“Selamat siang …,” ucap Renima dengan wajah merona. Wanita itu baru saja kembali dari Jakarta. Ia sudah membawa semua barang-barang pribadi milik Marwa.
“Selamat sore, bukan siang,” balas Marwa.
“Ini masih siang, Sayang … Belum juga jam tiga, jadi hitungannya masih siang ya.”
“Terserah kamu aja deh. Gimana? Kamu sudah dapat barang-barangnya?”
Renima membuka kantong berwarna putih s**u itu lalu mengeluarkan tas milik Marwa dari dalamnya. Ia pun memberika tas itu pada Marwa.
“Ini semua pesanan nyonya ada di dalam,” canda Renima.
Marwa menerima tasnya. Ia peluk tasnya sesaat lalu ia letakkan di atas ranjang.
“Apa kamu dapat kesulitan tadi di sana?”
Renima menggeleng, “Semuanya aman dan lancar. Tapi tadi aku melihat mertua kamu tadi di sana.”
“Siapa? Mamanya Aldo?” Marwa mengernyit.
“Iya … Aku lihat dia sedang ngobrol sama dokter yang merawat kamu di sana. Aku curiga, jangan-jangan mereka bekerja sama untuk memalsukan status penyakit kamu. Kamu ingat’kan apa yang dikatakan dokter di sana? Katanya kanker yang kamu idap itu sudah masuk stadium akhir dan mustahil untuk bisa disembuhkan. Tapi kenyataannya apa? Dokter Farhan malah bilang kalau kanker itu belum masuk stadium akhir, masih besar harapan untuk sembuh.”
“Tadi dokter Amel juga ke sini.”
“Dokter Amel? Siapa itu? Selama kamu di sini, tidak pernah datang yang namanya dokter Amel.”
“Beliau adalah salah satu spesialis bedah di sini. Beliau rekan kerja dokter Farhan.”
“Oh begitu … Lalu apa hubungannya sama kamu?”
“Sepertinya ia suka dengan dokter Farhan.”
“Suka sama dokter Farhan? Lalu kenapa ia datang ke sini? Dia yang suka sama dokter Farhan, kenapa dia malah menemui kamu di sini?”
Marwa tersenyum, “Dia meminta agar aku mau melanjutkan pengobatanku di sini agar dokter Farhan tidak jadi ke korea.”
“Lo, bukannya dokter Farhan ke korea untuk melakukan studi singkat? Lalu apa hubungannya sama kamu? Atau jangan-jangan ….” Renima menghentikan ucapannya.
“Jangan-jangan apa?”
“Jangan-jangan dokter wanita itu cemburu sama kamu? Jangan-jangan ia mengira kalau dokter Farhan suka sama kamu. Hahaha … Eh, tapi bisa jadi sih. Kadang plot twistnya memang begitu. Dari menolong akhirnya malah jatuh cinta.”
Marwa melempar bantal ke wajah Renima. Sayangnya, Renima dengan cepat mengambil bantal itu dan memeluknya dengan erat.
“Nggak apa-apa dong, Wa … Dokter lo ini. Ganteng lagi. Gantengnya pooolll, kebangetan. Kalau kamu nggak mau, biar buat aku saja.”
“Ambil sana … Aku nggak tertarik sama dokter. Baik dokter Farhan atau dokter siapa pun. Bahkan aku udah nggak percaya lagi sama lelaki. Hanya satu lelaki yang aku percaya di dunia ini, yaitu ayah. Ya, hanya ayah saja, satu-satunya.” Pandangan mata Marwa menerawang seraya menatap pemandangan luar gedung rumah sakit lewat kaca jendela.
Renima menghela napas, Ia berjalan mendekat, “Wa, kamu pasti kangen banget sama om Purwanto ya?”
“Aku nggak bisa mengungkapkan betapa rindunya aku sama ayah. Kalau saja bukan sebuah dosa besar, aku pasti sudah menyusul ayah ke sana. Tapi sayangnya aku tahu kalau bunuh diri itu adalah sebuah dosa. Tidak ada agama manapun yang membenarkan perbuatan itu. Jadi aku hanya bisa bersabar, berharap suatu saat nanti bisa segera menyusul ayah. Aku pikir setelah aku terjun ke jurang, aku akan tenang dan bisa berkumpul lagi dengan ayah dan ibu. Tapi nyatanya aku masih selamat.” Marwa tersenyum miring.
“Kamu ini bicara apa, Wa. Justru aku yakin om Pur itu maunya kamu tetap sehat dan mampu menaklukkan dunia ini dengan cara kamu. Kamu harus ingat kalau om Pur itu juga dibunuh sama Aldo dan keluarganya. Kamu harus balaskan dendam om Pur.”
Marwa terdiam. Ia bangkit dari ranjang dan berjalan menuju jendela kamar rawat inap. Ia tatap langit kota Bogor yang mendung hampir gerimis. Langit yang sendu, seperti hatinya saat ini.
Renima berjalan mendekat, “Wa, jangan terlalu larut dalam kesedihan.”
“Aku nggak sedih kok. Aku hanya rindu.”
“Iya, aku tahu ….”
Marwa tersenyum kecil. Ia usap dengan lembut tangan Renima yang menempel di bahu kanannya, lalu kembali ia labuhkan pandangan ke arah langit kota Bogor yang sedang mendung dan sendu.
***
Malam kian larut. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Seperti biasa, Marwa masih belum bisa memejamkan matanya. Begitu juga dengan Renima, kali ini wanita itu juga tidak mampu memejamkan matanya sebab ada pekerjaan yang harus ia selesaikan. Masa cutinya sudah habis, besok ia harus kembali bekerja.
Tiba-tiba saja, ada yang mengetuk pintu kamar. Ia adalah Farhan. Seperti biasa, setiap malam pria itu akan datang, membayakan makanan atau sekedar camilan untuk Marwa dan Renima.
“Belum pada tidur’kan?” ucap Farhan seraya masuk ke dalam ruangan itu.
“Dokter Farhan … Silahkan masuk, Dokter,” ucap Marwa. Renima sendiri hanya memberikan anggukan kecil sebab ia fokus pada layar laptopnya.
“Tadi di depan ada tukang ketoprak lewat, jadi aku belikan untuk kalian berdua.” Farhan meletakkan sebuah kantong plastik berisi tiga bungkus ketoprak di atas meja makan.
“Terima kasih, Dokter. Tapi sepertinya ini sudah cukup karena kami terlalu banyak merepotkan dokter,” ucap Marwa. Ia pun turun dari ranjangnya dan duduk di salah satu kursi makan.
Renima menutup layar laptopnya. Ia tidak bisa fokus disaat ada Farhan di sana.
“Jadi bagaimana? Kamu pasti ikut denganku ke Korea?” tanya Farhan.
“Memangnya kapan dokter ke sana?” tanya Marwa, sementara Renima hanya menyimak pembicaraan itu.
“Sekitar dua atau tiga minggu lagi. Tapi lebih cepat lebih baik. Kebetulan aku sudah dapat surat balasan dari pihak sana. Aku perlu membereskan yang di sini dulu sebelum benar-benar meninggalkan rumah sakit ini. Apa lagi ada rencana operasi besar yang akan aku jalalani sekitar seminggu atau dua minggu lagi. Aku perlu mencarikan dokter pengganti yang berkompeten untuk melakukan operasi itu.”
“Tadi dokter Amel ke sini,” ucap Marwa.
“Oiya, kapan? Mau apa dokter Amel menemui kamu? Bukankah dokter Amel tidak ada hubungannya dengan perawatan kamu?”
“Dokter, sepertinya dokter Amel cemburu.”
Farhan mengernyit, “Cemburu? Cemburu karena apa?”
“Dokter Amel mengira kalau kepergian anda ke Korea itu karena aku.”
Farhan terkekeh ringan, “Lucu sekali dokter Amel. Bahkan ia sudah tahu kalau aku sudah sangat lama ingin melanjutkan studi di Korea. Hanya saja belum ketemu waktu yang pas. Kebetulan aku ketemu sama kamu dan kamu punya kasus yang mungkin bisa diselesaikan di sana. Jadi kebetulan sekali, aku pun ingi merealisasikan keinginan yang tertunda lama itu. Jadi semuanya kebetulan saja.”
Marwa tersenyum kecil, “Dokter … Maaf kalau aku lancang. Tapi sepertinya dokter Amel itu suka pada anda.”
Farhan yang sebelumnya tengah menenggak air mineral, tiba-tiba saja tersedak. Ia terbatuk, lalu segera meraih tisu dan menyeka mulutnya dengan tisu.
“Maaf kalau aku salah,” lirih Marwa lagi, sementara Renima hanya diam saja. Ia menjadi pendengar yang baik antara Marwa dan Farhan.
“Tidak apa-apa, Marwa. Kamu tidak salah kok. Sudahlah, jangan bahas masalah itu lagi. Aku dan dokter Amel tidak ada hubungan apa-apa. Jadi bagaimana? Kapan kamu mengurus dokumen untuk berangkat ke korea? Jangan lupa sekalian urus asuransi dan tabungan kamu. Kamu nggak lupa sama hutang kamu’kan?” Farhan nyengir kuda.
“Apa aku sudah bisa pulang? Besok Renima harus masuk kantor. Aku tidak mungkin sendirian di sini.”
“Jadi Renima sudah mulai ngantor? Lalu siapa yang akan menemani kamu mengurus dokumen keberangkatan?”
“Aku bisa sendiri kok, Dokter.”
Farhan menatap Marwa dengan tatapan tajam, “Kamu yakin?”
“Iya … Tolong buatkan surat kepulangan agar besok aku bisa pulang ke Jakarta.”
“Kamu akan pulang kemana? Bukankah kamu tidak ingin suami kamu tahu kalau kamu masih hidup?”
“Aku akan pulang ke rumah Renima.”
“Kamu yakin? Mau aku temani?”
Marwa menggeleng, “Tidak usah, Dokter. Aku sudah terlalu banyak merepotkan dokter. Aku bisa sendiri kok. Dokter bisa lihat sendiri’kan kalau aku baik-baik saja. Aku juga sudah bosan lama-lama di rumah sakit ini.”
“Kalau kamu yakin, baiklah … Aku akan izinkan kamu untuk pulang. Tapi ingat, segera urus dokumen kamu. Sekitar satu atau dua minggu lagi, kita akan terbang ke Korea. Renima, kamu sendiri bagaimana? Apa ikut denga Marwa ke Korea?” Kali ini Farhan menoleh ke arah Renima yang sedari tadi diam saja.
Renima langsung menggeleng, “Aku ada pekerjaan di sini, Dokter. Aku titip Marwa saja, bisakan?”
“Tentu saja bisa. Tapi kalau kamu mau ikut juga bisa.”
“Tidak, Dokter. Aku tidak bisa ikut karena pekerjaannku sangat mendesak. Lagi pula, kalau aku ikut akan memakan biaya yang lebih besar lagi nanti. Kamu nggak apa-apa ke sana sama dokter Farhan saja’kan?” Renima menoleh ke arah Marwa.
“Selama ini aku sudah biasa kok sendiri. Jadi kamu tidak usah khawatir, Ima. Percayalah kalau aku pasti akan baik-baik saja. Mohon bantu dengan doa agar aku bisa segera sembuh dan kembali ke sini dalam keadaan sehat dan lebih baik dari sebelumnya.”
“Aku yakin banget kamu pasti akan sembuh, Wa. Masa depan kamu terlalu berharga untuk sekedar disia-siakan.”
“Terima kasih ….” Marwa tersenyum.
Farhan yang tadinya sibuk mengobrol dengan Marwa, tiba-tiba teringat dengan ketoprak yang sudah ia bawa. Pria itu kemudian mengeluarkan bungkusan ketoprak dari kantong plastik.
“Dari tadi ngobrol terus, kapan makan ketopraknya? Ini di beli buat di makan lo, bukan buat di padangin aja,” seloroh Farhan.
Marwa dan Renima mengangguk seraya tersenyum tipis, “Kirain tadi ketopraknya untuk dipajang saja, Dok,” canda Renima.
“Buat apa ketoprak di pajang saja? Yang ada nanti malah jadi sarang belatung. Sudah ah, ngobrol terus kapan makan ketopraknya?”
Farhan mulai membuka bungkusan ketoprak miliknya. Ia ambil salah satu sendok plastik yang memang sudah disediakan oleh sang penjual di dalam kantong plastik. Ada tiga buah sendok plastik sekali pakai di sana karena ketoprak yang dibeli oleh Farhan juga berjumlah tiga bungkus.
“Mari makan,” ucap Farhan lebih dahulu.
Renima dan Marwa mengangguk. Mereka pun mengikuti Farhan, membuka bungkusan ketoprak milik mereka dan mulai menikmatinya.
“Ini lezat,” lirih Marwa.
“Iya, ketoprak mang Ujang memang terkenal lezat di sini. Sayangnya ia jualan tidak di satu tempat saja, melainkan keliling. Jadi agak susah kalau tiba-tiba ingin makan ketoprak beliau. Kadang aku hubungi dulu dan tanya jam berapa nanti mang Ujang lewat depan rumah sakit kalau mau pesan.”
“Tapi memang enak sih … Pedas manisnya pas. Aku suka,” ucap Marwa.
“Sayangnya besok kamu akan pulang dan kembali ke Jakarta. Artinya tidak akan bisa merasakan nikmatnya ketoprak mang Ujang lagi.”
“Setidaknya kita sudah pernah merasakannya. Iya’kan, Wa?” ucap Renima.
Marwa mengangguk tanpa menjawab. Wanita itu menikmati ketoprak nikmat yang baru saja dibelikan oleh Farhan.