12
Tiga hari kemudian.
Gemericik air dari kolam ikan dan air terjun mini di halaman rumah Aa' Andre, membuat suasana petang hari yang mendung kelabu gradasi hijau, merah dan biru, bertambah syahdu dan mendayu.
Jantungku berdetak sepuluh kuadrat lebih cepat saat pria tampan itu melakukan gerakan kayang.
Aku takut dia keseleo!
"Neng. Aduh! Tolong, Neng. Teu bisa balik deui yeuh!" teriaknya.
(Nggak bisa balik lagi yeuh!)
"Siapa suruh kayang? Tadi kan aku nyuruhnya hands stand!" jeritku sambil menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
"Pak Tarno! Tolongggg!" teriakku panik. Bukan karena takut Aa' Andre jatuh, tapi aku takut ketiban!
Pak Tarno bergegas lari ke arah kami. Namun, di tengah jalan kakinya tersandung barbel yang kulempar sembarangan tadi.
Brrruuuukkkk!
Brrrraaakkkk!
Tin, tin, tin, tin, tin, tin.
Cckkkiiittttt.
Buuummm!
Tubuh Pak Tarno menggelinding keluar halaman. Nyaris tertabrak mobil yang melintas.
Pemilik mobil sedan mungil itu bermanuver layaknya pembalap mobil profesional. Berhenti dengan jarak lima puluh centimeter koma lima dari pagar rumahku.
Sementara tubuh Pak Tarno terus menggelinding hingga tercebur ke selokan depan rumahku, yang baru saja dituangi pup-nya kucing-kucing milik Mak Orien dan Mak Ayu.
"Paman! Aduhhh! Kok malah mandi di got sih?" omel Isah yang baru keluar dari rumah Aa' Andre dengan menggandeng seorang pria berambut kriwil cepak.
"Sah! Bantuin dulu!" teriakku.
Isah dan pria kriwil cepak itu segera membantu mengangkat tubuh Aa' Andre yang bahenol.
Tak lama kemudian Pak
Tarno datang sambil menjinjing sepatunya yang berlumpur.
Sontak saja kami berempat menutup hidung untuk mencegah menghirup gas beracun yang menguar dari tubuhnya.
"Paman, tunggu di sini!" perintah Isah yang segera berlari mengambil selang air. Cowok kriwil cepak juga bergerak gesit memutar keran air, sehingga air bisa mengalir deras.
Isah dengan semangat menyirami Pak Tarno yang malah berjoget khas India sambil bernyanyi. Tak lupa melakukan adegan memeluk pohon dan tiang listrik.
***
"Maaf, ya, Mbak. Jadi benjol gitu," ujar Aa' Andre pada pengendara mobil sedan mungil tadi.
Kami sedang duduk bersila dengan posisi melingkar di atas karpet yang dihamparkan di atas rumput. Di tengah-tengah lingkaran ada dua buah mangkuk yang berisi kemenyan.
"Nggak apa-apa, Mas. Namanya juga kecelakaan," sahut perempuan itu dengan nada merdu.
"Masih bisa nyetir? Kalo nggak ntar saya antar," lanjut pria tersayangku.
"Agak pusing sih. Nggak tau nih, masih bisa lanjut nyetir atau gak," jawabnya dramatis.
"Ya udah. Nanti saya antar, ya. Sebentar!" Aa' Andre berdiri dan beranjak masuk ke dalam rumah.
"Nama Mbak, siapa?" tanyaku basa basi pura-pura simpati.
"Sherina Kamilia Resnawati Nasiliwetikanteri," jawabnya dengan senyuman miring tiga puluh tiga koma tiga derajat fahrenheit.
"Ooo. Tinggalnya di mana?" lanjutku lagi belagak peduli.
"Di daerah Cibiru," sahutnya sembari mengibaskan benjol dari arah kiri dahi ke arah samping kanan.
"Ke sini mau ngapain?" sambungku.
"Nyari rumah Zacky Tyranosaurus Megantrophus Erectus. Mbak kenal gak?"
"Kenal. Itu rumahnya. Paling ujung sebelah kanan. Nyempil di belakang mini market. Dari sini nanti belok kiri. Lurus. Sampai pengkolan yang ada warung Mak Ayu, belok kiri."
"Lurus lagi. Sampai ketemu portal yang ada tulisan warung sayur Mak Anivia, belok kiri. Lurus aja terus. Sampai pertigaan yang ada plang toko cemilan punya Mak Satyawati, belok kiri. Lurus lagi. Jangan belok-belok. Jarak tiga puluh meter pasti ketemu rumah Mpus Zacky," jelasku dengan semangat.
"Aska, kamu ngasih informasi arah atau minta dijitak sih?" tanya Aa' Andre dari arah belakangku.
Sebelum aku sempat menjawab, tangannya sudah merangkul pinggangku, marapatkan tubuh kami hingga tidak lagi berjarak, sambil mencium pipi kananku dengan gemas.
Kepalaku mendadak pusing. Tubuhku terasa melayang di atas rumput.
Perlahan dia memutar balikkan tubuhku hingga wajah kami saling berhadapan. Tersenyum manis banget sambil menatapku dengan sorot mata penuh cinta.
Aku ... meleleh!
***
Beberapa hari selanjutnya aku dan Aa' Andre menjadi jarang bertemu. Bukan karena nggak mau. Namun, karena dia lagi sibuk reformasi ehh renovasi rumah besar milik orang tuanya itu.
Pengennya dia sih, setelah kami menikah (cieeeee), dia mau tinggal di rumah yang lebih luas. Biar agak jauhan dari mertua gitu. Pengen mandiri ceritanya.
Aku sih setuju aja. Toh di mana pun aku tinggal, asal tetap ada warung nasi pasti aman. Paham kan, ya, maksudku?
Aa' Andre juga pengen mengadakan acara resepsi di situ. Hemat biaya sewa gedung katanya. Aku sih setuju-setuju aja. Kan semuanya sudah diurus sama wedding organizer yang disewanya. Aku tinggal duduk manis di pelaminan nanti. Menikmati menjadi ratu sehari. Uhuyyyyyyy.
"Sayang, udah makan?" tanyanya melalui video call malam itu.
"Udah, A'," jawabku seraya menambahkan gula di bibir agar senyumanku tampak lebih manis.
"Yang ke berapa?"
"Ketiga kali. Psssttt!" bisikku sambil meletakkan jari kelingking ke bibir.
Aa' Andre tertawa mengalun merdu. Diiringi suara rebana dan kecrekan yang dibunyikan oleh Isah, pak Tarno dan pria kriwil cepak.
"Besok kita kencan, yuk?" ajaknya.
"Ke mana?" tanyaku sambil memasang wajah sedatar wajan teflon. Padahal dalam hati aku pengen koprol.
"Pokoknya siap-siap aja. Pakaian casual karena tempatnya juga cozy. Aa' jemput setelah Magrib, ya," pamitnya sambil memberikan ciuman jarak jauh dan melambaikan tangan.
Kubalas dengan lambaian tangan pula hingga sosoknya menghilang dari layar ponsel. Aku tersenyum lebar dengan perasaan bahagia yang tak terkira.
Kemudian aku berdiri dan menari dengan gerakan balet hingga menabrak pintu kamar yang dibuka Mama secara tiba-tiba.
"Ai, Mama. Benjut yeh!" omelku sambil mengusap dahi.
"Yeee, kamu juga ngapain gelesotan di belakang pintu?" Mama balas mengomel dengan bibir yang mencebik.
"Bukan gelesotan, tapi lagi nyamar jadi cicak," kilahku.
Mama menarik tangan dan mengajakku duduk di atas kasur. Di tangannya ada kotak segi empat yang permukaannya dilapisi beludru berwarna biru.
"Ini sekarang jadi tanggung jawab kamu. Perhiasan turun temurun di keluarga mama. Diberikan kepada anak perempuan yang akan menikah," ucapnya dengan mata yang berembun.
Mama meletakkan kotak itu ke tanganku. Aku membukanya dengan hati yang berdentum.
Mataku menyipit saat melihat isi kotak itu hanya ada seikat gelang dari batu imitasi berwarna-warni.
"Ini kan, yang kita beli di pasar kemarin," ujarku.
Mama tersenyum bahagia. Puas sudah mengerjaiku.
***
Dug! Dug! Dug!
"Aska, bangun! Ada tamu tuh!" teriak Papa dari atas talang air.
Aku mengucek mata sambil duduk. Merentangkan tangan sembari menguap. Tertegun saat melihat pemandangan di hadapan.
Sejak kapan jendela kamarku tembus pandang begini?
Ehh ... tunggu! Ini bukan tembus pandang. Melainkan jendelanya menghilang.
Bergegas aku bangun dan beringsut ke pinggir kasur. Meraih mantel dari atas kursi dan segera memakainya.
Berdiri tegak di depan jendela. Menantang angin yang menderu kencang. Menghirup udara segar secara gratis dan menyimpannya di rongga paru - paru.
Otakku mulai bekerja maksimal. Mencoba berpikir dengan serius.
Siapakah yang mengambil jendela? Lalu, buat apa mengambil jendela kamar?
Apa mau dijual atau disewakan?
Kalau benar begitu, berarti aku harus secepatnya membuat nota perjanjian pembagian royalti!