10
Dua minggu penuh kami berpisah. Raga yang terpasung rindu terasa menggelora, membuncah dengan kecepatan maksimal, saat mobil kekasih hati terlihat berhenti di parkiran tiga lantai di rumah Aa' Andre.
Sekian purnama aku menunggu, namun tak jua dia datang menghampiri.
Jantungku seolah sedang kayang, saat seorang perempuan bertubuh kecil berjalan menuju rumahku.
Gaun panjangnya yang berwarna merah kebiruan tampak berkibar di angkasa. Derap langkah sepatu hak tingginya seakan menggema di seantero komplek.
"Assalamualaikum. Ibu-ibu, bapak-bapak tolong aku, aku yang tengah malu, pada teman-temanku, karena hanya diriku yang tak laku-laku," ujarnya dengan nada B mesopotamia.
"Waalaikumsalam, yaa ahlil kubur," jawab Mama dari ruang tengah.
"Punten, Ibu. Perkenalkeun. Abdi teh namina Isah. Ayeuna kerja di rumah Akang Andre," ujar perempuan muda itu dengan suara mendesah.
(Permisi, Ibu. Perkenalkan. Saya teh namanya Isah. Sekarang kerja di rumah Akang Andre)
"Ooo ... ini toh yang namanya Isah? Ponakannya pak Tarno, kan?" Mama menjawab perkenalannya dengan bertanya balik kepada perempuan itu.
"Benar. Seratus buat Ibu. Hadiah bisa ditukar di warung Mak Ayu," jawab Isah.
"Ayo, masuk sini, Sah. Kita ngopi-ngopi sambil ngemil," ajak Mama.
Isah mengikuti langkah Mama memasuki ruang tamu, terus ke ruang tengah, lanjut ke ruang makan, berbelok ke dapur, langsung nyuci, nyetrika, dan masak.
Mama menghela napas lega. Akhirnya dia punya asisten pengganti Bi Sum yang sedang liburan ke Nusakambangan.
Kemaren itu Aa Andre bilang, Isah bakal bantu-bantu juga ngurus rumah sekaligus teman main buatku, yang masih dirundung sendu menahan rindu.
Tepat pukul 8 malam, Aa' Andre berjalan dengan gagah menuju pintu rumahku yang terbuka lebar.
Seulas senyuman terukir di wajahnya yang sedikit berewokan.
Melihatku berdiri mematung di depan pintu kamar, dia membuka kedua tangannya lebar-lebar, mungkin berharap aku akan langsung menghambur ke dalam pelukannya.
Cih! Tidak segampang itu Jose Fernando!
Aku berjalan dengan gerakan slow motion. Sesekali menempel di dinding, sambil meliukkan tubuh dan bernyanyi lagu berjudul cicak-cicak di dinding.
***
"Maaf, Sayang. Tadi Aa' masih jet lag. Jadi tidur dulu buat ngilangin pusing," jelasnya saat kami berdua duduk di ayunan.
"Kudunya ngasih tau dulu lewat teletubbies, jadi aku nggak mikir gimana-gimana," sahutku sambil mendusel ke rantai ayunan.
"Telepon kali." ucapnya.
"Telepati."
"Telegram."
"Teleskop."
"Televisi."
"Telopong."
"Yeee. Mana ada telopong. Yang ada itu telekung. Buat mahar pernikahan," ujarnya lembut.
Aku tersenyum empat puluh satu koma tiga derajat. Kemudian menunduk malu tapi mau.
Hanya bisa pasrah saat dia meraih pundakku dan memeluk erat sembari berbisik,"I love you!"
Uhuyyyyyyy.
***
Beberapa hari kemudian.
"Udah siap?"
"Siap!"
"Beneran?"
"Udah semua, Aa'," jawabku sedikit kesal.
"Coba sebutin," pinta Aa' Andre Darmawan yang tampan dan menawan.
"Rantang susun. Toples isi rengginang, opak, emping manis pedas, kacang mede, termos air, termos nasi, tikar, rebana dan kecrekan juga udah siap," sahutku dari kursi tengah mobil.
"Tenda sama payungnya?" tanyanya lagi.
"Udah, Juragan!" sahut kami berbarengan dari dalam mobil.
"Oke deh. Ayok, kita come on, Pak Tarno," ujar Aa' Andre dari atas mobil.
Karena mobilnya udah penuh sama emak-emak sosialita, jadilah Aa' Andre menumpang di atas.
"Andre, turun! Nanaonan di situ?" tanya Papa dari mobil miliknya.
(Nanaonan = apa-apaan)
"Lagi ngecek, Pa. Kali aja atapnya bocor," jawab Aa' Andre sembari turun.
Kemudian dia melangkah mendekati mobil milik Papa, membuka pintu tengah dan langsung melompat masuk hingga menabrak Mpus Zacky yang sedang rebahan.
"Udah lengkap kan, ya? Ada yang ketinggalan gak?" tanya Papa ke Om Am Em Um yang duduk di sebelahnya.
Dug! Dug! Dug!
"Papa! Askana! Andre! Zacky! Kok mama ditinggal?" teriak Mama dari dalam rumah yang sudah dikunci.
Papa bergegas keluar dan membuka pintu rumah. Kemudian berlari masuk lagi ke mobil dan langsung tancap gas dari situ.
Sieun! (Takut)
Mama keluar dari pintu depan dengan menggerutu. Wajahnya memerah keunguan. Wanita yang cantik itu membuka pintu mobil bagian tengah dan langsung masuk. Duduk di sebelah kiriku, yang membuat diriku yang imut ini tergencet di tengah. Antara Mama dan Mak Satyawati.
"Papa kamu tuh, ya. Bener-bener dah. Istri sendiri bisa dilupakan. Tega pisan!" sungutnya dengan bibir yang mencebik.
"Mungkin kang Hamid mikirnya eceu udah naik mobil yang ini," ujar Mak Anivia sembari mengusap punggung Mama dari belakang.
Sejenak hening. Kemudian aku menepuk pundak Pak Tarno,"Ayo, Pak. Kita jalan. Ntar ketinggalan pesawat."
Pak Tarno menekan tombol untuk menyalakan mesin mobil. Mulutnya komat kamit membaca doa. Kemudian mulai menjalankan mobil dengan pelan dan hati-hati.
Lalu lintas di jalan raya kota Bandung di akhir pekan seperti ini benar-benar padat. Mobil yang kami tumpangi berjalan sangat lambat, nyaris didahului kura-kura.
Sesampainya di tempat wisata Ciater, Subang, para penumpang kedua mobil segera berhamburan keluar. Bukan karena sudah sampai di tujuan, tapi karena dahsyatnya bom kentut Aa' Andre. Dia sengaja kentut di antara dua mobil yang baru saja parkir di depan bungalow yang telah kami pesan jauh-jauh hari.
Bungalownya cukup besar dengan dua kamar yang bersih dan nyaman. Di tengah-tengah bungalow ada kolam renang kecil. Para pria menempati bungalow sebelah kiri kolam. Para wanita menempati bungalow sebelah kanan kolam.
Aku membawa tas ke dalam kamar yang agak kecil. Diikuti Isah yang langsung merebahkan diri di atas kasur sebelah kiri.
Di kamar yang lebih besar Pak Tarno meletakkan beberapa tas milik emak- emak. Sementara para wanita itu tertinggal di ruang tengah. Mereka sedang sibuk mengeluarkan makanan bawaan masing-masing dan mengumpulkannya di atas karpet yang digelar di tengah ruangan.
Setelah menunaikan salat Zuhur, para pria pun datang memasuki bungalow kami sambil mengesot mengepel lantai.
Para Emak berdiri di depan hidangan masing-masing. Aku bertugas memberikan piring ke barisan antrian. Mama bertugas menuangkan nasi liwet.
Mak Orien bertugas menuangkan tumis kucai. Mak Ayu bertugas menuangkan semur jengkol. Mak Anivia bertugas menuangkan teri kacang balado.
Mak Satyawati bertugas menuangkan ikan goreng.
Tante Rita bertugas menuangkan tahu dan tempe goreng.
Tante Utami bertugas menuangkan sambal setan bikinan author.
Isah bertugas menuangkan kerupuk dan rempeyek.
Paling ujung ada Tante Fitrianty yang membagikan nota untuk dibayar di kasir.
Sengaja dituangkan dan dibagi rata, supaya persediaan makanan cukup sampai tahun depan.
***
Sepanjang siang sampai sore kami semua sangat sibuk ... rebahan.
Menjelang Magrib para pria datang lagi untuk menunaikan salat Magrib berjamaah, dilanjutkan dengan acara makan malam dengan hidangan fenomenal. Mie instan tabur irisan blue sapphire.
Setelahnya acara bebas. Mama dan genk-nya memilih berendam di kolam air panas. Papa, Om Am Em Um, Mpus Zacky dan Pak Tarno memilih bermain kartu remi, cangkul forever.
"Cint," panggil Aa' Andre.
Aku celingukan mencari si Cint itu.
"Cinta aa'," panggilnya tepat di depan wajahku.
"I-iy-a," jawabku terbata.
Didekati begitu rupa membuat aku sulit konsentrasi. d**a berdegup kencang. Tenggorokan kering seperti habis teriak-teriak di roller coaster.
"Itu siapa?" tunjuknya pada seseorang yang berjalan mendekat.
Belum sempat aku menjawab, orang yang ditunjuk itu telah sampai duluan sambil menenteng gitar dan memakai ransel di punggung.