Hati Kenyang, Perut pun Senang!

1200 Kata
Sesampainya kami di rumah, aku langsung membereskan barang belanjaan kami tadi. Ku susun di dalam lemari yang biasa untuk menyimpan barang, sesuai dengan jenisnya agar terlihat rapih dan sedap di pandang mata. Setelah selesai, aku pun masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponselku yang tadi ku letakkan di samping nakas tempat tidur. Ku buka pola sandi ponselku yang merupakan kombinasi angka dan mulai berselancar di aplikasi biru. Ku pilih tempat duduk favorit ku jika sedang tak ada pekerjaan rumah yang harus di kerjakan, yaitu duduk di meja makan. Saat asyik scroll beragam postingan yang ada di beranda ku, tiba-tiba gerakan lincah dari jempolku ini berhenti di sebuah unggahan dengan nama akun "Putri Kecil" yang merupakan akun f*******: milik Anita. Ya, Anita, adiknya suamiku. Terlihat sebuah foto menu makanan dengan caption "Ikan yang malang". Entah apa maksud dari adik bungsu mas Haris tersebut, yang jelas mungkin aku memang harus bersabar dalam menghadapi keluarganya. Ku gaungkan istighfar dalam hati berulang kali, memohon illahi Robbi untuk melapangkan hatiku seluas-luasnya. Aku tidak ingin memusuhi keluarga suamiku, tapi jika mereka yang lebih dulu mengibarkan bendera perang, aku bisa apa? "Dek, ngelamun aja. Kenapa?." sebuah sentuhan yang tiba-tiba mendarat di tubuh ini cukup mengagetkan ku meskipun setelahnya terasa hangat sekali. Jelas saja tubuhku menghangat, karena sentuhan dari orang terkasih dapat mengalihkan rasa tidak enak yang beberapa waktu lalu sempat hinggap dalam dadaku. Ingin ku bercerita dengan suamiku, tetapi aku takut akan memicu permasalahan baru atau bahkan merenggangkan hubungan hangat antara mas Haris dengan keluarganya. Aku tidak ingin itu sampai terjadi. Tapi, aku tetap hanya perempuan biasa kan? "Eh, engga mas. Liat deh!" reflek tanganku menunjukan layar ponsel yang masih memuat gambar ikan tersebut. Akhirnya aku memilih untuk menunjukkannya kepada suamiku, karena bagaimanapun dia adalah orang yang akan menjadi perantara antara aku dan keluarganya. Aku hanya ingin semua permasalahan agar tampak transparan, sehingga tidak ada praduga yang tidak mendasar yang bisa berakibat fatal untuk kelangsungan hubungan ku dengan suamiku. "Udah ngga apa-apa, engga usah di ambil hati, cuekin aja." hibur lelaki ku sembari sedikit mengangkat tangannya untuk mencolek sedikit ujung hidungku dengan jari telunjuknya. Seraya tersenyum manis, dia beranjak mengambil gelas dan juga s**u kotak dari dalam kulkas. Dituangkannya s**u ke gelas, dan menyodorkannya ke hadapanku. "Minum." Perintahnya dengan suara yang lembut. Aku tak menjawab, aku langsung meraih gelas yang di sodorkannya itu dan menenggak isi gelas tersebut sedikit demi sedikit. Begitulah suamiku, dia akan berusaha mengalihkan permasalahan yang tengah di bicarakan ke hal lain. Mungkin, dia ingin menjaga hati dan perasaan ku agar tidak selalu terpaku pada keluarganya. "Adek ngga usah mikirin aneh-aneh ya, yang tenang, Inshaa Allah nanti mas ngomong lagi sama ibu biar ngga usah besar-besarin masalah hamil kaya gitu. Mas takut adek kepikiran." tambahnya lagi, setelah melihat gelas yang berisi s**u itu telah kosong dan berpindah ke perutku ini. Lagi dan lagi aku tidak menjawab, hanya anggukan yang aku berikan. Percuma juga mengutarakan keinginan ataupun sebuah pendapat. Tidak akan di tanggapi yang ada malah di alihkan ke hal lain. Kadang aku suka berfikir, apa setiap laki-laki selalu akan berusaha menghindar dari setiap permasalahan yang ada? Bukannya menyelesaikan dengan kepala dingin tapi malah mengalihkan ke hal lain. Kalau begitu terus, kapan masalahnya akan selesai? *** Di sore hari yang cerah, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 16.00 wib, dan mas Haris telah bersiap dengan pakaian rapinya. Tak ketinggalan parfum yang telah dia semprotkan ke tubuhnya menyisakan wangi yang semerbak di seantero kamar ini. Aroma maskulin dari parfum pria itu pun tercium dan mengusik rasa ingin tahu ku, mau kemana kah mas Haris sore-sore begini? "Mau kemana mas?" tanyaku pada mas Haris, saat ku lihat ia melangkah keluar pintu kamar dan hendak menyambar jaket. "Mau ke rumah ibu dek. Tadi Anita ada kirim w******p katanya ibu ngga mau makan kalo mas ngga ada disana." Mas Haris menjawab tanpa menoleh ke arahku. Ia masih sibuk mengaitkan resleting jaketnya. "Adek ikut ya?" Tanyaku hati-hati, berusaha mencari perhatian dari suamiku ini. "Adek ngga apa-apa emangnya?" Mas Haris malah balik bertanya, yang jelas saja membuat ku bingung. Atau jangan-jangan aku tidak boleh ikut bertemu ibunya? Aah, langsung saja ku tepis pikiran buruk itu. "Astaghfirullah aku ngga boleh suudzon." Batin ku meracau. "Emang adek kenapa?" Tak ingin berburuk sangka lebih jauh, langsung saja ku tanya balik mas Haris. Toh, dia juga kan yang mulai menjawab dengan jawaban yang berbentuk pertanyaan. "Ya engga kenapa-napa sih, tapi mas takut kalian berantem lagi kaya tadi siang. Adek di rumah dulu aja ya? Mas ngga lama kok." Jawaban mas Haris yang sukses membuat moodku hancur sehancur-hancurnya. Intinya adalah mas Haris tidak ingin membawaku bertemu keluarganya, atau bisa jadi keluarganya yang tidak ingin melihatku di rumah mereka. Apapun alasannya, tetap saja ada sekeping hati yang patah di dalam sini. Ada seutas harapan yang sedang ku rajut, namun lebur selebur-leburnya dengan kenyataan bahwa keluarga suamiku sedang membentangkan jarak dengan ku. "Aah, baiklah. Aku bisa apa? Hanya menantu. Mungkin saja menantu yang tidak di harapkan." Ucap batinku untuk menahan nyeri dalam d**a yang tak tertahan. *** Jam di dinding sudah menunjukan pukul 22.30 wib dan belum ada tanda-tanda kepulangan dari mas Haris. Aku masih menunggu di ruang tengah sambil menyalakan TV. Atau, lebih tepatnya TV yang menyaksikan kegelisahan ku dalam menanti kepulangan sang pujaan hati. Lama menunggu, perut terasa lapar. Baru ku ingat, hari ini aku hanya makan bakso tadi siang sepulang dari rumah ibu mertua. Segera saja aku melangkahkan kaki ke dapur, aku mengambil sebutir telur dan sebungkus mie instant. Namun, tiba-tiba perasaan aneh datang lagi dalam hatiku. Tadi mas Haris pergi ke rumah ibunya tanpa mengajakku turut serta dan tak ada pembicaraan apapun. Dan, sebelum itu dia memintaku untuk belanja keperluan dapur. Apakah dia sudah merencanakan ini sebelumnya? Apakah Mas Haris tidak akan pulang malam ini? Mood Ku kembali buruk, selera makan pun mendadak hilang. Ku letakkan lagi telur dan mie instan yang tadi sempat ku ambil ke tempat semula. Aku beranjak meninggalkan dapur dan kembali keruang tengah dimana TV masih menyala. Terbesit niat untuk menghubungi mas Haris sekedar bertanya apakah dia akan pulang atau tidak. Tapi belum sempat aku menekan ponsel dan menghubungi suamiku itu, samar terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Tak lama terdengar kunci yang di putar dan terbukalah pintu utama dari rumah ini. Melihatku yang masih duduk terpaku diruang tengah, mas Haris tidak menunjukan wajah terkejut. Semua terlihat biasa saja. "Belum tidur dek?" Mas Haris menyapaku dengan nada suara yang biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa, dan seolah dia tidak perlu menjelaskan apapun. "Belum." sahutku datar saja. Setidaknya agar dia tau, bahwa aku tidak sedang baik-baik saja. "Udah makan belum? Mas bawa nasi goreng." Tanyanya lagi yang membuatku melirik sedikit kepadanya. Perutku yang memang belum jadi terisi ini pun melonjak kegirangan mendengar mas Haris pulang tidak dengan tangan kosong. Tanpa menunggu perintah lebih jauh, langsung saja ku sambar bungkusan di plastik hitam yang dibawanya barusan. Ku buka dengan hati-hati dan tercium aroma semerbak dari makanan enak di hadapan ku ini. Ku makan dengan lahap tanpa mempedulikan suamiku itu yang memandangku dengan tatapan aneh. Biarlah, yang terpenting perutku ini bisa terisi. Emosi yang tadi belum sempat diluapkan pun telah menguar entah kemana. Yah, Begitulah wanita, perut kenyang hati pun senang. ... Bersambung... Jangan lupa like komen dan share ya my bestiee...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN