6
Dua pasang mata saling menatap dengan tajam dari arah yang berlawanan.
Sepasang mata bulat besar beriris hitam pekat milik Om Andre, beradu pandang dengan sepasang mata sipit beriris coklat tua milik Mpus Zacky.
"Om, ayo, dimulai acara maafannya," ujarku sambil menarik tangan keduanya agar berjabatan.
"Dibilangin jangan panggil om. Aa'!" sungut pria six bag yang tampan.
"Iya deh. Aa' Andre," jawabku dengan gigi gemeletuk menahan emosi.
"Zacky, aku minta maaf," ucap Om Aa' Andre sembari mengulurkan kelingkingnya.
"Oke. Sama-sama, Om. Aku juga minta maaf," sahut Mpus Zacky sambil mengaitkan jari kelingkingnya.
Aku memutar bola mata, kesal melihat kelakuan mereka yang mirip anak kecil.
"Say cheese!" perintah Tante Fitrianty, sekretaris Om Andre yang bertugas mendokumentasikan acara debat kali ini.
Setelah acara berfoto, potong nasi tumpeng, dan tiup lilin, akhirnya kami memulai acara makan siang dalam keheningan. Yang terdengar hanya dentingan sendok beradu dengan piring, dan lagu gugur bunga yang mengalun dari ponsel Om Andre.
"Pak, sekedar ngingetin, bentar lagi kita mau rapat dengan klien dari Madagascar," ujar Tante Fitrianty.
Om Andre mengangguk. Kemudian mengatur sendok dan garpu hingga berbentuk bulat persegi panjang di atas piring.
Dia bangkit berdiri, memiringkan tubuh ke arahku sembari berbisik,"Aa' pergi dulu, ya. Kamu pulangnya ntar diantar pak Tarno."
Aku mengangguk. Tertegun saat sebuah kecupan mendarat di pipi sebelah kananku.
Om Andre mengangguk sekilas kepada Mpus Zacky, kemudian mengayunkan langkah kaki dengan ketukan 1/8 menuju pintu restoran.
Tante Fitrianty mengedipkan mata ke arahku, sebelum berlari menyusul bos-nya.
Hening kembali. Mpus menyibukkan diri dengan menghitung jumlah semut yang berbaris di dinding, menatapnya curiga, seakan penuh tanya, sedang apa di sini ....
***
Sesampainya di rumah, ternyata sedang banyak tamu. Ibu-ibu komplek sedang arisan sambil mengobrol seru.
Mak Ayu sedang duduk di ayunan yang baru dipasang kemarin sore. Di tangannya ada handy talkie, sebagai alat komunikasi dengan anaknya yang sedang shift jaga di warung.
Mak Anivia, tampak merapikan jualan aneka buah dan cabai segar di halaman.
Mak Orien sedang sibuk menggelar barang dagangannya di teras rumah.
Mak Satyawati, tampak mengobrol seru sambil mengupas kentang untuk dibikin balado kering kentang.
Sementara ibu-ibu yang lain sibuk memilih dan memilah mana yang bisa dibayar secara kredit dengan cicilan seribu rupiah per hari.
Setelah menyalami mereka, aku bergegas masuk ke kamar. Merebahkan tubuh sejenak sambil berpikir tentang hubunganku dengan Om Andre.
Senyuman tersungging di wajahku yang imut bila mengingat kelakuan konyolnya. Sifat kekanakannya yang sering kali muncul turut mewarnai berbagai tingkahnya yang lucu.
Tanpa sadar mataku menutup, terpejam beberapa saat sebelum akhirnya terbuka karena kaget.
"Aska, ada Andre, noh!" teriak Mama dari balik pintu.
Dengan enggan aku beranjak ke meja rias. Menyisir rambut, memoles bedak, eye shadow, mascara, blush on dan lipstik warna ungu tua untuk penampilan paripurna. Tak lupa menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh, menutupi aroma tubuhku yang belum bersua dengan air sejak dua abad yang lalu.
Aku melayang terbang menembus dinding. Berdiri menghadap punggung lebar milik pria yang beberapa minggu ini sering mengusik tidurku.
Tanganku terulur hendak menepuk pundaknya, namun gerakanku terhenti saat mendengar obrolan para Ibu yang mengelilingi Om Andre.
"Aih ... meni kasep," ujar Mama.
(Meni kasep = ganteng banget)
"Amboi ... tampan sangat," ucap Tante Utami.
"Etdah, ganteng bingits," kata Tante Rita.
Semua mata memandangi Om Andre.
Ketika pria pembawa koper itu berbalik ke arahku, dia memandangku sambil tersenyum lebar.
Sementara aku melongo memandangi wajah pria kecil yang berada dalam gendongan pria six bag-ku.
"Ayo, Sayang. Ucapin salam ke mommy," ujar Om Andre pada pria kecil yang wajahnya mirip dengannya.
"Hi, Mommy. How are you?" tanya bocah mungil itu dengan aksen Inggris asli.
"Ohh, hi juga. Ay em fain," jawabku seraya memaksakan diri untuk tersenyum.
Otakku bekerja keras mengingat semua cerita Om Andre. Namun seingatku dia tidak pernah menyebutkan bahwa dia sudah punya anak.
"Daddy mau ngomong dulu sama Mommy, ya. Kamu tunggu di perosotan sama Mbak Ais," ujar Om Andre. Dia menurunkan pria kecil berambut coklat itu, yang langsung berlari ke arah seorang perempuan muda yang mengenakan seragam suster.
Para Ibu beralih ke perosotan. Mereka masih menggumamkan berbagai kata pujian pada pria kecil.
"Sini, Sayang," ajak Om Andre sambil menggusurku ke sofa di ruang tamu.
Kami duduk berdempetan. Degup jantungku tiba-tiba menanjak dan menukik tajam bak burung elang hendak menangkap mangsanya.
Om Andre memandangiku sembari tersenyum simpul. Wajah sumringahnya membuat dia semakin tampak ... kasep.
"Cowok kecil itu. Ehm ... dia ... anak, Om?" tanyaku memecah kesunyian sekaligus menghilangkan kegugupan dipandangi seperti itu.
"Iya ... ehh ... bukan. Dia anakku ... ehh ... bukan," jawabnya terbata.
Aku memicingkan mata dan mengerutkan dahi.
"Maksudku, dia memang anakku. Tapi bukan anak kandung. Melainkan keponakan," lanjutnya seraya terkekeh pelan.
Huft!
Lega!
Debaran jantungku mulai kembali normal. Seulas senyum tercetak di wajah cantikku.
"Namanya Ghava, anaknya Kakak tertuaku, Teh Aruna yang tinggal di Inggris. Suaminya kan emang mix bule sana," jelas Om Andre.
Aku manggut-manggut 100 kali.
"Teh Aruna sengaja datang ke sini buat kenalan sama kamu dan keluarga. Ntar malam kami akan berkunjung ke sini. Sekarang dia dan suami lagi istirahat," lanjutnya sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi.
Tangannya bergerak mengusap perut yang mirip roti kasur. Empuk. Membuatku sejenak hendak merebahkan diri di sana.
"O iya, nanti pakai baju yang dianterin pak Tarno tadi, ya," pintanya.
"Baju?" aku bertanya linglung.
"Kamu belum terima?" Dia malah balik bertanya.
Aku menggeleng 1000 kali.
"Udah ada, kok. Nih! Mama lupa ngasihin ke kamu," sela Mama dari pintu yang terbuka.
Beliau mengulurkan paper bag warna hijau kemerahan. Kuraih dan langsung membuka benda itu yang dilakban rapat bak toples kue nastar.
Mataku terbelalak melihat isi paper bag. Mengangkat baju berwarna biru gradasi ungu itu dan mengibarkannya di tangan Mama yang terulur.
"Kamu suka, kan?" tanya Om Andre dengan mata berbinar.
"Ehm ... warnanya sih oke. Tapi ...." ucapanku menggantung.
Om Andre mengangkat dagu, seolah bertanya.
"Ini kan daster, Om," ujarku sembari meringis.
***
Rembulan bersinar dengan sepenuh hati, menerangi langit malam yang bertabur bintang.
Hangatnya udara malam seolah mengalir ke seluruh penjuru rumah orang tuaku yang cukup luas ini.
Kami duduk berderet rapi bak anak-anak TK yang akan dipotret untuk album kenangan sekolah.
Di sebelah kananku ada Mama dan Papa. Di sebelah kiriku ada Om Andre yang sedang memangku Ghava.
Di seberang kami ada Teh Aruna dan suaminya, Kang William Wahyudi yang mix bule tanpa surai.
Di kursi plastik yang tadi dibawa pak Tarno, duduk dengan rapi kedua Kakak laki-laki Om Andre beserta istri masing-masing.
Om Andra duduk berdampingan dengan Tante Siska, istrinya yang mengenakan jilbab berwarna pink kecoklatan.
Di sebelah mereka ada Om Andri dan Tante Windy, istrinya yang juga mengenakan jilbab berwarna sama dengan Tante Siska.
Pakaian yang keluarga mereka kenakan juga sama model dan warnanya. Membuatku jadi membayangkan kue lapis.