Di Sini Saja

1616 Kata
Renima patut bernapas lega. Pasalnya saat ini di tangannya sudah ada kwitansi pelunasan p********n biaya rumah sakit Marwa. Dengan langkah pasti, ia berjalan menyusuri Lorong rumah sakit menuju meja perawat ruang rawat inap penyakit dalam. Belum sampai di ruang rawat inap poli penyakit dalam, langkah kaki Renima terhenti. Ia melihat keberadaan seseorang dari kejauhan. Renima langsung menghindar dan berusaha menjauh dari sosok yang dimaksud. Bukankah itu adalah orang tuanya Aldo? Buat apa mereka ke rumah sakit? Apa mereka menanyakan kabar Marwa? Tidak, tidak ada seorang pun yang boleh tahu kalau Marwa masih hidup. Aku harus segera membereskan semuanya, batin Renima. Ia segera melangkahkan kakinya menuju tempat yang dituju dan berusaha menghindari sepasang suami istri yang baru saja ia lihat namun ia hindari. “Bagaimana, Mbak?” tanya suster yang sedari tadi menunggu kedatangan Renima. Renima mengangguk, “Saya sudah melunasi semuanya. Ini kwitansi pembayarannya,” Renima menyodorkan struk p********n kepada sang suster. “Baik, saya periksa dulu ya,” ucap sang suster, ramah. Sang suster mulai memeriksa di koputernya. Ia tersenyum, lalu berdiri dan berjalan menuju sebuah lemari. Ia ambil sebuah tas dari dalam lemari itu lalu ia berikan kepada Renima. “Mohon diperiksa dulu isinya, Mbak.” Renima mengangguk. Wanita itu membuka tas milik Marwa dan memeriksa isinya. Dompet Marwa yang berisi kartu-kartu penting masih ada di sana. “Suster, apakah suami Marwa pernah datang ke sini semenjak Marwa menghilang?” tanya Renima. Sang suster menggeleng, “Belum ada siapa pun yang datang ke sini semenjak bu Marwa pergi. Baru mbak saja, yang lainnya tidak ada.” “Suster serius’kan? Sebab tadi saya melihat mertuanya Marwa di jalan. Apa ia tidak ke sini?” “Tidak, ia tidak ke sini.” “Baiklah … Kalau begitu saya permisi dulu. Terima kasih sudah membantu.” “Sama-sama, Mbak.” Renima segera mengenakan kembali maskernya. Ia masukkan tas milik Marwa ke dalam sebuah kantong berwarna putih s**u lalu ia pun melangkah meninggalkan rumah sakit. Di parkiran, lagi-lagi ia bertemu dengan ke dua orang tua Aldo. Renima dengan cepat masuk kembali ke mobilnya dan segera mengemudikan kendaraan roda empat itu menuju kota Bogor. Ia tidak ingin bertemu dengan orang tua Aldo. *** Kota Bogor, ruang pribadi dokter Farhan. Farhan sudah mengenakan jas kebesarannya. Jas berwarna putih yang membuat wajah tampannya semakin memesona dan bercahaya. Dokter yang berusia tiga puluh lima tahun itu sekarang tampak jauh lebih muda dari usianya. Tegas, tampan dan berkharisma. Ketika tengah merapikan jas putih kebesarannya, Farhan mendengar suara ketukan pintu. “Masuk!” ucapnya. Pintu terbuka. Seorang dokter wanita masuk ke dalamnya. Dokter Amel yang usianya sebaya dengan dokter Farhan. Mereka bekerja di divisi yang sama, jabatan yang sama dan status percintaan juga sama. Begitu banyak kesamaan antara dokter Farhan dan dokter Amel. “Apakah anda sedang sibuk, Dokter?” tanya dokter Amel. Farhan menggeleng, “Saya mau siap-siap mengunjungi pasien saya. Sebelum jadwal praktek, saya harus pastikan pasien-pasien saya dalam keadaan baik-baik saja.” Dokter Amel mengangguk. Wanita berparas cantik berambut sebahu itu mendudukkan bokongnya di atas sofa yang ada di ruangan dokter Farhan. “Maaf, Dokter. Katanya anda ingin pergi ke korea? Saya dengar anda sudah mengurus cuti untuk mengikuti pelatihan singkat bedah plastik di sana?” “Iya … Sudah lama saya ingin melakukan hal itu. Tapi baru sekarang kesampaian. Memangnya ada apa, Dokter?” tanya Farhan. “Tidak ada apa-apa. Kok kesannya mendadak sekali. Bukankah anda ada jadwal operasi besar beberapa minggu lagi? Kita sudah diskusikan sebelumnya dan anda termasuk dalam tim dokter yang akan menangani pasien ini. Tapi tiba-tiba saja anda ingin cuti dan pergi ke korea.” “Saya tahu, saya minta maaf. Tapi saya sudah hubungi rekan saya yang sama kompetennya seperti saya. Namanya dokter Ghaza, ia yang akan menggantikan posisi saya nantinya di tim.” “Kenapa mendadak sekali, Dokter?” “Sebenarnya ini tidak mendadak. Saya sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Namun belum punya waktu yang pas untuk pergi. Karena kebetulan ada pasien saya yang butuh penanganan lebih, jadi saya memutuskan untuk pergi sekarang.” “Pasien yang anda temukan di jurang itu?” Dokter Amel menatap tajam ke arah dokter Farhan. “Iya … Ternyata ia mengidap kanker rahim. Dokternya di rumah sakit pondok indah menyatakan kalau penyakit itu sudah tidak bisa diobati lagi. Sudah masuk stadium akhir. Marwa tidak akan punya waktu hidup lebih lama. Tapi setelah saya pelajari sekilas, rasanya kanker itu belum masuk stadium akhir. Mungkin teknologi kita di sini belum secanggih teknologi luar negeri sehingga dokter tersebut menyatakan penyakit itu sudah tidak bisa disembuhkan. Jadi saya menyarankan kepada pasien untuk melakukan pengobatan lebih lanjut ke Korea.” “Anda yakin dokter di sana mengatakan hal itu? Apa lagi rumah sakit besar sekelas rumah sakit pondok indah?” “Saya tidak tahu pastinya bagaimana. Apakah dokter yang menanganinya ini memang belum berpengalaman lama, atau ada indikasi lain. Saya tidak ingin menduga-duga. Yang pasti, penyakit Marwa masih bisa disembuhkan.” “Kalau memang bisa disembuhkan, kenapa kita tidak tangani di sini saja?” “Kita tidak punya alat yang cukup mumpuni. Lagi pula, pasien punya alasan pribadi kenapa ia harus meninggalkan Indonesia. Sudahlah, lagi pula itu bukan urusan kita. Urusan kita sebagai dokter hanya menyembuhkan pasien, itu saja.” Farhan bersiap meninggalkan ruangannya. “Apa anda menyukai pasien itu?” tanya dokter Amel, tiba-tiba. Farhan menghentikan langkah kakinya. Tanpa menoleh ke arah Amel, Farhan pun berkata, “Maaf dokter, itu sudah masuk ke dalam ranah pribadi. Anda tidak pantas menanyakan hal itu pada saya.” Dokter Farhan pun berlalu dari ruangannya. Sepeninggal dokter Farhan, dokter Amel pun mendesah kesal seraya memukulkan tangan kanannya ke udara. Ia tampak sangat kecewa. Tidak berselang lama, Amel meninggalkan ruangan Farhan dan melangkah menuju ruang rawat inap di mana Marwa sedang dirawat saat ini. Wanita cantik itu mengetuk pintu, beberapa detik kemudian ia pun membukanya. “Selama siang,” ucap Amel, ramah. “Eh, ada dokter … Selamat siang, Dokter. Silahkan masuk,” ucap Marwa, ramah. Ia sama sekali tidak kenal dengan wanita cantik yang saat ini mengunjunginya. Yang ia tahu, wanita cantik berambut sebahu yang mengenakan dalaman dress sebetis itu sedang mengenakan jas khas seorang dokter dan memiliki name tag di bagian dadanya. “Saya dokter Amel. Saya juga salah seorang dokter spesialis bedah di sini. Saya rekan dokter Farhan.” “Oiya … Salam kenal, Dokter. Saya Marwa.” “Hhmm … Saya sudah tahu. Saya datang ke sini ingin menanyakan sesuatu, apakah boleh?” “Tentu saja, silahkan.” “Apa betul anda dan dokter Farhan akan ke Korea?” “Rencananya sih, Dokter. Dokter Farhan bilang kalau penyakit saya ini masih bisa disembuhkan. Beliau menyarankan untuk melakukan pengobatan ke korea. Kebetulan katanya ia akan menjalani studi singkat di sana untuk bedah plastik. Jadi beliau mengajak saya sekalian berobat ke sana. Memangnya kenapa ya, Dokter?” Amel tersenyum. Ia berjalan mendekati Marwa, menarik sebuah kursi lalu duduk di depan Marwa. “Tidak ada apa-apa. Namun saya rasa, penyakit anda itu masih bisa kok ditangani di sini.” “Maaf, Dokter. Saya bukannya meragukan, tapi saya sudah dirawat lama sekali di Jakarta dan dokter yang merawat saya di Jakarta menyakatakan kalau penyakit saya sudah tidak bisa diobati lagi. Saya disuruh bersiap menunggu waktu kematian yang hanya tinggal hitungan bulan saja. Lagi pula, apa salahnya mencoba ke sana. Sekalian healing juga karena saya sudah jenuh di Indonesia.” “Jadi begitu?” tanya Amel. “Ya, lebih kurangnya begitu sih, Dokter.” “He—em … Boleh saya tanya sesuatu lagi?” Dokter Amel berdehem. Ia tampak sangat menjaga ucapannya. “Iya, silahkan … Memangnya dokter ingin menanyakan apa lagi?” “Maaf, mungkin ini agak pribadi ya. Tapi saya butuh jawabannya.” “Iya, silahkan.” “Apa anda punya hubungan sepesial dengan dokter Farhan? Mungkin ada hubungan saudara atau lebih dari itu.” Marwa tersenyum, “Saya ini baru kenal dengan dokter Farhan. Saya kenal beliau karena beliau yang sudah menyelamatkan saya dari maut. Beliau yang sudah memberikan perawatan kepada saya. Lagi pula saya ini punya suami. Maaf, kenapa dokter menanyakan hal itu? Apa dokter cemburu pada saya?” Amle salah tingkah ketika Marwa menembaknya dengan pertanyaan demikian. “Ah, bukan apa-apa. Maaf kalau pertanyaan saya terlalu pribadi. Saya tidak tahu kalau anda ini punya suami. Saya pikir and aitu masih sendiri.” “Tidak, Dokter. Saya ini punya suami kok. Saya rasa nggak mungkin dokter Farhan akan suka sama istri orang kaya saya. Dokter tidak perlu cemburu begitu.” “Sa—saya … Saya tidak cemburu. Saya hanya ingin ikut membantu pengobatan kamu, itu saja. Kalau saja kamu mau dirawat di sini, maka saya akan menjadi salah satu tim dokter yang akan ikut menangani dan merawat kamu.” “Maaf, Dokter. Saya sudah berjanji pada dokter Farhan untuk ke Korea. Lagi pula saya sudah mengurus semuanya. Tapi dokter tenang saja, saya akan jaga dokter Farhan di sana untuk anda. Saya akan pastikan kalau dokter Farhan akan pulang lagi ke Indonesia dalam keadaan baik-baik saja. Oiya, apa kalian sudah lama berhubungan?” “Ber—berhubungan? Ah, tidak. Kami—kami hanya rekan kerja biasa.” Amel gugup. “Oke baiklah … Saya rasa sudah tidak ada lagi yang bisa saya tanyakan. Sepertinya anda memang sudah mentap untuk melanjutkan pengobatan anda ke korea. Saya hanya bisa mendoakan agar pengobatan anda berjalan sukses dan anda bisa kembali ke Indonesia dalam keadaan baik dan selamat. Saya juga doakan semoga anda bisa sembuh total dan bisa punya momongan setelahnya.” “Aamiin … Terima kasih doa terbaiknya, Dokter.” “Sama-sama … Kalau begitu saya pamit dulu. Selamat siang.” “Selamat siang, Dokter.” Amel segera meninggalkan ruang rawat inap itu, sementara Marwa memerhatikan langkah kaki Amel hingga wanita itu menghilang dari balik daun pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN