Bianglala. Crystal tertegun saat mendengar salah satu wahana di Dufan itu. Setidaknya Crystal berpikir sedikit aneh dan melirik pada Ruby. Dia tertawa jahat, hendak menyudutkan Ruby dengan pertanyaannya.
"Modus lo ketahuan banget. Naik bianglala biar lo bisa nyium gue, 'kan?”
“Nyium kamu? Apa mesti naik bianglala dulu? Sekarang, aku juga bisa cium kamu.”
Crystal terkejut ketika Ruby bangkit dari duduknya, mendekati wajah Crystal. Ruby mencuri satu kecupan di kening Crystal.
“Nggak mesti di bianglala, 'kan?” gelak Ruby.
"Ck, jidat doang. Aa ... apa sebenarnya lo belum pernah ciuman sebelumnya?"
Ruby hening sejenak. Entah kenapa, rautnya berubah serius. Crystal tak memahami ekspresi sang tunangan. Pria itu sedikit menunduk dan memegang kepalanya.
"Aku nggak ingat," katanya.
"Hah?"
Mata Ruby terlihat sedih. Dia terus menatap Crystal seakan ingin mengatakan semua yang dipendamnya. Dia hanya merasa belum terlalu dekat untuk bertukar rahasia dengan Crystal.
"Aku nggak ingat siapa Ruby yang dulu, Crys."
"Kamu ... bicara apa?" tanya Crystal lagi, tak memahami raut sedihnya.
"Apa ... kamu bisa bantu aku untuk jatuh cinta lebih dalam sama kamu?"
Deg! Jantung Crystal berdegup cepat. Sungguh sebenarnya dia tak mengerti permintaan Ruby. Pria itu bangkit dari duduknya, berjalan santai dan berdiri di dekat pilar. Tatapannya serius, memaksa untuk menyelami hatinya.
"Hei!"
Crystal menarik lengan Ruby agar menatap ke arahnya.
"Apa maksud kamu, By?"
"Sama seperti kamu yang punya Emerald sebagai masa lalu kamu, aku juga punya hal yang sama. Tapi Emerald ada di samping kamu, sedangkan dia ...."
"Mantan kamu?"
Crystal terkejut saat Ruby mendekat dan memeluknya. Tak ada balasan dari Crystal. Pria itu hanya terus mengusap kepala Crystal, mengeratkan tubuh mungil gadis itu dalam dekapannya.
"Aku takut dia balik. Aku takut dia datang dan nyingkirin kamu. Aku yakin dia orang yang penting. Tapi mereka bilang dia itu mimpi terburuk dalam hidupku," lirih Ruby.
Entah kenapa, Crystal merasa sedih mendengar ucapan Ruby. Dia pun melepaskan pelukan Ruby untuk menatap serius matanya. Rahasia besar yang tersembunyi di balik senyum hampa Ruby, tersimpan rapat di balik mata dinginnya, Crystal sangat ingin tahu itu.
"Entah ini perasaanku aja, tapi kupikir kamu punya rahasia penting yang harus kutau, By," seru gadis berambut ikal terurai itu.
Ruby belum menjawab, binar matanya terlihat takut. Keteguhan Crystal memaksa Ruby untuk tunduk padanya.
"Bukannya kubilang aku perlu pikiran dan hati yang jernih untuk milih antara kamu atau Al? Jadi please ... aku cuma mau tau lebih banyak tentang kamu."
Ruby melepaskan genggamannya dari tangan Crystal, menatapnya serius.
"Kita belum terlalu dekat untuk bertukar rahasia, Crys. Aku belum percaya kamu. Aku takut kalau aku terlalu buka hati, nanti seenaknya juga kamu pergi seperti dia."
Dia. Beberapa kali Ruby menyebut hal itu pada Crystal. Tak tahu siapa yang dimaksud, tetapi mungkin orang itu cukup penting untuk Ruby.
"Kita nggak perlu ke Dufan, kamu duduk di sini aja sama aku. Aku cuma mau tau kamu lebih banyak, Ruby. Apa bisa? Kupikir orangtuaku nggak akan jodohin aku sama orang yang salah."
Ruby menatap serius. Ya, apakah Keluarga Kusuma tahu hal tentangnya? Tidak. Pasti keluarganya menyembunyikan hal itu. Ini tak adil untuk Crystal.
Ruby mengajak Crystal duduk di taman untuk bicara lebih santai. Crystal belum bicara sepatah kata pun karena Ruby masih mengatupkan bibir.
"By ...."
"Apa kamu ingat kenangan apa yang paling bikin kamu bahagia, Crys?" tanya Ruby, mengusap kepala Crystal pelan.
"Kenangan? Ada banyak, sih. Keluargaku, kebersamaanku dengan Kak Arthur, temen-temen di sekolah, juga ... dua tahun pacaran sama Al. Kenapa?"
Ruby sedikit bergeser dan menyandarkan kepalanya di bahu Crystal. Suasana mendadak jadi melankolis.
"Mimpi buruk. Sekalipun itu mimpi buruk, aku tetap berharap bisa ingat semuanya," ulas pria berwajah oriental tersebut.
"Maksud kamu?"
Ruby kembali duduk santai, menatap lekat-lekat mata Crystal dan berharap gadis itu bisa menerima apa pun perkataannya. Ada hal serius yang ingin dia utarakan seiring dekatnya mereka dari waktu ke waktu.
"Seingatku dia gadis yang baik. Aku cinta sama dia sejak kecil. Dia yang terpenting dalam hidupku. Dan tiga tahun ini ... aku berubah jadi orang lain, Crys."
"Dia ... siapa?" tanya Crystal dengan alis tertaut.
"Seseorang yang paling kucintai seumur hidupku. Aku menderita amnesia disosiatif sejak kecelakaan tiga tahun lalu."
Crystal terkejut. Rahasia sebesar ini tersembunyi darinya. Bagaimana bisa Crystal menghadapi ini? Bagaimana bisa keluarganya merahasiakan hal penting terkait tunangannya? Ya, mungkin orangtuanya juga tak tahu karena sepertinya, rahasia ini memang disimpan rapat-rapat oleh Keluarga Alexander. Tirai itu justru dibuka oleh Ruby sendiri.
"A-amnesia?"
"Hm. Aku berusaha ingat itu, tapi ada kejadian besar yang mungkin aku lupakan. Aku yakin mereka menyembunyikan sesuatu. Mama bilang dia jahat, dia mimpi burukku. Waktu itu aku marah besar karena mereka manfaatin amnesiaku untuk menghapus jejak Cassandra sepenuhnya."
Akhirnya, nama itu terlontar dari bibir Ruby. Tak ada kebohongan, hanya rasa sakit. Dia cemburu karena menyadari wanita bernama Cassandra itu adalah seseorang yang penting di hati Ruby.
"Aku nggak ingat gimana aku kecelakaan dan hal penting apa yang hilang karena amnesiaku. Dan semua Keluarga Alexander kompak menghapus jejak Cassandra sepenuhnya."
Ruby menoleh padanya, menyiratkan bias kejujuran pada pantulan matanya.
"Seorang psikiater diminta mama untuk menghapus jejak Cassandra dari ingatanku. Walaupun nggak semua, tapi kupikir ini nggak adil karena aku dipaksa membenci Cassandra padahal aku nggak tau apa yang terjadi. Kenapa aku dipaksa ngelupain dia di saat yang kuingat cuma aku pernah mencintai dia?"
Cinta. Crystal melihat rasa sakit dan cinta di mata Ruby. Ruby terlihat tertekan dan memaksa senyumnya.
"Saat aku maksain diri untuk ingat semua itu, vertigo-ku kambuh. Nggak cuma kamu, aku pun juga berharap tau apa rahasia terbesar yang nggak bisa kuingat itu."
Crystal tak ingin bicara lagi. Dia segera memeluk erat bahu Ruby karena begitu kasihan mendengar tabir hidup Ruby yang sedikit terungkap.
"Aku tau aku pernah mencintainya seperti orang gila, Crys. Jadi ... can you help me?"
Crystal melepaskan pelukannya, menatap serius ekspresi Ruby.
"Mungkin suatu saat nanti dia kembali, Crys. Saat itu ... kalau kamu nggak bisa bikin aku jatuh sepenuhnya sama kamu, aku berharap kamu jangan pernah jatuh cinta lebih banyak dari perasaan yang kumiliki. Karena saat itu ... mungkin aku akan nyakitin kamu dan kembali sama dia."
Kenapa Crystal harus melepas miliknya? Membayangkan hari itu terjadi saja rasanya sangat menakutkan. Crystal mengusap pipi Ruby, mengurangi jaraknya dan hendak mencium lower lip tunangannya itu. Tidak. Crystal tak ingin memaksa Ruby walau sebenarnya Ruby juga takkan menolak ciuman darinya. Ruby terlihat pasrah dengan semua tekanan yang ada dan berharap Crystal adalah tempat persembunyian teraman untuknya.
Ruby memejamkan mata saat Crystal mencium pipinya dengan mesra. Siapa yang rela melepaskan pria sebaik ini saat sudah berada di genggaman? Crystal sangat posesif pada Ruby yang bahkan belum sepenuhnya mendapat pengakuan dari dirinya.
"Crystal, love me, please," bisik Ruby dengan mesra.
Crystal belum menjawab. Dia memeluk erat Ruby, sesekali mengecup bidang bahu pria itu sebagai pertanda bahwa Ruby telah melangkah masuk ke hatinya.
"Aku berharap bisa milikin kamu sepenuhnya, Ruby. Jadi ... sekalipun nanti dia kembali, bisa tolong pikirkan kebersamaan kita sekarang? Biarkan aku dapat kesempatan yang sama seperti dia."
Dada Ruby berdesir mendengar permintaan Crystal. Hati mereka sebenarnya sama. Saling menyukai, hanya saja masih terbelenggu oleh kisah lama. Ruby ingin berlari, sementara Crystal terjebak akan keserakahannya. Ruby membalas pelukan Crystal dengan erat. Mereka saling cemburu untuk bayangan kekasih dari masa lalu.
"Ini cuma tinggal dua minggu lagi dan kamu 18 tahun. Saat itu ... mungkin aku akan minta sesuatu dari kamu, Crys."
"Hah?"
"Will you marry me?"
Crystal terkejut saat mendengar bisik mesra Ruby. Hendak melepaskan pelukan, tetapi Ruby semakin merengkuhnya erat.
"Ruby ...."
"Cuma tiga bulan lagi dan kamu akan lulus. Setelah itu, pikirkan apa kamu mau nikah sama aku atau nggak. Jawaban kamu ini penting untuk awal hidupku, Crystal. Saat kamu mengisi waktu dengan menunda setahun lagi, aku nggak bisa pastikan apa yang terjadi nanti."
Dada Crystal berdesir saat Ruby sedikit memiringkan kepalanya agar bisa mencium sisi leher Crystal yang terlihat karena rambutnya dikuncir ke atas. Walau hanya sesaat, Crystal bisa merasakan kesadarannya seolah terbanting ke titik dasar terendah. Dia terlena sepenuhnya.
"Just keep stand by me and love me more, Crystal."
"Ruby ...."
"Cepatlah dewasa dan aku akan menunggumu."
Waktu bergulir diiringi penantian cinta keduanya. Lantas, mungkinkah suatu saat mimpi buruk itu datang dan merusak segalanya?
*
Suasana kelas sedikit hening. Hari ini adalah tepat tanggal di mana Ruby menjanjikan akan hadir di kelas Crystal. Berbagai ekspresi berbeda terlihat sebagai pantulan dari kelas Crystal. Ada yang terlihat gembira, kesal, bahkan sebagian besarnya mengumbar aura manis seakan meleleh dengan pesona ketiga mahasiswa itu.
Ruby berdiri di depan kelas bersama Bisma dan Riska. Sang guru hanya tersenyum simpul melihat berbagai macam ekspresi yang diulaskan wajah siswa-siswi.
“Jangan lupa mulutnya ditutup! Ntar masuk laler, loh!” celetuk beliau, membuyarkan fantasi mereka tentang hebatnya dunia perkuliahan.
Ruby hanya mengangguk sopan berhias senyum. Terlihat Crystal mengangkat bahu seolah tak peduli saat Emerald melirik ke arahnya.
Guru itu tersenyum ramah pada ketiga mahasiswa tersebut.
“Oke, anak-anak sekalian. Seperti yang kalian lihat, ada tiga kakak mahasiswa di sini. Selanjutnya, Ibu akan biarkan mereka yang menjaga kalian satu harian ini. Bagaimana?” ulas beliau.
“Iya, Bu!”
Guru mengangguk pada Ruby, mengisyaratkan Ruby dan temannya untuk memperkenalkan diri dan mengambil alih kelas.
“Good morning, Class! Senang sekali bisa mampir di kelas kalian. Nama saya Ruby Reyansha Alexander. Just call me Kak Ruby. Di samping saya ada Kak Bisma dan Kak Riska.”
“Hai, Guys!” sapa Bisma.
“Pagi, adek-adek,” sahut Riska.
“Maaf karena mengambil alih kegiatan belajar mengajar untuk satu hari ini. Kenapa kita-kita pada mampir? Itu karena kita lagi ngadain proyek anniv untuk kegiatan MAPALA kampus. Jadi untuk dua hari ini, kelasnya bisa Kak Ruby pinjam untuk sosialisasi lingkungan dan MAPALA, 'kan?” ujar Ruby, dengan senyum khas bibir plum-nya.
“Iya, Kak!” sahut kelas serempak.
Crystal terlihat sumringah dan membiarkan ketiga mahasiswa itu bicara panjang lebar di depan kelas. Intan segera berbalik menoleh pada Crystal yang duduk di belakangnya.
“Kak Bisma itu ganteng juga, ya. Asoy!” celoteh Intan.
“Asoy? Lo itu, cowok mulu yang dipikirin. Morgan mau lo ke manain, Neng?”
“Dimasukin kantong dulu. Hahah.”
Setelah guru pergi, mulailah berbagai ekspresi ditunjukkan oleh siswa. Banyak siswi yang terlihat mengumbar pesona mereka untuk menarik perhatian dua kakak tampan di depan. Bergantian mereka mengajukan pertanyaan yang berlebihan menurut Crystal.
'Apa mereka ga tau kalau cowok charming yang di depan kelas itu punya gue?' batinnya.
Crystal terlihat cemburu. Ruby melihat ekspresi itu. Bocah cantik yang sangat manis saat dia cemburu.
'Imutnya!' gumam Ruby.
Entah apa yang dibicarakan, Crystal hanya terus memperhatikan Ruby. Postur tubuhnya justru terlihat menarik saat berbalut kemeja rapi dan almamater kampus. Dia terlihat lebih dewasa dan berwibawa. Sangat berkelas. Apalagi tampilannya berbeda dari biasanya. Rambutnya disisir rapi, memperlihatkan sisi undercut rambutnya yang sukses membuat Crystal meneguk ludah. Pun dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Aroma parfumnya juga sesekali tercium saat dia berjalan di antara barisan kursi.
“Siapa sekretarisnya?” tanya Ruby.
Crystal terkejut, seolah dipaksa bangkit dari imajinasinya. Dia pun mengacungkan jari. “Ya! Saya!”
Ruby tersenyum, “Bisa ke sini sebentar?”
Crystal melangkahkan kaki mendekati tunangannya yang sedang berdiri di samping meja. Dia berlagak cuek ketika Ruby menatapnya sambil menyerahkan sebuah kertas.
“Bantu Kakak catat nama seluruh siswa di kelas ini, ya?” pinta Ruby.
“Oke ... Kakak!” Crystal menekan kata ‘kakak’ dalam ucapannya.
Tentu saja, bicara sopan pada Ruby saja sudah bagus. Meskipun Ruby lebih tua enam tahun darinya, rasanya enggan memanggilnya dengan menambahkan kata sapaan itu.
Ketika jam istirahat, mulailah para siswi dengan berbagai aksi dan kreasinya mendekati dua orang mahasiswa itu.
"Kak Ruby udah punya pacar?" Celetuk itu terdengar paling keras di antara kerumunan.
Ruby tersenyum dan belum menanggapi. Dia hanya menyusun berkas di atas meja. Di sampingnya masih ada Bisma dan Riska. Beberapa siswi tebar pesona mengelilingi mereka.
"Jangan tanya Kak Bisma kayak gitu juga, ya! Nanti Kak Riska ngambek!" imbuh Bisma.
"Yah! Kak Bisma udah sold out, ternyata!" timpal siswi yang lain.
Crystal dan Intan masih duduk di bangkunya. Crystal bertopang dagu, menatap indahnya senyuman Ruby di depan sana. Emerald tak terlihat. Saat bel berbunyi, pemuda itu segera menggamit lengan Mutiara agar gebetannya itu tak segera melancarkan aksi centil seperti siswi lain. Crystal dan Intan masih bergosip ria.
“Eh, kenapa lo nggak bilang Kak Ruby mau observasi di sini?” tanya Intan.
“Ya nggak penting juga, sih. Ngapain mesti bilang-bilang? Lagian apa lo nggak liat tampang anak-anak sekelas? Udah pada lumer semua, kayak kedatangan pangeran kerajaan aja,” cibir Crystal seraya membereskan tumpukan buku di atas meja.
"Nggak penting jidat lo! Lo nggak liat muka si bule kayak apa? Udah kayak baju kusut, tau! Belipat-lipat.”
“Emangnya dia masih peduli sama gue? Bukannya ... dia udah naksir berat sama Tiara?”
“Oh ... gitu. Jadi ceritanya jealous, nih? Ya, berarti lo udah ikhlas nyamber si Prince Charming itu, dong?”
“Ya ... terpaksa, deh.”
“Anyiing! Kayak yang paling cantik aja. Dia juga sebenarnya kagak mau sama nenek sihir kayak lo,” gerutu Intan.
Kruuuk! Suara perut Intan terdengar, sinyal bahwa dia sangat lapar dan tanki itu harus diisi penuh.
"Aih, gentong gue minta diisi. Ke kantin, yuk!" ajak Intan.
"Nggak, deh. Lagi males."
"Ya udah, gue pergi!"
Intan pun pergi meninggalkan kelas. Sejak tadi Crystal menatap Ruby, tetapi Ruby masih sibuk dengan tugasnya. Saat ketiga mahasiswa itu meninggalkan kelas pun, mereka masih diikuti beberapa siswi yang lain.
Crystal tak peduli, mulai bermain dengan aplikasi ponsel-nya saja.
"Dua hari lagi gue ulang tahun. Dapat kado apa, ya, dari Ruby?"
Crystal tersenyum seperti orang gila. Tak lama, wajahnya berubah merah saat mengingat momen delapan belas tahunnya nanti.
"Apa dia bakalan nyium gue? Aih, serius?"
Beberapa kali Crystal menepuk wajahnya, hendak menyadarkan diri dari pikiran kotor yang menggerayangi kepalanya sejak tadi. Bukan Ruby, sebenarnya dialah yang paling ingin menyentuh pria tampan dan mempesona itu. Hasratnya selalu memuncak saat melihat senyum Ruby, juga kristal cantik matanya. Dia ingin memiliki pria itu seutuhnya. Dengan atau tanpa cinta.
"Eh tapi ... dia bilang bakal nanya gue apa setelah lulus nanti, gue mau nikah atau nggak sama dia. Gue belum siap, ih. Tapi kalau gue tunda setahun lagi ... gimana kalau si Cassandra itu balik? Nggak-nggak! Kayaknya si Ruby bucin banget sama dia. Gimana kalau Ruby jadi ninggalin gue?"
Sejak tadi Crystal bermonolog pelan. Untungnya suasana kelas tak terlalu ramai. Tak ada yang memperhatikannya.