Bahagiaku, Bersama lelakiku...

1205 Kata
Aku dan mas Haris berjalan bersama menuju masjid yang ada di sekitar komplek perumahan kami. Tak ada satu atau dua patah kata yang kami berdua ucapkan. Mas Haris hanya diam sambil berjalan di sebelahku. Aku pun tak ingin menganggunya, mungkin ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengutarakan maksud yang tadi ingin dia sampaikan kepada ku. Tak sampai 5 menit kami pun akhirnya sampai di masjid komplek. Mas Haris langsung menuju deretan *shof untuk laki-laki, sedangkan aku segera menuju shof untuk perempuan. Di sela-sela menunggu waktu iqomat di kumandangkan, aku mendengar suara khas laki-laki yang amat aku cintai mengalun dari *toa masjid. Suara itu menyuarakan sebuah tembang dalam bahasa Jawa. Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir. Tak ijo royo royo. Tak sengguh panganten anyar. Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi. Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotira. Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir. Dondomana jrumatana kanggo sebo mengko sore Mumpung padang rembulane Mumpung jembar kalangane Sun suraka surak hiyo Suaranya yang terdengar mendayu-dayu membuatku dan beberapa ibu-ibu komplek kompak untuk diam agar suara lelakiku itu terdengar jelas. "Mas Haris kok jebul pinter nembang Yo mba. (Mas Haris kok ternyata pintar nyanyi ya mba)" Celetuk ibu Hamidah. Beliau adalah istri dari pak RT di sekitar tempat tinggalku. "Iyo o Bu, jarang neng umah, jebul kok suorone apik. (Iya ya Bu, jarang berada di rumah ternyata suaranya bagus)" Sahut ibu Asih. "Iyo, ngertio pas ono genjringan pas mulud kae mas Haris kon nembang Yo, timbang nyewo kadi njobo. (Iya, kalau tahu mah waktu ada rebana pas acara maulid itu mas Haris yang suruh nyanyi ya, dari pada nyewa dari luar)" Tambah ibu Lastri "Ho oh, apik ora sing wadon kae, ora maning-maning ah. Ngesok meneh mas Haris Bae yo Bu RT. (Iyaa, bagus juga engga itu yang cewek. Ngga lagi-lagi deh, besok lagi ya mas Haris saja ya Bu RT.)" Sambung ibu Asih lagi. "Iyolah, mas Haris Bae. Tur kan iso di tawar nek mas Haris sing nembang. (iyalah, biar mas Haris saja. Lagian kan bisa di tawar harganya kalo mas Haris yang nyanyi.) Jawab ibu RT. Aku yang mendengar celoteh para ibu-ibu komplek hanya tersenyum saja. Sewaktu acara maulid yang di adakan beberapa minggu kemarin itu kan pangeran ku sedang mencari rezeki di pulau seberang, mana bisa dia mengisi acara macam itu. "Aahhh, ada-ada saja ini ibu-ibu." celetukku geli dalam hati. Aku tidak menanggapi ucapan para ibu-ibu yang amat mengelu-elukan suara Mas Haris. Biar saja, toh mereka kan memang bebas berpendapat. Obrolan mereka pun terhenti saat suara iqomat di lantunkan dan serempak jamaah mengambil posisi masing-masing. Jamaah ashar ini tidak terlalu banyak, karena di komplek ini rata-rata adalah para pekerja yang baru akan tiba dirumah masing-masing pukul 5 sore, dan juga ditambah sore ini bukanlah waktu akhir pekan. Jadi, wajar saja jika tidak banyak warga yang mengikuti jama'ah sholat ashar di masjid. *** Setelah salam terakhir, para jamaah khusyuk menadahkan tangan dan melantunkan doa masing-masing kepada Allah yang Maha Agung. Berharap sang pemberi nikmat kehidupan akan mengabulkan doa kami semua. Aku sendiri berdoa dengan hati yang ikhlas, pasrah dengan ketentuan illahi Robbi, bahwa Allah ta'ala akan menitipkan zuriatnya dalam rahimku. Dalam hati kecilku, aku sangat berharap dapat mengandung benih buah cintaku dengan mas Haris. Sesuai keinginan ibu mertua ku, agar tidak ada lagi perselisihan yang terjadi di antara kami. Sebagai awal keharmonisan hubungan rumah tangga aku dan suamiku. Selesai berdoa dan melipat sajadah yang tadi ku pakai, aku segera berjalan keluar menuju halaman masjid. Ku lihat mas Haris sedang berbincang dengan Pak Salim. Beliau adalah Bapak ketua RT di lingkungan komplek tempat tinggal ku. Entah apa yang sedang di bicarakan, karena wajah Mas haris tampak sangat serius sekali. Melihatku berjalan mendekat dan menghampiri mereka berdua, Pak RT segera menjabat tangan suamiku dan berlalu meninggalkan masjid setelah sempat melempar senyum sapa ke arahku. Mungkin beliau tidak enak, jika aku mengetahui isi dari obrolannya dengan suamiku. Padahal, aku juga tidak akan sembarangan kepo jika suamiku pun tidak berkenan untuk memberi tahu. "Mampir warung Bu Ijah ya sayang." Mas Haris mengajakku sembari mengulurkan tangannya. Dia menggenggam tangan ku erat dan menyelipkan jari-jarinya disela jemari ku. "Adek mboten mbeto arto mas. (Adek ngga bawa uang mas.) Jawabku pada mas Haris dengan suara yang tertahan. "Mas bawa kok sayang, Ngga apa-apa, tadi mas lihat di dapur kaya banyak yang habis, sekalian aja kita belanja, kan sekalian pulang biar ngga bolak-balik." Katanya lagi. Aku sangat terharu mendengar penjelasan dari suamiku, segitu perhatiannya dan sangat bertanggung jawab dia akan kebutuhan ku. Aku Pun hanya bisa mengangguk dan berjalan bersisian dengannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun karena rasa terharu ini sampai-sampai aku merasa ingin meneteskan air mata bahagia. "Adek beli keperluan dapur, kamar mandi, sama jajan buat cemilan dirumah ya, mas tunggu disini aja ya." perintah mas Haris setelah kami berdua sampai di depan toko milik Bu Ijah. Dia memberikan aku lima lembar uang bergambar Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Aku menerima uang tersebut dengan penuh rasa syukur. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum sebagai respon atas kebaikan Mas Haris kepadaku, tanpa menjawab mas Haris dengan sepatah kata pun. Aku masuk ke dalam toko sederhana milik Bu Ijah dan mukai menyebutkan apa saja yang aku butuhkan. "Bu kulo tumbas telur 1 kg, gula ½kg, mie goreng 4, kecap 1, saos botolan 1, Lifebuoy cair 1, attack 1 renceng, downy 1 renceng yang biru, sunlight 1" pintaku pada Bu Ijah sambil mengingat-ingat barang apa saja yang stoknya sudah menipis dirumah. "Shampoo Lifebuoy yang hijau Bu satu renceng, terus ini keripik singkong, keripik pisang" lanjut ku lagi pada Bu Ijah. "Sama ini juga Bu yang bulet coklat ini" pintaku lagi seraya mengambilnya sendiri dari rak yang terpajang di toko Bu Ijah. Dengan cekatan Bu Ijah memasukkan belanjaan ku ke dalam kantong plastik hitam berukuran besar. "Berapa Bu semuanya?" tanyaku pada Bu Ijah akhirnya setelah semua belanjaan ku sudah masuk ke dalam kantong plastik. Terlihat Bu Ijah sedikit memilah belanjaanku yang sudah di masukkan ke dalam kantong plastik dan menghitungnya menggunakan kalkulator. "Semuanya jadi Rp. 127.000 mba." jawab Bu Ijah setelah selesai menghitung total belanjaanku. Aku pun segera menyerahkan dua lembar uang pecahan berwarna merah yang tadi di berikan suamiku, dan dalam sesaat uang itu pun segera berganti dengan lembaran mata uang berwarna-warni dan juga tiga buah koin senilai seribu rupiah. Setelah menyelesaikan transaksi di toko miik Bu Ijah dan mengucapkan terimakasih, aku pun keluar meninggalkan toko milik Bu Ijah dengan membawa dua buah kantong kresek berukuran besar di tangan kiri dan kanan ku. Ku dekati lelaki pujaan ku yang sedang berdiri mematung menghadap jalanan komplek. Untuk sesaat dia pun menoleh dan tersenyum manis kepadaku. "Sini mas aja yang bawa." Pintanya padaku. "Berat loh mas." ledekku padanya. "Halah gini doang." jawabnya sambil mengambil kantong plastik dari genggamanku. Aku hanya tersenyum dibuatnya. "Ini kembalinya masih banyak banget mas, tadi totalnya 127 ribuan mas" kataku sembari menyerahkan uang pemberiannya yang masih tersisa banyak, dan juga uang yang ku dapat dari Bu Ijah tadi. "Simpan aja buat adek." katanya sambil memandangku dengan senyuman manisnya. Aku pun hanya membalas senyumannya dan tak lupa mengucapkan terimakasih. "Aahhh lelakiku, selalu saja bisa membuatku melayang-layang." gumam ku dalam hati dan menahan rasa bahagia tiada tara. ... Bersambung... *shof : Barisan dalam sholat *toa: speaker masjid Jangan lupa like komen dan share bestiee...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN