8
"Neng Aska," panggil Om Andre saat kami hanya tinggal berdua.
"Ya?"
"Kira-kira, mau nikahnya kapan?"
Aku mengerjapkan mata dua belas kali, sedikit kaget mendengar pertanyaannya.
"Ehm ... nunggu aku diwisuda, gimana?" Aku bertanya balik.
"Kapan itu? Jangan bilang sepuluh tahun lagi, ya!"
"Paling lambat akhir tahun ini, Om. Kan sekarang baru mulai bikin skripsi."
"Isshhh! Aa'! Bukan om!" sungutnya.
Aku tersenyum sembari mengangguk. Sepertinya mulai sekarang aku harus membiasakan diri memanggilnya dengan sebutan Aa'. Bukan Om lagi.
Sejenak hening. Yang terdengar hanya suara cacing sedang paduan suara di perutku.
Aku meringis malu, dan mengambil sekotak donat yang baru dibelikan Aa' Andre, dan menelan donat sekaligus dengan kotaknya.
Aa' Andre tersenyum lebar. Tangan kirinya terulur memegang pipiku. Menatapku dengan sorot mata penuh cinta.
Suara binatang malam seakan berhenti. Angin yang berembus mendadak hilang. Jantungku berdenyut lebih kencang saat wajahnya mendekati wajahku.
Aku memejamkan mata, menunggu dia memulai lebih dulu.
Satu ....
Lima ....
Sepuluh detik menunggu, akhirnya aku membuka sebelah mata.
"Hadeuh! Kebiasaan deh. Kalo kekenyangan pasti langsung tidur," sungutku pada pria tampan yang sudah tertidur mapan di teras depan.
Melihatnya tertidur pulas, dengan bulatan balon yang keluar dari hidung, diiringi dengkuran dengan ketukan 2/3 dan nada bass tenor, membuatku merasa ... sangat sayang.
Tangan kananku bergerak hendak mengusap rambutnya. Namun tiba-tiba dia menangkap pergelangan tanganku. Mencengkram dengan erat sembari berteriak,"Jangan bergerak! Belanda sudah dekat!"
***
Suara kicauan burung perkutut milik Papa, membangunkanku dari tidur yang setengah sadar.
Mataku membola sempurna saat melihat sepasang mata besar balas menatapku dari sebelah kanan.
"Pagi, Sayang," sapa Aa' Andre.
"Pagi," jawabku linglung.
Dengan bertumpu pada kedua siku aku bangkit dan mencoba untuk duduk. Tanganku bergerak membuka selimut tebal yang menutupi tubuh. Kemudian termenung selama beberapa menit, sampai nyawaku terkumpul kembali.
"Enak tidurnya?" tanya pria pembawa koper itu. Wajahnya mulai dihiasi kumis dan janggut tipis. Rambut acak-acakan. Namun, senyumannya tetap menawan.
"Kagak. Sakit semua badanku. Lantainya keras," jawabku sembari menguap.
"Mana ada lantai yang empuk atuh, Neng. Aneh-aneh aja."
"A', aku masuk dulu, ya. Mau mandi," pamitku sambil berdiri.
Aa' Andre ikut berdiri, menyentuh daguku dan mengangkatnya sedikit. Sejenak tatapan kami bertemu. Keheningan yang tercipta membuatku gelisah.
"Pup di mata kamu gede juga, ya," ujarnya santai.
Jiahhhhh.
***
Hari berganti hari dengan sangat cepat. Tiba-tiba saja sekarang sudah tiba hari yang sangat ditunggu hampir semua orang.
Sejak Subuh, Mama dan Bi Sum sudah teramat sangat sibuk. Dibantu genk emak-emak arisan, mereka berlomba mengejar waktu untuk memasak aneka suguhan yang akan dihidangkan nanti siang.
Mpus Zacky, Papa dan Pak Tarno wara wiri keluar masuk sumur untuk mempersiapkan air kembang sepuluh rupa buat pengharum ruangan.
Aku dipingit. Nggak boleh keluar kamar sama sekali.
Akhirnya aku cuma rebahan sambil menonton televisi. Terus tidur. Bangun. Makan. Rebahan. Tidur. Bangun. Mandi. Makan. Tidur.
Tuk, tuk, tuk, tuk, tuk.
Gagang pintu terbuka. Kepala Tante Fitrianty muncul. Kemudian, ia melangkah masuk ke kamar, sambil menenteng gaun panjang berwarna biru navy bertabur permata, yang berkilauan tersorot sinar matahari.
"Udah mandi?" tanyanya dengan lembut.
Aku mengangguk pelan.
"Ayo, kita mulai dandan. Kamu ganti baju dulu. Nanti ada tukang rias yang bakal nongol buat dandanin," ujarnya.
Dia menarik lengan kanan dan menuntunku ke kamar mandi yang terletak sekitar satu kilo meter dari kamar.
Setelah selesai berganti pakaian, aku mematut diri di depan cermin besar di meja rias.
Secarik senyuman mengembang. Mataku berbinar. Hidungku membesar dan mengempis serta mengepulkan asap hitam, seperti knalpot kendaraan yang nggak dirawat. (Jangan ditiru)
"Hallo, kenalin, eikeh Mika. Penata rias paling beken di kampung eikeh," ucap seorang wanita dewasa yang tersenyum lebar di dekat pintu.
"Hai," jawabku pendek.
Kemudian dia terbang dan duduk manis di atas tempat tidur. Melambaikan tangan untuk memanggilku mendekat.
Tangannya dengan cekatan mulai melukis wajahku. Senandung lagu dangdut terdengar lirih dari balik masker yang ia kenakan.
Hayang Kawin win win win Hayang kawin
Geus teu tahan mang tauntaun bubujangan
Bunyi rebana dan saxophone mengalun seirama dari ujung blok. Dari layar televisi di kamar yang sudah terhubung dengan kamera di tiang listrik depan rumah, aku mengamati rombongan keluarga dan pengantar Om Aa' Andre, yang berjalan pelan menuju rumahku.
Sementara itu kedua orang tua, beberapa kerabat Papa dan Mama, serta emak-emak genk sosialita sudah berbaris rapi, layaknya orang lagi antri sembako di pasar murah.
Pakaian yang mereka kenakan semuanya berwarna sama. Biru tua-tua keladi gradasi pink untuk para wanita, serta setelan jas berwarna biru telur asin untuk para pria.
Setelah rombongan sampai, acara penyambutan dimulai. Tante Utami yang bertugas sebagai pemandu sorak, memimpin acara pelamparan jumroh ke tubuh Om Aa' Andre.
"Neng Aska, ayo, kita keluar," ajak Tante Rita. Dia menggamit lengan dan menggeret tubuhku hingga terpelanting ke sana sini.
"Pengantin wanitanya sudah tiba, acara akad nikah bisa segera kita mulai. Silakan pak Kepala Kantor Urusan Agama." Suara Tante Utami seolah menghantam otakku.
Pengantin wanita?
Tuh kannnn!
Aku terjebak!
Tulunggggggg!
***
Mataku membelalak. Napas terasa sesak. Mulut membuka dan menutup bak ikan terperangkap di dalam ember. (Jangan ditiru)
Aku menatap nanar pada Mama, Papa, Aa' Andre, Mpus Zacky, Bi Sum, emak-emak genk arisan dan keluarga besar Aa' Andre yang balik menatapku dengan tersenyum lebar.
"Oh ... maaf. Saya salah nyebut. Mari kita mulai acara lamarannya Pak Hamid dan Pak Andra," ujar Tante Utami dengan senyum dikulum.
Huft!
Lega!
Ternyata aku dikerjain.
Kirain beneran mau nikah sekarang.
Padahal, ayo atuh!
Ehh ....
Papa mengambil alih mic dari tangan Tante Utami. Terus dilempar ke pak RT. Terus dilempar ke Om Andra. Terus dilempar ke Om William. Terus dilempar ke pak Tarno.
"Prok prok prok. Jadi apa?"
tanya pak Tarno sambil bertepuk tangan.
Duuuaaarrrr!
Bunyi petasan yang dinyalakan Mpus Zacky di atap rumah Mak Orien, yang berjarak sekitar lima langkah di sebelah kiri rumahku, mengagetkan semua orang.
Mpus Zacky pun mendapat hadiah lemparan sepatu, karung semen, tiang jemuran, kipas angin, mesin cuci, dan ingus.
"Dengan penyematan cincin ini, maka Neng Kinarian Askana resmi menjadi calon istri Andre Darmawan Hematpangkalkaya Maju Tak Gentar Menerjang Badai," ujar Om Andra yang mewakili keluarga Aa' Andre untuk menyerahkan sepasang cincin pada papaku.
Aa Andre berdiri dari kursi dan mengayunkan langkah kaki dengan ketukan 4/5.
Pria yang tampak ganteng banget dengan setelan jas yang berwarna sama dengan gaunku, mengambil salah satu cincin yang mungil, dan menyematkannya di jari manis sebelah kiriku.
Aku mengambil cincin yang berukuran lebih besar, dan memasangkannya ke jari manis kirinya.
"Aa', nggak bisa masuk nih," bisikku.
"Pelan-pelan, Neng. Jangan dipaksa. Aa' masih perawan," balasnya dengan berbisik pula.