5
Wuuuzzzzzzzzz.
Embusan angin kencang menerpa tubuhku yang langsing. Aku menutupi wajah dengan kedua tangan yang halus lembut dan kenyal bak sponges cake.
"Yuk!" ajak Mpus Zacky. Dia sudah duduk di atas motornya sejak tadi.
Aku meraih helm yang diulurkannya sejak sebelum masehi. Memakai helm dengan rapi, tak lupa menyelipkan sekuntum bunga kembang pepaya di telinga.
Biar pun naik motor, penampilan anggun harus tetap dijaga. Ya, kan?!
"Udah?" tanya Mpus Zacky.
"Iya," jawabku pelan sambil merapikan tas selempang di bahu kanan dan senjata AK-47 di bahu kiri.
Motor mulai melaju pelan. Sesekali melambat saat melewati gundukan semen yang disebut polisi tidur.
Entah kenapa itu disebut polisi tidur. Apa karena polisi kalo lagi tiduran itu mirip semen? Atau semen yang mirip polisi?
Aihhh. Abaikan!
"Kita mampir buat makan dulu, yuk?" ajak Mpus Zacky. Suaranya tidak terlalu jelas terdengar.
"Apa?" teriakku tepat di telinga kirinya yang kutarik keluar dari helm.
Bbrrraaakkkk!
Mpus Zacky hilang keseimbangan dan menabrak tiang listrik yang tiba-tiba muncul di tengah jalan.
"Apaan sih, Kin! Teriak pas di kuping!" omelnya sembari membetulkan stang motor yang terlipat.
"Kamu tadi ngajak apaan?" ulangku.
"Ngajak makan!" sungutnya.
"Hayok! Aku memang udah laper," jawabku antusias. Tak peduli dia menggerutu.
Motor melaju lagi. Kali ini lebih lambat dari yang tadi. Sangat lambat sehingga bisa saingan sama siput.
Akhirnya setelah menempuh perjalanan selama lima jam, kami pun sampai di mall yang berjarak sekitar dua kilometer dari kampusku.
Aku yang sudah kelaparan akut, menggusur tubuh tinggi Mpus Zacky ke restoran cepat saji di bagian depan mall.
Tempat ini menjadi saksi indahnya persahabatan kami dulu. Kami menabung uang receh di celengan ayam. Setiap tanggal 1 pada setiap bulannya, celengan akan kami pecahkan. Uangnya dihitung, terus ditukar ke warung Mak Ayu di pojok kanan blok rumah kami.
Kemudian kami pergi ke mall ini, tentu saja diantar Bi Sum atau Mang Uus, tukang kebun di rumah Mpus.
Uang yang sudah ditukar tadi kami belanjakan makanan favorit kami di restoran ini. Kalau kurang, ya, tinggal nodong ke yang antar. Hohoho.
"Senyum-senyum sendiri nih. Pasti terpesona sama aku," ujar Mpus Zacky sambil kedip-kedip kremian.
"Ge er. Aku tuh ingat kenangan kita dulu," sahutku sambil tersenyum lebar.
Mpus Zacky membalas senyumanku. Kemudian dia mulai tertawa. Makin lama tawanya makin kencang.
Semua mata pengunjung, petugas restoran, cicak di dinding, laba-laba, semut, kecoa, kuda nil dan gajah yang ada di situ, memandangi kami dengan tajam. Mungkin mereka merasa terganggu dengan tawa Mpus Zacky yang bariton sopran.
"Ssstttt! Berisik!" hardikku.
Mpus Zacky berusaha menahan tawa dengan memasukkan semua kentang ke dalam mulutnya. Tidak menyisakan satu pun di atas meja. Membuatku pengen meninju wajahnya yang cengengesan.
Dung trak tak tak dung dung pret.
Bunyi ponsel yang unik membuatku terkejut. Nada dering itu khusus buat panggilan dari Om Andre.
Kuraih ponsel dari dalam tas selempang, menggeser layar dengan jemariku yang lentik. Entah sejak kapan nama kontaknya berubah menjadi Yayank Andre.
"Assalamualaikum," sapaku lembut.
"Waalaikumsalam. Di mana, Sayang?" sahutnya dengan nada sol rendah.
"Ehm ... di resto bebeb ay ay."
"Sama siapa?"
"Sama teman."
"Cowok atau cewek?"
"Cowek."
"Hmm ...."
Sejenak tidak terdengar apa pun dari seberang telepon.
Tepukan di pundak kiri membuatku sontak menoleh. Mulutku menganga saat melihat Om Andre berdiri dengan gagah sambil membawa lap pel dan botol semprotan.
"Punten," ujarnya sambil menyemprot wajah Mpus Zacky dan mengelapnya dengan semangat.
Selanjutnya aku hanya bisa pasrah saat kedua pria itu terlibat baku hantam di lantai restoran, dengan disaksikan jutaan penonton yang menontonnya dalam tayangan acara gosip.
***
Langit malam yang gelap membuat udara semakin pengap. Angin seolah malas untuk berembus dan memilih bermain lompat tali di atas atap.
Aku dan Om Andre duduk di bangku halaman depan rumah orang tuaku. Sudah hampir dua jam kami duduk dalam diam. Sesekali saling melirik, kemudian membuang pandangan ke arah gunung Tangkuban Perahu bila tertangkap basah sedang melirik.
Ia berusaha meraih jemariku berulang kali. Namun, gerakannya selalu gagal karena aku selalu menepisnya.
"Neng," panggilnya lembut.
Aku bergeming.
"Maafin aa', ya."
Aku tetap bergeming.
"Huft. Susah ngomong ama patung!"
"Aku manusia, bukan patung!" jawabku sembari mendelik tajam.
"Nah! Akhirnya mau ngomong juga," ujarnya kegirangan.
Sejenak kami saling tatap sebelum akhirnya aku membuang pandangan ke arah lain.
"Kenapa harus berantem sih, Om?"
"Sorry. Kebawa emosi tadi."
"Aku kan malu," ujarku sambil menunduk.
"Iya. Maaf. Aa' juga malu." Terdengar tawa kecilnya yang mirip tawa tuyul.
"Besok minta maaf sama Mpus Zacky! " perintahku.
"Iya, tapi Neng kudu janji."
"Janji apa?"
"Nggak boleh jalan sendiri sama cowok lain. Kalo aa' nggak bisa nemenin, ajak Bi Sum atau Pak Tarno juga boleh."
Aku memutar bola mata. Kesal!
"Jangan ngatur-ngatur! Aku berhak jalan dengan siapa pun!" tegasku.
Om Andre hanya menatapku tajam. Aku balas menatap dengan sinis.
Acara tatap menatap ini berlangsung selama lima belas menit, sebelum akhirnya dia memajukan tubuh dan mengecup dahiku dengan lembut.
"Pokoknya nggak boleh, ya, Sayang! Kalo ketahuan lagi aa' bakal langsung geret kamu ke KUA!" tegasnya sambil menepuk pipiku
Kemudian dia langsung salto menuju rumahnya. Menabrak pagar dan terguling. Berhenti gelindingan tepat di ban mobil yang terparkir di car port depan rumahnya.
Om Andre bangun sambil menepuk-nepuk celana panjang dan baju kaus warna hijau melon yang dikenakannya. Meringis malu saat melihatku tersenyum lebar.
Dia memulai gerakan moon walk ala Michael Jackson, dan sukses menabrak pintu rumah yang tiba-tiba terbuka dari dalam.
***
Tin tin tin tin tin
Bunyi klakson mobil terdengar dari depan pagar. Papa yang sedang meminum kopi sampai tersedak cangkirnya.
"Siapa sih? Gandeng pisan!" omel Mama sembari menepuk-nepuk punggung Papa untuk mengeluarkan cangkir, sendok, piring, asbak dan taplak meja yang ikut tertelan.
(Gandeng pisan = berisik banget)
"Neng Aska. Main yukkkkk!" teriak suara pria yang sangat kukenal.
Aku menutup mata, menghela napas sambil menghitung sampai ke-100, kemudian mengembuskan perlahan sembari berdiri dari kursi yang kududuki sejak seribu tahun yang lalu.
Mengayunkan langkah kaki dengan pelan menuju pintu rumah yang sudah terbuka sejak tadi.
"Eleuh eleuh. Nanaonan yeuh!" teriak Mama yang rupanya mengikutiku dari belakang.
(Apa-apaan ini!)
Di depan rumah sudah ada Om Andre yang tersenyum lebar. Di belakangnya tampak beberapa mobil yang sedang menurunkan perosotan, ayunan, bianglala dan roller coaster.
"Neng Aska. Main yuk!" ajaknya lagi.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali sebelum pandanganku menggelap.