9- Dinner

1049 Kata
"Mariam, sini sayang! " Mama segera menghampiri Mariam dan menggandengnya ke hadapan Darian. "Ayo kenalan dulu," ujar mamanya. Mariam mengulurkan tangannya. "Mariam," bibirnya tersenyum manis, senyuman yang sudah dia latih tadi. "Darian." Darian menyambut tangan Mariam, dia seperti enggan melepaskan tangan lembut dan hangat milik Mariam. ************* "Ehm," terdengar suara ayah berdehem keras, dengan cepat Darian melepaskan tangannya. "Kalau begitu, ayo ikut denganku. Kita pergi sekarang!" Darian berbicara dengan nada datar. "Hah, dia ngajak aku makan malam. Tapi, cara ngomongnya kayak gitu! Menyebalkan!" kesal Mariam dalam hatinya. "Apa saya bisa mempercayakan Mariam padamu?" Ayah menatap Darian dengan serius, sepertinya ayah merasa kurang yakin. "Ayah bisa percaya padaku. Aku pasti akan mengantarkannya pulang tanpa kurang suatu apapun." Darian berkata dengan nada bicara yang lebih santai, meski masih terkesan dingin. "Apa! Dia memanggil ayah pada ayahku! Apa maksudnya coba!" dalam hati Mariam. Dia tidak percaya pria dingin itu bisa bicara seperti itu. Sementara Prisa dan Arka saling tatap, tak percaya mendengar perkataan Darian. "Sepertinya rencana perjodohan ini akan berhasil, lihat saja kak Darian sudah memanggil ayahmu ayah," bisik Arka pada Prisa. "Kamu bilang dia tidak suka wanita, nyatanya dia langsung kelihatan bucin melihat kakakku yang polos itu," bisik prisa pada Arka, dengan rasa tak percaya. "Iya, aku juga heran. Padahal sama calon yang di bawa mamanya saja dia menolaknya dengan kasar," bisik Arka kembali. "Hei, kenapa kalian terus bergosip!" Mama menatap tajam kepada Arka dan Prisa. Prisa hanya tersenyum malu, sedangkan Arka garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Baiklah, kalau begitu. Saya percayakan putri sulungku padamu." Ayah berkata tak kalah dinginnya. "Terimakasih, ayah." Darian tersenyum, meski sangat tipis. Darian beralih menatap Mariam dengan tatapan yang tak bisa di artikan oleh Mariam. Tatapannya dingin dan datar, tapi jika Mariam mau balas menatapnya dengan dalam, maka dia akan tahu arti dari tatapan Darian. Namun, Mariam segera melihat kearah lain. Dia merasa takut bertatapan dengan Darian yang terlihat datar dan memiliki aura yang dingin. "Saya pamit dulu, ayah dan ibu mertua," ujar Darian dengan senyuman yang jarang sekali dia keluarkan. Membuat Arka melongo tak percaya dengan apa yang di dengar dan di lihatnya itu. "Hei!" Prisa menepuk bahu Arka cukup kuat, membuat Arka meringis. Karena bahunya terasa panas. "Apaan sih sayang," kesal Arka. "Nanti lalat bisa masuk ke mulut kamu, kalau kamu melongo kaya gituh." Prisa tersenyum geli melihat tingkah Arka. Arka membalasnya dengan nyengir kuda. Setelah pamit kepada kedua orang tuanya. Mariam dan prisa pun pergi mengikuti para lelaki di depan nya. Mariam semobil dengan Darian, sedangkan Prisa semobil dengan Arka. Mereka menuju sebuah restoran bintang lima yang menyajikan makanan Cina. ********** Di Perjalanan Darian menatap lurus ke depan, dia Pokus mengemudi. Sedangkan Mariam sedikit gugup, dia berada satu mobil dengan pria asing. Apalagi suasana didalam mobil terasa begitu mencekam. Karena aura dingin dari seorang Darian. "Kita sepertinya berjodoh." Darian melirik sekilas kepada Mariam, namun wajahnya masih tanpa ekspresi. "Apa, dia berkata jodoh? Seharusnya orang yang berkata seperti itu akan menunjukkan wajah manisnya. Tapi kamu tuan berkata dengan dinginnya! Mana mau aku jadi jodoh kamu!" teriak Mariam pada Darian, namun hanya mampu dalam hati saja. "Benarkah, kenapa anda berpikir seperti itu?" Mariam berkata dengan suara yang lembut dan senyuman yang manis. Waw, aktingnya berhasil. Mariam mampu memperlihatkan wajah manisnya, padahal dalam hatinya dia sangat malas saat ini. "Karena kita sudah bertemu sebanyak dua kali tanpa sengaja sebelum perjodohan ini. Mungkin takdir yang sengaja mempertemukan kita," tutur Darian, kini ada sedikit senyuman tipis dari sudut bibirnya. "Anda percaya diri sekali tuan." Mariam tersenyum kecut. "Itulah aku, penuh percaya diri," tersenyum kembali, tatapannya masih lurus kedepan. "Anda memang orang yang hebat ya, bisa mempunyai rasa percaya diri yang tinggi," sedikit menyindir maksudnya. "Aku memang hebat," melirik sekilas kearah Mariam, lalu kembali lurus ke depan. "Dasar narsis," cibir Mariam yang kesal. "Apalagi setelah kamu jadi isteriku, kamu akan merasakan betapa hebatnya aku," menyeringai licik. "Dasar m***m!" gerutunya. Mariam memalingkan wajahnya dengan kesal kearah luar jendela. Sedangkan pipinya merah merona seperti tomat matang. "Apa Prisa bohong padaku ya? Dia bilang, pria ini dingin pada wanita. Sehingga, di gosipkan penyuka sesama jenis. Tapi nyatanya dia m***m begitu, dari perkataannya. Apa dia akan menikahi aku, oh tidak. Aku tak percaya akan menikah dengan pria seperti dia." Mariam berkata dalam hatinya. Dia tak percaya punya jodoh yang dingin tapi m***m. Tidak bisa Mariam ingkari pria ini sangat tampan dan menarik. Namun, tetap saja di dalam hatinya hanya ada Firza dan selau Firza yang entah ada dimana saat ini. Akhirnya mereka sampai di sebuah restoran. Mereka duduk dengan perasaan berbeda. Darian yang tampak relaks, sedangkan Mariam terlihat sedikit gugup. Pelayan datang membawa buku menu dengan sopan nya. " Saya mau chow Mein dan Wonton, dan untuk desertnya saya mau pancake labu, sedangkan untuk minumannya saya mau jus buah plum," ujar Darian, lalu dia menatap kearah Mariam. Seolah bertanya, makanan apa yang mau di pesan Mariam. "Samakan saja," dengan seulas senyumannya. Dia bingung, karena selama ini belum pernah makan di restoran China. Pelayan pun segera mencatat pesanan mereka. Lalu pergi dengan sopan nya. Mau membawa pesanan mereka. Sepeninggalnya pelayan. "Apa alasan kamu mau menerima perjodohan ini?" Darian bertanya dengan tajam. "Siapa bilang aku mau nerima anda. Saya cuma mau berkenalan dulu, itupun karena paksaan orangtuaku," jawab Mariam dengan datarnya. "Benarkah?" perkataan Darian yang sedikit itu, serasa menusuk jantung Mariam. Karena nada rendah nya terdengar mengintimidasi. "Tentu," dengan sedikit gugup. Mariam bisa melihat raut wajah Darian terlihat sedikit muram mendengar perkataan nya. "Kenapa aku merasa tak enak hati, ya. Apa dia tersinggung dengan ucapan ku? Aaah, kenapa juga aku harus peduli," dalam hati Mariam. Darian tersenyum sinis. " Jadi kamu menolakku?" Darian berkata dengan d**a rendah dan suara berat, itu terdengar menakutkan bagi Mariam. Auranya saat berbicara terasa dingin dan begitu mencekam. "Tidak, bukan begitu maksud ku. Aku..." Belum selesai Mariam berkata, Darian sudah menyambarnya. "Itu artinya kamu menerimaku. Benar!" suara mengintimidasi itu kembali berkicau. Tadinya bicara seperti itu hanya karena, merasa tidak enak hati kepada Darian. Namun, nyatanya malah dibuatnya tak bisa berkicau lagi. "Huuuh!" Mariam menghela napas panjang. "Kalau aku menerimamu, apa kamu juga akan menerimaku?" Mariam memberanikan diri untuk buka suara, meski sebenarnya sangat sulit. Suaranya sedikit terbata-bata dan lirih, karena takut mendengar jawaban dari Darian. Darian tersenyum. "Tergantung pada dirimu sendiri juga," jawaban Darian seakan menampar Mariam sampai ke jantungnya. Mariam menundukkan pandangannya. Kedua tangannya saling meremas di bawah meja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN