Siapa tahu kan?

1260 Kata
Belum genap satu hari kami berada dirumah ibu mertua, aku mengajak mas Haris untuk pulang. Tidak betah rasanya berlama-lama di tempat yang tidak menginginkan kehadiran kita. Mas Haris seakan mengerti kegelisahan hatiku. Dan, diapun mengiyakan untuk kembali mengemas barang-barang kami yang sudah ku susun rapi di lemari. "Adek minta maaf ya mas, karena belum bisa memberikan anak untuk mas Haris." Ucapku dengan menunduk sambil menahan air mata yang akan keluar dari sarangnya. Dapat ku rasakan usapan lembut di pucuk kepalaku, dan ciuman yang mendarat di kening ku terasa amat menenangkan. "Ngga apa-apa, lagian mas juga baru pulang kemarin, kalau kamu udah hamil duluan malah mencurigakan nanti." Balas Mas Haris yang masih sempatnya untuk bergurau dengan ku. Tapi, kalau di pikir benar juga ya perkataan Mas Haris. Seminggu setelah ijab qabul mas Haris berangkat kembali ke perantauan, setelah itu kami menjalani LDM (Long Distance Marriage) selama dua bulan lamanya. Dan, baru ketemu kembali kemarin pagi, sebetulnya sangat wajar jika aku belum juga hamil. Tapi, perangai ibu mertua dan orang-orang yang ada di rumah ini yang sepertinya harus di berikan pemahaman lebih dalam lagi. "Udah ngga usah di pikirin, yuk kita pamit sama ibu." Sambung Mas Haris lagi yang sepertinya turut merasakan keresahan istrinya ini. "Tapi, mas kan nanti mau nyekar ke makam bapak?" Ucap ku lagi mencoba mengingatkan tujuan awa kami berkunjung kesini. "Ngga apa-apa, nanti mas berdoa dari rumah aja. Sama aja kan? Yang penting kan doanya." Ucap suamiku lagi dengan senyumnya yang manis. Aku tidak menjawab lagi, Aku bersama Mas Haris berjalan bersama keluar dari kamar dengan membawa ransel berisi pakaian kami berdua. "Mas Haris kok udah bawa tas lagi. Ngga nginep?" Tanya Anita saat melihat kami keluar kamar dengan menenteng tas ransel yang baru beberapa jam yang lalu kami bawa masuk. "Ngga Nit, mas mendadak ada urusan, jadi harus pulang sekarang." Jawab mas Haris yang sedang berusaha membuat Anita mengerti. "Tapi aku masih kangen mas. Kita aja belum sempet ngobrol." Ucap Anita lagi dengan sedikit merajuk, terlihat matanya yang sudah berembun di sudutnya. "Adek manis yang sabar ya, Ngga boleh cengeng ahh, nanti kalau urusan mas udah kelar, mas sama mba pasti kesini lagi," Ucap suamiku pelan sambil mengacak-acak rambut adik bungsunya itu. Anita pun tidak mampu menahan perasaannya. Dia langsung memeluk Abang yang sudah tidak di temuinya itu sejak abangnya menikah. "Maafin ibu ya mba. Ibu kadang emang suka gitu." Sesaat hatiku terenyuh, tidak tega rasanya melihat sorot mata adik iparku yang masih polos ini. Aku pun mengerti tidak seharusnya gadis seusia Anita ikut memikirkan persoalan rumah tangga yang sedang di alami abangnya. Tapi, mau bagaimana? Posisiku serba salah. "Iya sayang, mba juga minta maaf ya, barang kali memang mba yang belum bisa jadi menantu yang baik sesuai keinginan ibu." Jawabku lagi yang berusaha tetap kelihatan tegar. "Ssstt... Ngomong apa sih dek? Kamu itu sudah yang terbaik, tinggal bagaimana ibunya saja dalam menerima kehadiran kamu." Ucap Mas Haris yang langsung menegur ku karena tak suka dengan ucapan ku sebelumnya. Aku hanya diam mengangguk, tanpa menjawab sepatah kata pun. Seperti anak ayam yang akan selalu mengikuti apapun yang induknya lakukan. Setelah selesai dengan drama bersama Anita, Mas Haris segera menarik ku untuk berpamitan dengan ibu. Diketuknya pintu kamar ibu mertua dan tidak ada jawaban. Diketuknya sekali lagi dan masih sama tidak ada jawaban. Sepertinya Mas Haris tidak berniat untuk melanjutkan acara pamit dengan ibu mertua. Diapun hanya menitipkan pesan kepada Anita untuk mengatakan kepada ibu, bahwa kami ingin menghindari pertengkaran jadi kami pamit pulang. Dan, Anita pun hanya mengangguk tanda mengerti. *** Tidak sampai satu jam waktu berlalu, kami sudah sampai dirumah sederhana dengan pekarangan yang luas. Tidak banyak yang mas Haris bicarakan. Aku membuka pintu lalu masuk ke dalam dan diikuti oleh mas Haris. Ting.. Ting.. Ting.. Suara khas tukang bakso malang langganan terdengar tidak jauh dari rumah kami. Aku segera berlari keluar untuk memanggil si tukang bakso untuk membuatnya berhenti. "Mang, beli." Teriakku di depan pintu rumah. Dari jarak tak lebih dari 50 meter ini, aku dapat mencium aroma khas dari bakso yang sangat menggugah selera. "Tunggu bentar yaa mang." Lanjut ku setelah si abang bakso memutar arah dan memasuki area pekarangan rumah kami. "Mas mau ngga?" Tanyaku pada mas Haris dan hanya di jawab dengan anggukan kecil. Segera aku menuju dapur dan mengambil dua buah mangkok untuk kemudian ku serahkan kembali ke tukang bakso yang masih menunggu di depan rumah kami. Tanpa banyak bicara si Abang pun segera meracik bakso dengan sangat cekatan. "Pake saos ngga neng?" Tanya Abang bakso "Engga usah mang" jawabku singkat saja "Kecap sambel?" Tanyanya lagi "Iya boleh. Tapi jangan pedes-pedes bang." Jawabku lagi Tak lama berselang, pesanan bakso pun telah siap. Langsung saja aku menukarkan dua mangkok bakso, dengan selembar uang sepuluh ribu dan selembar uang lima ribu. Mas Haris sudah menunggu di ruang tamu. Tak ingin suamiku menunggu lebih lama lagi, segera aku menghampirinya dan kamipun menikmati bakso yang masih panas ini berdua. "Maafin adek ya mas. Kita jadi makan siang cuma pake bakso gini. Ngga pake nasi lagi. Padahal tadi ibu lagi masak ikan bawal goreng sama sambel bawang kesukaan mas Haris." Penuturan ku terasa ngilu di hati. Ada perasaan tidak enak karna mengajak suamiku pulang lebih dulu, tidak seperti rencana awal. "Ngga papa sayang. Mas suka kok makan bakso kaya gini, jadi lebih romantis karena makannya berdua sama istri mas yang cantik ini." Ucap Mas Haris sambil mencolek daguku dengan lembut. Jawaban mas Haris betul-betul menenangkan hatiku walaupun tetap saja perasaan tidak enak masih menggelayut diruang rasaku. "Ahh, kamu mas. Selalu bisa menenangkan istri dan membuatnya nyaman berada di dekatmu." Batinku bersorak dengan luapan rasa bangga tak terkira. Tak lama setelahnya, semangkuk bakso panas di hadapanku pun habis tak tersisa. Begitu juga dengan mas Haris. Entah karna lapar atau lainnya, yang jelas mas Haris memang tidak suka kalau terlalu banyak ada pembicaraan di saat makan. Rasa nyaman diperut setelah diisi bakso tadi, membuat mata ini pun turut meminta haknya. Setelah membersihkan diri dan melaksanakan sholat dzuhur, aku dan mas Haris segera membaringkan diri di tempat tidur. Nyaman sekali berada di tempat yang empuk ini sampai-sampai tanpa sadar aku sudah masuk ke dimensi alam bawah sadar. *** Sayup-sayup terdengar suara panggilan masuk dari ponsel milik mas Haris. Antara sadar dan tidak, aku pun membuka mata untuk memastikan. Dan benar, ponsel mas Haris memang berbunyi dan segera aku bangkit dari tempat tidur. Tertulis office di layar, dan aku mengerti itu adalah nomor dari tempat mas Haris bekerja. Segera aku membangunkan mas Haris sebelum panggilan itu berhenti berdering. "Mas. Ini ada telepon masuk dari kantor." Ucapku perlahan sambil menepuk-nepuk pipinya perlahan. Mas Haris yang mendengar aku mengatakan kantor langsung terbangun dan meraih ponselnya. "Halo, Assalamu'alaikum" Ucap Suamiku dengan suara yang serak karena memang baru terjaga dari tidur siang. "I.. Iya.." "Besok?" "Ba.. Baik. Biar saya rundingkan dulu dengan istri." "Iya, baik. Terimakasih pak." Panggilan telepon langsung di putus. Aku tidak dapat mendengar apa yang di ucapkan lawan bicara Mas Haris karena panggilan yang tidak di loudspeaker. "Gimana, mas?" Tanyaku pada mas Haris. "Ini jam berapa dek?" Mas Haris malah balik bertanya. "Jam 3." Jawabku sambil melirik layar ponsel. "Mas tak ke masjid dulu ya dek, nanti kita baru bahas ini." Mas Haris berkata sambil beranjak dari kasur dan berjalan keluar kamar. Aku tidak melanjutkan pertanyaan lagi karena takut mas Haris merasa risih. Salah-salah nanti aku dikira istri yang cerewet dan tidak mau mendengar kata-kata suami. Aku pun memilih untuk ikut mas Haris ke masjid. Siapa tau nanti di perjalanan mas Haris mau sedikit terbuka denganku. Siapa tahu, kan? ... Bersambung... Jangan lupa like komen dan share bestiee... Love kalian semua...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN