Pembicaraan basa basi berubah menjadi obrolan serius antara Mama dan ketiga wanita dewasa dari keluarga Om Andre.
Mereka sibuk membicarakan segala pernak pernik hantaran buat acara lamaran di hari Sabtu nanti.
Sementara Papa tampak mengobrol serius dengan keempat pria dewasa, tentang dunia sepak bola dan dunia lain.
Tak peduli aku yang kebingungan. Megap-megap seperti ikan yang kekurangan oksigen.
"Jadi, acara lamaran sudah fix, ya," ucap Om William yang membuatku mengkerut.
"Yups. Sabtu nanti, tepat pukul 11.00 wib. Kami siap menunggu kedatangan keluarga besar Nak Andre," sahut Papa.
"Tunggu! Kok, Papa sama Mama mutusin tanpa nanya ke aku dulu?" protesku.
Sontak saja semua mata tertuju padaku.
"Bukannya Neng Aska udah setuju?" tukas Om Andre sambil memandangiku dengan hidung terlipat.
"Kapan aku bilang setuju? Bulan lalu kan aku jawabnya tahun depan!" tegasku.
"Aih ... dia lupa. Waktu kita main roller coaster, kan aa' tanya ke Neng. Terus Neng jawab iya sambil teriak semangat!" Om Andre mulai ngotot.
Aku berpikir sejenak. Mencoba mengingat obrolan kami waktu itu. Namun, sampai otakku berbuih aku tidak mampu mengingat satu pun isi obrolan kami.
Gimana mau ingat, aku sedang sibuk gemetaran sampai gigi gemeletuk karena takut ketinggian.
"Emang waktu itu Om bilang apa?" tanyaku setelah mencoba mengingat. Aku menyerah. Ingatanku lemah urusan obrolan.
Om Andre menyerahkan Ghava ke Teh Aruna. Kemudian, berbalik ke arahku. Wajahnya menampilkan keseriusan.
"Aa' tanya gini. Neng, takut ketinggian? Neng jawab iya. Terus. Neng, supaya gak takut, teriak aja. Neng jawab iya."
Sejenak ia berhenti, mengambil teko berisi teh manis dan langsung menelan tekonya bulat-bulat.
"Terus aa' tanya lagi. Neng, ntar hari Sabtu, mau dilamar? Neng jawab iya sambil meluk aa' kuat-kuat," jelasnya dengan tersenyum lebar.
Aku terdiam. Mengerjapkan mata beberapa kali. Kemudian berdiri dan melompat seperti kelinci ke dalam kamar. Membuka pintu kamar dengan tangan gemetaran. Menutupnya kembali dengan dorongan menggunakan b****g.
Menyandarkan tubuh seksiku ke pintu. Memejamkan mata sambil tersenyum lebar.
Perlahan aku mulai tertawa dengan suara sopran yang melengking tajam. Tubuh meliuk bak penari latar video clip lagu bollywood.
Berhenti sejenak di depan cermin. Melihat pantulan wajahku yang tampak berseri-seri.
Eeeeeeaaaaaaaa.
***
Keesokan harinya.
Beberapa pasang mata tampak memandangi aku yang baru turun dari motor milik Mpus.
"Makasih, ya," ucapku tulus.
"Sama-sama. Bayaranku ditraktir aja," selorohnya sambil turun dari motor.
Mpus Zacky mengikuti langkah kakiku yang mengalun indah bak simfoni di musim durian.
Sesekali dia meringkik seperti kuda, bila kakinya membentur ranjau darat yang ditanam Om Andre di sekitar halaman rumah orang tuaku.
"Sore, Om dan Tante," sapa Mpus ramah.
"Sore. Ayo, duduk di sini," ajak Papa. Tangan beliau menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya.
Sementara Mama mendelik ke arahku. Mengangkat dagu, dan memutar kepala seratus dua puluh koma lima derajat celcius, menyuruhku masuk ke dalam.
"Ntar Andre ngamuk lagi!" omel Mama sambil menggusurku masuk ke dalam.
"Nggak bakal marah. Aku udah dapat izin kok," kilahku.
"Are you sure?" tanya Mama, bergaya sok ke barat daya.
"Yes! I'm really sure!" jawabku seraya tersenyum manis.
Mama memicingkan mata, mengernyitkan hidung dan memonyongkan bibir. (Jangan dipraktekkan, readers)
"Mpus Zacky sudah melakukan gencatan senjata dengan om Andre, Ma. Mulai saat ini, mpus bertugas mengantarku pulang dari kampus. Digaji pula," jelasku.
"Semacam ojek dibayar bulanan?"
"Yoih. Plus bensin, uang makan, pulsa dan akan ikut aku ke mana pun, tentu saja bila om Andre berhalangan,"
sahutku.
"Kenapa tiba-tiba Andre jadi baik begitu ke Zacky?"
"Karena dia bilang, menjadikan musuh sebagai partner atau karyawan, lebih bagus daripada menjadi musuh selamanya," jelasku.
Mama manggut-manggut.
"Emang Mama paham?"
"Kagak."
"Sama!"
Selanjutnya kami berdua duduk bersantai di sofa ruang tengah, ditemani dua gelas teh es panas dan satu toples macaroni tabur cabe rawit.
***
Menjelang Isya, Tante Aruna datang ke rumah bersama Ghava dan Mbak Ais. Di belakang mereka tampak beberapa orang dengan dandanan yang sangat eye catching.
Tante Fitrianty melambaikan tangan ke arahku. Di sebelah kanannya ada seorang pria tinggi kurus yang mengenakan kacamata hitam. Di belakang mereka ada dua orang perempuan dengan dandanan ajaib pula.
"Ayo, Fit. Segera dimulai aja. Takutnya keburu Subuh," ucap Tante Aruna.
Dia membalikkan badan dan berjalan menuju ayunan dengan anggun. Mbak Ais mengikutinya sembari menuntun Ghava.
Jentikan jari Tante Fitrianty memberi kode agar ketiga orang itu segera bekerja.
Pria tinggi itu mulai mengukur lingkaran pinggang, pinggul, leher, kepala, tangan, kaki, jari dan upilku dengan seksama.
Perempuan berbaju ungu muda keabuan tampak sibuk mencatat semua ukuran yang disebutkan sang pria tinggi.
Sementara perempuan yang berbaju kuning bermotif bunga bangkai, sibuk mengambil gambar semua adegan demi adegan pengukuran baju pengantin.
Ehh ... apa?
Pengantin?
Seketika aku menoleh ke arah Mama dan Tante Fitrianty. Mereka sudah senyum-senyum sedari awal acara pengukuran.
"Mama, kok ngukur baju pengantin sih?!" bisikku melalui toa masjid.
"Cuma ngukur doang. Kan sekalian ngukur baju buat acara lamaran," jawab Mama yang terdengar sangat tidak meyakinkan.
Entahlah ....
Aku merasa ada yang aneh di sini.
Sepertinya ada jerapah di balik pohon.
Apalagi melihat Mama mengobrol bisik-bisik menggunakan mic bersama Tante Aruna.
Sungguh membuat hatiku merasa sangat tidak nyaman.
Selesai acara pengukuran baju, aku memilih duduk selonjoran di teras rumah. Sementara para tamu langsung pulang ke alam baka.
Mulutku tak henti mengunyah seblak cengek ceker seuhah (pedas) yang tadi kubeli di warung Mak Ayu.
"Permisi," sapa suara yang sangat kukenal.
Om Andre berdiri dengan gagah di dekat bak sampah.
Saat dia melangkah mendekat, aku nyaris tersedak menahan tawa melihat dandanannya yang sangat aneh.
Memakai kostum mirip penyanyi Elvis Presley berwarna merah menyala, lengkap dengan sepatu mengilat dan rambut disasak tinggi. Di tangannya ada gitar kecil.
Dia duduk di undakan tangga. Memandangku seraya tersenyum lebar.
Petikan gitarnya mulai terdengar. Aku menunggu dia menyanyi dengan hati yang berdebar.
Di jendela ruang tamu tampak Mama mengintip dengan daster berkibar. Sementara Papa berdiri di pintu depan yang terbuka lebar.
Semua mata memandangi pria six bag dengan sangat antusias.
Pacarku memang dekat
Lima langkah dari rumah
Tak perlu kirim surat
SMS juga tak usah
Tepuk tangan membahana terdengar di seantero blok rumah. Para tetangga yang rumahnya berdekatan rupanya ikut menonton konser Om Andre. Mereka menggelar tikar sembari bakar-bakar jagung dan sosis.
"Lagi, Bos!" teriak Tante Fitrianty dari atas genteng rumahku.
"Lanjut!" teriak Tante Aruna dan Om William berbarengan.
"Ayeeee ayeeee," sorak Mak Orien, Mak Satyawati dan Mak Anivia. Entah sejak kapan mereka menggelar lapak di depan rumah.
Beberapa orang mendekat sambil mengacungkan buku kecil dan pensil warna ke Om Andre, yang langsung menandatangani bak penyanyi top papan penggilasan.
Tante Rita, Mak Ayu dan Tante Utami, tak henti-hentinya berpose dan mengambil foto bersama Om Andre yang cengengesan.
Sementara aku masih mematung, dengan mulut tak henti mengunyah rengginang cocol menyan.