9
Mataku melotot memandanginya yang tersenyum miring. Sementara ia membalasnya dengan pandangan m***m.
Setelah penyematan cincin selesai akhirnya acara makan siang pun dimulai.
Para Emak sobat Mama sibuk melayani pembeli di tiap lapak milik mereka.
Lapak Mak Ayu menyediakan aneka nasi kucing dengan lauk rendang jengkol dan pete tabur berlian.
Lapak Mak Satyawati menyediakan aneka sate dan soto dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Lapak Tante Rita menyediakan aneka kue mungil dan es buah yang segar.
Lapak Mak Anivia menyediakan aneka jajanan sehat seperti sosis dan jagung bakar. Cilok bumbu kacang. Basreng dan jasuke.
Aku dan Aa Andre duduk di ayunan sambil menikmati semua hidangan. Sesekali pandangan kami bertemu. Saling mengulum senyum dan melempar upil.
"Neng,"
"Ehm?"
"Senang nggak?"
"He em."
Hening. Yang terdengar hanya dentingan sendok beradu dengan piring dari anyaman bambu.
"Siap nggak kalo enam bulan lagi kita nikah?" tanyanya dengan harap-harap cemas menang undian.
"Kecepatan atuh, Aa'," jawabku.
"Ooo. Berarti tiga bulan lagi, ya."
"Iya," jawabku sambil berpikir.
"Deal!" ujarnya sembari mengulurkan tangan.
"Ehh ... salah. Bukan tiga bulan, tapi sembilan bulan lagi," sahutku panik.
"Nggak bisa! Udah deal tiga bulan!" ujarnya sambil berdiri dan break dance dengan heboh.
Kemudian pria six bag itu berlari menuju ketiga kakaknya. Tak lama kemudian terdengar teriakan mereka berempat yang membuatku lemas.
Gini nih kalo punya ingatan lemah soal obrolan.
Terjebak lagi!
***
Saat langit mulai menggelap
Embusan angin meliuk indah
Neng cantik yang diharap
Darmawan ingin memeluk Askanah
Untaian sajak atau pantun yang tidak jelas, mengalun merdu dari bibir tebal penuh milik Aa' Andre.
Sesekali ia melirikku dengan sorot mata ... lapar.
Membuatku ingin segera menghabiskan semua sajian di meja restoran ini, supaya dia nggak kebagian.
"Aska," panggilnya syahdu.
"Ya?" jawabku sendu.
"Sudah belum makannya? Aa' mau ngomong serius!"
"Ngomong ajalah, A'. Aku dengerin sambil makan."
"Hmm ... gini. Aa' ada rencana mau ke London, bulan depan. Mau ngantar teh Aruna dan Ghava. Kangmas William kan beberapa hari lagi berangkat duluan mudik ke country fiesta-nya. Jadi ...."
Aku menunggunya melanjutkan omongan dengan mulut menganga, lidah terjulur dan mata berbinar mengharap diajak. (Jangan ditiru lagi)
"Kamu nggak apa-apa kan kalo ditinggal seminggu atau dua minggu?" tanyanya dengan wajah serius.
"Nggak apa-apa," jawabku dengan kecewa.
"Nanti mau dibawain apa buat oleh-olehnya, Sayang?"
"Kecap Inggris."
***
Sinar surya di pagi hari yang hangat, menembus masuk lewat lubang angin berdiameter lima puluh centimeter di atas jendela kamarku.
Biasnya menyorot masuk dan menerpa mata indahku. Aku mengerjapkan mata dua ratus dua puluh dua koma dua kali, sebelum akhirnya membuka sempurna.
Tuk, tuk, tuk, tuk, tuk.
Suara ketukan berirama khas pria tampanku (uhuk), membuatku bergegas bangkit dan berlari ke kamar mandi. Menutup pintu dan menguncinya.
Crrriiinnnggg.
Crrriiinnnggg.
Bunyi bandulan logam mulia di pintu kamar, menandakan dia sedang membuka pintu.
"Aska?" panggilnya mendayu.
"Lagi mandi," jawabku merdu.
Hening. Entah dia sedang melakukan apa di kamar.
Aku buru-buru mandi, sikat gigi, luluran, cream bath, maskeran dan tiduran di ember besar.
Tepat tiga jam kemudian aku keluar kamar mandi. Aa' Andre sedang berdiri di tepi jendela.
Dari posisinya yang membelakangiku, postur tubuhnya tampak gagah. Bahu yang lebar. Lengan yang kekar dan rambut yang berkibar.
Saat ia berbalik seraya tersenyum manis, di hatiku terasa ada yang meleleh gitu.
Saat pria menawan itu berjalan mendekat, degup jantungku seolah berebut ingin keluar.
Tangannya terulur meraih kepalaku. Membelai rambut dan mengecup puncak kepala dengan lembut.
Harum parfumnya yang manis membuatku sedikit mabuk. Tubuhku oleng saat dia menjauh selangkah ke belakang.
Senyuman terukir di wajahnya yang berseri. Pandangannya tak henti menatapku dengan sorot mata sayang.
"Pakunya udah berkarat, nanti aa' ganti dengan yang baru," ucapnya sambil mengacak rambutku.
Aihhhh.
Dikata kuntilanak?!
Saat aku hendak mengomel, dia lantas memajukan wajah hingga jarak kami hanya tersisa satu jengkal.
Seketika aku terdiam. Mulutku terbungkam tanpa kata.
Embusan napasnya yang hangat menerpa pipiku. Aku seolah tak mampu menghindar, dan hanya bisa pasrah saat ia semakin mendekat.
"Upilnya gede banget!" serunya sambil menunjuk hidungku yang mancung seperdelapan.
***
Bulan nu ngagantung
Di langit batu hiu
Tinggal sapasih
Sesa purnama kamari
Mpus Zacky mengiringi suara merduku dengan gitar hasil kreditan dari toko Mak Orien.
Sesekali pandangan kami bertemu saat dia mengejar-ngejar nada suaraku, yang bermain di nada C minus mayor dan B minor kuadrat.
Tatapanku menerawang, memandangi rumah Aa' Andre yang tampak sepi.
Sejak kepulangan Tante Aruna, Ghava dan Mbak Ais ke London, aku merasa kesepian.
Aa' Andre masih belum pulang. Pak Tarno juga lagi mudik ke Guatemala. Temanku cuma Mpus Zacky dan emak-emak sobat Mama yang bergantian datang untuk menghiburku.
Anak-anak para Emak itu umurnya jauh di bawahku. Teman-teman kampus juga lagi pada sibuk bikin skripsi. Jadi hanya merekalah tempatku berkeluh kesah serta mencari hiburan.
Obrolan absurd mereka benar-benar di luar nalar dan sangat menghibur.
Contohnya nih, ya.
Suatu hari ada pengamen yang konser di depan warung Mak Ayu. Udah habis menyanyi satu album tapi pengamen itu tak jua pergi. Tahu-tahunya dia ngecengin Mak Ayu.
Setelah diusir pakai sapu lidi, air tajin, pup-nya Ero (kucingnya Mak Ayu), terakhir dibacain Yasin tujuh balikan, akhirnya pengamen itu pergi juga.
Ada lagi cerita lain.
Mak Satyawati sama Mama. Hobi banget baca cerita horor. Jadilah tiap malam Jum'at mereka ngumpul, kemping di ruang tamu sambil ngeronda, baca cerita horror dengan diterangi sinar lilin yang bergoyang di dalam baskom.
Sedapat mungkin lilinnya jangan sampai padam. Bisa-bisa Papa atau Om Am Em Um, suaminya Mak Satyawati nggak bisa pulang bawa hasil ngerondanya.
Sayang kan, udah capek-capek ngider semalaman tapi nggak bawa hasil.
Pernah aku iseng, lilinnya kutiup sambil bertepuk tangan. Papa dan Om Am Em Um beneran nggak pulang. Besoknya ketemu di klub dangdut kota sebelah.
Tring tung pak tung tring ndut nduten.
Dering telepon unik yang menandakan panggilan masuk dari Aa Andre, sontak membuatku terkenyut. (Ini bukan typo). Tertawa mengikik sambil terbang memakai baling-baling pohon pisang.
"Ya, A'," sapaku dengan suara yang hangat suam-suam kuku.
"Halo, Sayang. Lagi pain?" sahutnya sembari bertanya balik.
"Lagi duduk merenung menunggu Aa pulang ke sisiku."
Tawa menggelegar terdengar dari seberang telepon. Sementara Mpus Zacky dan Mama juga tertawa terbahak-bahak di belakangku.
"Bisa-an puitis juga. Coba tebak. Aa' sekarang lagi ngobrol sama siapa?"
"Ehm ... Lady Diana?" tebakku.
"Issh. Udah almarhumah itu."
"Harry Potter?" tebakku lagi.
"Lagi ujian nasional dia."
"Mister Bean?"
"Nggak mungkin atuhlah, Geulis."
"Terus sama siapa atuh, Aa'? Nyerah deh aku."
Tak lama kemudian masuklah sebuah pesan gambar dari aplikasi hijauku. Sebuah foto yang memperlihatkan Aa' sedang tersenyum lebar bersama seekor kuda berwarna putih. Dengan caption penyerta foto,"Ini kudanya Ratu Elizabeth."