada pembelaan?” “Gue lagi berusaha untuk cinta sama Ruby, tapi nggak segitu mudahnya gue ngelupain Emerald. Gue sekarang sama dia cuma temen, gue harap lo ngerti.” Crystal dan Morgan masih bicara serius, Jimmy dan Davin tetap menguping di balik pilar. “Lo denger nggak, Jim?” tanya Davin. “Dikit. Lo, Vin?” “Kagak!” “Eeeh! Emang dasar elo yang budeg, Vin." Pembicaraan Crystal dan Morgan masih terus berlanjut. Lagi, langkah Mutiara menarik perhatian orang di sekitar. Gadis itu memang sangat cantik dengan tampilan modis dan senyum ramahnya. Morgan yang posisinya membelakangi Mutiara, tentu saja tak terhipnotis seperti Jimmy dan Davin yang ikut lumer karena pesona Mutiara. Antena playboy mereka menyala setelah mendapat sinyal dari Mutiara. “Aih, cantik banget! Siapa, Vin?” “Omegot! New target, tuh! Kayaknya itu anak baru yang lagi jadi trending topic di sekolah kita. Ngalahin genk Beverly, malah!” Mutiara berhenti di dekat Crystal. “Hei, Crys, belum pulang?” Morgan berbalik, lantas menatap siswi cantik yang bernama Mutiara itu. Bukan Morgan, justru Mutiara menguntai senyum menggoda. "Gantengnya!" Meskipun berbisik, Morgan bisa mendengar ucapan Mutiara itu. “Dari mana lo, Ra?” tanya Crystal. Mutiara belum menanggapi karena sepertinya dia masih menikmati zona pesona leader Beverly itu. Morgan tersenyum tipis, mengulurkan tangannya pada Mutiara untuk berkenalan. Setidaknya dia melakukan manner seorang pria gentle. “Hei, gue Morgan.” “Eh, ha-hai ... gue Mutiara.” Morgan melepaskan tangannya dan menoleh lagi pada Crystal. “Crys, gue ke sana bentar, ya!” “Yup.” Morgan sempat melirik pada Mutiara, berlalu sambil mengerlingkan matanya. Dia pergi setelah menyisakan setumpuk rasa percaya diri karena telah digoda pemuda setampan Morgan. “Oh My God! Keren banget,” kagum Mutiara. Morgan tertawa dalam hati. Meskipun pesona Mutiara luar biasa, gadis itu bukanlah seseorang yang bisa menaklukkannya. Dia terkejut saat melewati pilar, tangannya disambar oleh Davin. "Astaga! Ngapain kalian di sini?” tanya Morgan. “Cewek tadi cakep banget. Siapa? Anak baru itu, ya?” tanya Davin, penasaran. “Yup!” “Gue mau deketin dia, ah,” sambung Jimmy. “Ngayal! Dia aja kayaknya udah naksir gue." Morgan mematahkan semangat mereka saja. Dia meninggalkan para Beverly yang masih merengut kesal karena seperti biasa, mereka kalah start dari Morgan. * Crystal duduk terpaku, tak tahu harus bicara apa. Pasalnya minggu pagi ini, Ruby datang dengan tampilan yang sangat rapi dan tampan. Mereka duduk santai di teras. Santai? Tidak, karena jantung mereka memiliki debaran yang sama. Pun saat tanpa sengaja mata mereka beradu tatap, mereka saling menjauh. Canggung sekali. “Ada perlu apa lo ke sini?” tanya Crystal. Ruby melihat ke arah Crystal, tetap tersenyum. Meskipun Crystal tampak malu, tetap saja bibirnya melontarkan kalimat ketus. Mungkin itu caranya menutupi rasa grogi. “Kenapa senyum-senyum? Muka gue mirip badut?” protes Crystal. “Kenapa kamu ngomongnya harus meledak-ledak gitu? Abis nelan bom, ya? Atau bawaan orok?” “Jidat lo! Ini semenjak gue ketemu sama lo makanya gue berubah kayak nenek sihir. Aslinya gue itu putri salju.” "Putri salju? Yang keracunan apel ibu tiri penyihir, trus bisa bangun karena ciuman pangeran?" Crystal terkejut saat Ruby mengurangi jarak mereka. Sempat lima detik lalu Crystal berpikir Ruby akan benar-benar menciumnya. Tidak. Ruby hanya bernapas di sekitar wajah Crystal. Crystal mengerti Ruby menahan diri. Melihat telinga Ruby yang berubah merah, Crystal pun tahu Ruby sebenarnya juga terjerat. Hanya saja, dia masih berprinsip tentang usia Crystal yang dianggap masih bocah. "Masih belum berani cium juga?" seru Crystal sambil mendorong d**a bidang Ruby. Ruby menjauh. Sejak tadi telinga Ruby menjadi perhatian Crystal karena tiba-tiba merah saat Ruby mulai canggung. Zona aktif terdeteksi saat Ruby terjerat akan gairah sendiri. "Lo kalau lagi malu, telinganya merah, ya?" tebak Crystal. Ruby terkejut, lantas beralih ke sisi lain sambil memegang telinganya. Crystal semakin meraja dengan godaannya. "Gue yakin itu daerah yang paling sensitif sama sentuhan," imbuhnya, lagi. Mendengar ocehan Crystal, Ruby mendecak karena pembicaraannya sudah terlalu jauh dari zona remaja. "Hei, jaga bicara kamu. Anak kecil nggak boleh ngomong gitu!" "Anak kecil apa? Aku cuma mau bilang telinga kamu itu pasti sensitif. Setiap orang punya daerah paling peka sama rangsangan dan bisa bikin dia lost control dalam 'berhubungan'." Ruby merasa malu karena dibidik Crystal tepat sasaran. Dia pun mengacak rambut Crystal agar gadis itu menghentikan analisisnya. "Jangan yang aneh-aneh! Anak kecil itu taunya belajar aja! Jangan pacaran mulu!" ulas Ruby. "Loh, emangnya gue bilang apa? Lo baper, ih! Liat aja nanti pas gue umur 18 tahun, gue pengen liat analisis gue ini benar atau salah." "Ck, memangnya kamu mau apa?" "Let's see! Hitung mundur 13 hari mulai dari sekarang, gue akan tepat berusia 18 tahun. Lo nggak sabar nunggu hari itu, 'kan?" Ruby tak bicara lagi. Takut saja justru dia yang dikendalikan bocah cantik ini. Pesan masuk pada ponsel pun mengalihkan perhatiannya. From : 6281376849xxx Ruby, aku kangen. Aku akan kembali, By. Tunggu dan maafin aku. Ruby mengabaikan pesan itu. Dia kembali menyimpan ponsel-nya dan menatap Crystal. “Jadi, ada perlu apa datang ke sini, Mr. Alexander?” tanya Crystal, penasaran. “Oh, itu. Ada yang mau kutanyakan. Kamu nggak sekelas sama Morgan, 'kan?” “Nggak. Gue XII IPA-1, dia XII IPA-2. Kenapa memangnya?” “Mungkin minggu depan, aku mampir ke sekolah kamu.” Crystal mengernyitkan alis, merasa takjub dengan informasi 'luar biasa' itu. “Buset! Cuma itu? Gue kira penting banget. Kan, lo udah sering nyamperin skul gue.” “Bukan itu, Crys. Club MAPALA kampusku lagi ada project untuk birthday tahun ini. Jadi, kami bakal ngadain sosialisasi lingkungan ke sekolah. Pengenalan organisasi MAPALA juga, belajar mencintai alam. Jadi minggu depan, aku dan dua orang temanku ditugasin ke sekolah kamu. Aku milih kelas kamu dan Morgan.” Crystal terkejut mendengar detail informasi Ruby. "Ih, serius? Jadi lo bakal nangkring di kelas gue, di depan anak-anak sekelas satu harian?” “Nangkring?" Tawa Ruby terurai tipis. "Kamu pikir aku ini cicak?” “Ih, becanda lo! Gue serius, tau!” rengek Crystal seraya memukul bahu kekar Ruby. “Yup, cuma satu hari, kok. Dan hari berikutnya, kita akan ajak kalian berkemah di Cibubur. Sekalian wall climbing di sana, atau mungkin flying fox. Seru, 'kan? Ikut organisasi itu keren, lagi! Apalagi yang ada hubungannya sama lingkungan.” Crystal masih tenggelam dalam imajinasinya. Tak bisa dibayangkan jika hari itu tiba. Pasti Ruby akan ditatap sinis oleh Emerald, atau justru Ruby malah menarik perhatian siswi-siswi di kelasnya dengan segala bentuk aura dan pesona yang dia miliki. Crystal mengangguk paham. Dia tak bicara lagi sebab selalu gugup ketika hendak menatap Ruby. Alhasil, dia selalu saja membentak untuk menghilangkan kesan canggung. “Nge-date, yuk!” ajak Ruby. “Hah? Ken ... can maksud lo?” “Iya, itu bahasa Indonesianya, kan? Aku tunggu setengah jam, kita ke Dufan.” “Dufan? Biasanya orang nge-date itu nonton, makan. Nge-date ke Dufan, apa serunya?” Crystal mengoceh tak ada habisnya. “Ada rumah hantunya." "Nggak mau! Nggak nyeremin! Cuma tipuan!" "Iyalah setannya boongan. Setan benerannya itu kamu." Ruby tertawa saat Crsytal cemberut sambil mencubit lengannya. Sangat lucu. Ruby pun sebenarnya sadar bahwa Crystal menempatkan dirinya sedikit spesial, hari demi hari. "Nggak gitu juga. Di sana ada bianglala," kata Ruby.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN