13
"Hai!" sapa seseorang dari jendela kamar yang hilang.
Ralat. Dari lubang jendela kamar yang hilang.
"Hmm!" jawabku dengan sedikit menggeram. (Jangan dipraktekkan)
"Udah bangun?"
"Hmm!" Suara geramanku naik dua belas desibel.
"Jangan marah atuh, Geulis! Ntar geulisnya hilang kalo cemberut gitu," rayunya sembari jalan mendekat.
"Stop!" jeritku sambil membetulkan letak mantel yang masih belum ditutup. Mengikat talinya yang panjang menjuntai, dikepang tiga dan dikasih pita.
Dia berhenti mendadak dengan posisi kaki kanan terangkat separuh dan kaki kiri berjinjit. Matanya menatapku dengan pandangan ... panik!
Brrruuukkkk!
Tubuh bahenolnya terjerembap masuk ke dalam galian terowongan rahasia di bawah lantai kamar.
"Rasain! Kena jebakan batman dia," ujarku sambil tertawa simpul berbentuk balon. (Jangan ditiru)
Pria tampan itu keluar dari terowongan dengan tubuh penuh debu dan sarang laba-laba. Tangannya mengusap kepala yang dihinggapi kelelawar. Mereka melambung jauh terbang tinggi, dan tak mau pergi. Terjebak dalam lautan ilusi.
"Jendelaku diapain? Dijual? Mana uang bagi hasilnya?" tanyaku sambil menadahkan tangan.
"Bukan dijual. Tapi mau diganti sama yang baru," jelasnya sambil menepuk-nepuk saku celana yang penuh ulat bulu.
"Ngapain diganti?"
"Biar bisa video call lewat layar besar yang dipasang di jendela."
"Ntar ada yang ngintip aku dari luar dong!"
"Nggaklah. Layarnya berbeda bagian dalam dan luarnya. Bagian yang menghadap keluar itu menjadi layar televisi besar yang akan menayangkan film-film jadul. Ntar tinggal tarik sewa bioskop misbar," jelasnya sembari duduk di pinggir kasur.
Aku manggut-manggut walaupun sebetulnya nggak paham.
"Mandi dulu, ya," ujarku sambil beringsut ke pinggir kiri tempat tidur. Berdiri dan mengayunkan langkah kaki, menuju kamar mandi yang terletak di pojok kiri kamar.
"Ehhh ... Neng!" panggilnya.
Aku menoleh.
"Seksi!" serunya sambil mengacungkan jempol ke arahku.
Aku berbalik lagi dan langsung menembus pintu dengan wajah merona merah kekuningan.
***
Perjalanan kali ini benar-benar terasa membosankan. Semuanya gelap. Hitam pekat. Membuatku penat dan ingin makan donat.
"Udah nyampe belum?" tanyaku dengan gusar.
"Bentar lagi," sahut sang supir.
"Penutup matanya bikin aku puyeng nih."
Dia tidak menjawab. Yang terdengar hanya dengkusan kecil. Curiga saat ini dia sedang menertawakanku.
Selanjutnya mobil pun terasa memasuki tempat yang sangat sepi. Suara knalpot kendaraan lain tidak terdengar sama sekali.
Aku hanya bisa mendengar suara air mengalir. Selain itu ada bunyi alat musik yang digesek. Kalau nggak salah sih itu namanya gendang.
"Oke, Sayang. Kita udah sampai," ujar pria gantengku dengan suara bass sopran.
Tangannya menuntun lenganku yang mulus karena rajin memakai balsem. Aku melangkahkan kaki dengan hati-hati. Takut kena jebakan ranjau.
"Silakan duduk, Cinta," bisiknya lembut di telinga kiriku.
Aku mengatur duduk serapi mungkin. Terasa ada sentuhan lembut di betis kanan. Kemudian berpindah ke betis kiri.
Tubuhku mulai menegang, semakin kaku saat Aa' Andre membuka ikatan mataku yang panjangnya sepuluh meter bukaan dua koma lima. Selanjutnya dia melipat kain itu dengan rapi hingga berbentuk guling kecil, sekilas mirip pocong berwarna hitam.
Aku langsung mengarahkan pandangan ke arah betis yang aduhai. Beradu pandang dengan sepasang mata bersinar di betis kanan, dan sepasang mata berkilat di betis kiri.
Setelah mengerjapkan mata beberapa kali, akhirnya aku paham. Dua pasang mata itu adalah milik dua ekor kucing.
Mereka kini duduk dengan santai di pinggir kolam ikan kecil di sebelah kiri kolam renang. Sedangkan kolam renang ada di sebelah kanan kolam ikan kecil.
Paham tak?
Bingung?
Aku juga sama.
"Itu, kucing siapa, A'?" tanyaku lembut.
"Kucing aa'. Nggak tahu datang dari mana. Tahu-tahu udah menclok di jendela. Karena kasihan, ya udah, aa' bawa masuk" jawabnya merdu.
"Kayaknya udah pada tua, ya? Apalagi yang belang bentong absurd itu. Tampangnya nyebelin lagi."
Si belang absurd hitam totol putih atau putih totol hitam itu tiba-tiba menoleh. Mungkin dia tahu lagi dibicarakan.
"Kalo hasil pemeriksaan bidan, yang belang hitam itu berusia sekitar delapan tahun manusia. Kalo
Hitungan hewan lebih tua lagi dia itu," jelasnya.
"Kalo yang totol-totol kayak sapi itu sekitar empat tahunan," lanjutnya.
"Nama mereka siapa?"
"Toga Chan dan Chammak Guards."
***
Suasana makan malam romantis yang diiringi suling bambu, membuatku merasa bahagia.
Setelah selesai makan Aa' Andre mengajakku berkeliling rumah yang besarnya mungkin sama dengan lapangan sepak bola.
Separuh bagian depan masih berfungsi sebagai kantor. Separuhmya lagi menjadi ruang tamu, ruang makan, dapur dan ruang kerja miliknya. Di bagian ujung kanan halaman belakang ada gym kecil sekaligus perpustakaan. Berdempetan dengan musala yang apik.
Di sebelah ruang kerja ada anak tangga melingkar di atas pagar.
Aa'Andre mengajakku naik. Sesampainya di lantai dua, aku sontak terperangah.
Di depan mataku tampak kedua orang tua, emak-emak genk sosialita serta para suami, sedang asik berkaraoke di ruangan kaca khusus kedap suara.
Mereka melambaikan tangan ke arahku dengan semangat, setelah itu mereka melanjutkan lagi berkaraoke sambil berjoget.
"Mereka kapan datangnya?" tanyaku sambil mengikuti langkah kaki Aa' kesayangan.
"Sebelum kamu datang. Kan mereka yang nyiapin masakan dan dekorasi. Isah tinggal nyajiin doang," jawabnya seraya memamerkan lesung pipi yang dalam.
"Kok aku nggak ngeh, ya?" gumamku sembari mengetuk-ngetukkan jari telunjuk ke dahi.
"Tadi kan aa' bawa kamu jalan muter-muter komplek dulu. Udah satu jam muter baru aa' bawa ke sini," jelasnya.
Aku mengangguk mengiyakan. Padahal nggak paham sama sekali.
Tahu kan, ya, ingatanku lemah soal obrolan.
Aa' Andre menarik tanganku masuk ke sebuah ruangan besar. Dindingnya dicat warna biru, warna kesukaanku.
Tempat tidur ukuran extra large ada di tengah-tengah ruangan. Di belakangnya ada empat jendela besar yang terbuka lebar. Di sebelah kiri tempat tidur ada sofa berwarna biru yang sepertinya sangat empuk. Layar televisi besar terpampang nyata di dinding. Di sebelah kanan ada ruangan yang lebih kecil.
Pria six bag itu membuka pintu geser ruangan. Berderet lemari di kedua sisinya. Pakaian pria tampak tersusun rapi di sisi kiri. Sedangkan di sisi kanan masih kosong. Hanya ada beberapa handuk dan ... set pakaian perlengkapan khusus wanita.
Seketika aku menoleh, Aa' Andre malah cengengesan.
Aku meneruskan langkah kaki menuju ruangan paling ujung yang ternyata adalah kamar mandi besar beserta jacuzzi.
"Aaarrrggghhh!" teriakku saat pria tampan itu tiba-tiba memeluk pinggang dari belakang. Hangat napasnya terasa memburu di leherku.
"Suka gak?" tanyanya pelan.
"Apanya?" jawabku dengan balik bertanya.
"Kamar mandinya lah. Sama kamarnya juga," sahutnya sambil mengeratkan pelukan dan menyandarkan dagu di atas bahu kananku.
"Suka."
"Ada yang mau diubah atau ditambah?"
"Belum tahu. Aku lagi nggak bisa berpikir."
"Hmm ... kenapa nggak bisa?"
Aku tidak menjawab karena sedang sibuk mengatur napasku yang terengah-engah. Lututku mulai goyah.
Karena keberatan badannya!