Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan Farhan belum menunjukkan tanda-tanda akan pulang meninggalkan rumah sakit untuk rehat di rumahnya. Pria itu masih sibuk mempelajari rekam medis penyakit Marwa. Ia perhatikan hasil CT-Scan, tes darah dan semua hasil pemeriksaan Yumna seolah Yumna begitu spesial baginya.
Namun tiba-tiba saja, Farhan dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Pintu ruangannya tiba-tiba saja terbuka tanpa diketuk lebih dahulu. Seorang wanita berpakaian dokter, masuk begitu saja ke ruangan Farhan.
“Amel … Bisa nggak kalau masuk ke ruangan pribadi seseorang itu kamu ketuk pintu dulu,” ucap Farhan seraya meletakkan hasil CT-Scan milik Marwa di atas meja.
Amel sama sekali tidak menjawab. Ia terus berjalan mendekati Farhan lalu mengambil hasil CT-Scan yang saat ini terletak begitu saja di atas meja Farhan. Amel memerhatikan benda itu sesaat lalu meletakkannya kembali ke atas meja. Wanita itu memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku jas dokternya, lalu berjalan mendekati jendela. Amel menatap langit kota Bogor dari jendela ruang pribadi Farhan.
“Jadi kamu masih mengurusi wanita itu?” tanya Amel.
“Dia itu pasienku jadi wajar kalau aku mengurusnya sampai tuntas. Lagi pula tidak ada hubungannya sama kamu,” balas Farhan agak ketus. Pria itu pun segera mendudukkan bokongnya dengan kasar di atas kursi kebesarannya.
Amel memutar tubuhnya dengan cepat, ia pun menghempaskan bokongnya dengan kasar di atas kursi yang ada di hadapan Farhan.
“Farhan, apa sih istimewanya wanita itu dibanding aku, ha? Kenapa kamu terlalu memerhatikannya. Aku yakin kalau perhatian yang kamu berikan ini tidak hanya sebatas perhatian seorang dokter kepada pasiennya.”
“Bukan urusan kamu!” tegas Farhan.
“Itu adalah urusanku juga, Farhan. Kamu bisa nggak sih mengerti sedikit saja tentang perasaan aku, ha? Aku itu cinta sama kamu dan aku nggak bisa lihat kamu memberikan perhatian yang lebih kepada wanita lain.”
“Tapi aku dipaksa untuk mengerti dengan kamu dan membiarkan kamu bermesraan dengan pria lain. SYITT!!” Farhan memukul meja lalu bangkit dari duduknya. Ia membelakangi Amel seraya memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku celana.
“A—aku … Aku sudah minta maaf mengenai masalah itu. Lagi pula aku sudah memutuskan pernikahanku dengan Roy, apa lagi sekarang?”
Farhan memutar tubuhnya dengan kasar. Ia sandarkan ke dua tangannya di atas meja lalu ia tatap wajah Amel dengan tatapan tajam, mematikan.
“Aku tidak mau lagi bekas orang lain,” lirih Farhan.
“Heh! Kamu jangan munafik, Farhan. Lagi pula wanita itu juga bekas orang lain. Ia sudah punya suami dan kamu tahu itu.”
“Setidaknya ia lebih terhormat dari pada kamu. Ia tidak pernah mempermainkan perasaan pasangannya seperti kamu yang sudah mempermainkan perasaan aku.”
“Farhan aku—.”
“Sudah cukup, Amel. Sebaiknya kamu urus saja mantan suami kamu itu. Bukankah ia masih ingin kembali padamu?”
“Aku tidak mau kembali padanya.”
“Kenapa? Karena ia tukang selingkuh, iya? Heh, pas’lah … Tukang selingkuh memang pantasnya dengan tukang selingkuh juga.”
“Cukup, Farhan!! Aku tidak pernah selingkuh dengannya. Ia sudah menjebakku agar aku bisa menikah dengannya.”
“Amel, sebaiknya kamu urus saja Nikita. Ia masih bayi dan ia butuh fokus dan perhatian ibunya.”
“Tapi Nikita butuh ayah, Farhan.”
“Bukankah ayahnya ada dan setahu aku, Roy minta kembali sama kamu’kan? Lalu kenapa tidak kamu terima saja.”
“Farhan, aku maunya kamu yang jadi ayahnya Nikita, bukan Roy.”
“Tapi aku bukan ayah Nikita. Bahkan aku tidak pernah menyentuhmu sedikit pun ketika kita masih berhubungan dekat. Lalu tiba-tiba kamu hamil dan menikah dengan Roy. Kamu bisa bayangkan betapa hancurnya perasaan aku waktu itu?”
“Kita masih bisa memperbaikinya, Farhan. Aku mohon, aku tersiksa dengan semua ini. Nikita tidak salah apa-apa.”
“Nikita memang tidak salah apa-apa, tapi ibunya yang sudah berbuat salah. Sekarang pergilah dari sini. Hubungan kita sudah lama berakhir dan jangan diungkit lagi.”
Amel berusaha memeluk Farhan, “Tapi aku masih cinta sama kamu, Farhan.”
Farhan menyentak tubuhnya dengan kasar dari pelukan Amel, “Tolong jangan permalukan diri kamu sendiri, Amel. Kamu itu wanita, tolong jaga harga diri dan kehormatan kamu. Apa lagi kamu itu punya suami, jangan sampai nanti orang berpikiran buruk sama kamu. Sekarang pergilah dari sini. Aku masih banyak pekerjaan.”
“Tapi aku sudah berpisah dengan Roy.”
“Kalian hanya sebatas pisah ranjang. Atau mungkin saja hanya bercerai secara agama. Sementara secara hukum negara, kalian masih suami dan istri.”
“Aku sedang mengurus perceraianku dengannya.”
“Silahkan saja kamu mau urus perceraian kamu dengannya, yang pasti hatiku sudah mati padamu. Sudah tidak ada harapan lagi untuk kita kembali seperti dulu. Aku ingin fokus pada karirku, ingat itu!”
“Farhan, aku mohon—.”
“Cepat pergi dari sini! Aku tidak ingin ada yang melihatmu di sini tengah malam begini. Orang-orang bisa salah paham nanti.”
“Tapi Farhan—.”
“Pergi, atau aku yang menyeret kamu keluar dari ruangan ini.”
“Oke, aku akan pergi. Aku akan pergi … Aku akan pergi ….” Amel dengan terpaksa memutar tubuhnya. Ia seka air matanya lalu ia pun melangkahkan kakinya dengan kasar meninggalkan ruangan Farhan. Ia berusaha mengendalikan dirinya kemudian berlalu menuju parkiran. Ia akan meninggalkan rumah sakit menuju kediamannya.
Amel menghempaskan pintu mobilnya dengan kasar. Ia melepas jas dokternya lalu melemparnya ke bangku mobil bagian belakang. Dengan perasaan kesal, Amel pun meninggalkan rumah sakit menuju kediamannya.
“Nikita sudah tidur?” tanya Amel pada sang ART yang merangkap pengasuh Nikita—putrinya yang baru berusia sepuluh bulan.
“Sudah, Bu,” jawab sang ART.
“Rewel nggak?” tanya Amel.
“Tadi agak rewel sekitar jam sepuluh, Bu. Tapi bibi berusaha menenangkan dan Alhamdulillah mbak Nikita sudah tenang. Sepertinya ia kangen sama ibu sebab sudah beberapa hari ini ibu tidak menemui mbak Nikita.”
Amel hanya diam. Ia pun menekan langkah menuju kamar putrinya. Terlihat Nikita sedang tertidur nyenyak di atas ranjangnya. Posisi tidurnya miring, memeluk sebuah boneka panjang kesayangannya.
Amel mendekat. Ia belai rambut tebal putrinya yang masih berusia sepuluh bulan itu. Walau usianya masih sepuluh bulan, tapi rambut Nikita sudah tebal dan lebih panjang dari rambut bayi biasa seumurannya.
“Apa Nikita sehat-sehat saja?” tanya Amel. Ia kembali menjauh dari putrinya itu.
“Sehat, Bu. Alhamdulillah.”
“Apa ayahnya ada datang ke sini?” tanyanya lagi.
Sang ART menggeleng, “Pak Roy sama sekali tidak ada ke sini, Bu.”
“Begitu ya … Ya sudah, tolong temani Nikita dulu. Saya capek, saya mau istirahat. Hari ini ada operasi berat, jadi saya sangat lelah.”
“Iya, Bu.”
Amel pun meninggalkan kamar Nikita. Ia langkahkan kakinya ke kamarnya sendiri. Ia hempaskan bokongnya dengan kasar ke atas ranjang lalu ia rebahkan tubuhnya di sana. Ada sebuah penyesalan yang sudah bersarang hebat di dadanya. Namun semuanya sudah terjadi, waktu tidak dapat diputar lagi dan Amel hanya bisa menikmati kekeliruan yang sudah ia lakukan sebelumnya.
***
Kota Bogor, RSUD kota Bogor.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Marwa sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit sebab ia harus segera ke Jakarta dan mengurus semua surat-suratnya di sana. Asuransi, tabungan bahkan paspor dan visa untuk ke Korea.
“Wah, senang sekali yang mau balik ke Jakarta,” ucap Farhan. Pria itu baru saja datang menemui Marwa.
“Iya, Dokter. Aku sudah lelah di rumah sakit. Mau menghirup udara segar di luar sana.”
“Nanti di Korea mau masuk rumah sakit lagi.”
“Mudah-mudahan nggak lama.” Marwa tersenyum.
“Renima sudah di mana?”
“Sudah di jalan. Sekitar lima belas menit lagi akan sampai. Kasihan dia, ia pasti sangat lelah. Bolak balik Jakarta – Bogor.”
“Iya, aku juga kasihan dengan Renima. Tapi untung juga ada Renima. Kalau tidak, kamua kan mengurusnya sendiri.”
“Iya, Dokter. Aku sangat beruntung punya Reima.”
“Renima yakin tidak akan ikut dengan kita ke Korea?”
“Katanya sih tidak, sebab pekerjaannya di sini sangat mendesak. Ia takut kalau berhenti nanti, akan sulit untuk dapat pekerjaan lagi. Nggak apa-apa kok, Dokter. Aku sudah biasa sendiri dan aku yain di Korea nanti pun, aku tidak akan canggung.”
“Ada aku di sana, kamu jangan khawatir.”
“Maaf kalau aku selalu saja menyusahkan dokter Farhan.”
“Nggak apa-apa, Marwa. Mungkin sekarang memang kamu yang menyusahkan aku. Tapi bisa jadi suatu saat nanti malah aku yang menyusahan kamu. Kita tidak pernah tahu bagaimana masa depan kita nantinya.”
“Dokter benar juga. Ah sudahlah … Aku tidak mau mengingatnya lagi. Sekarang, aku akan fokus pada kesehatanku. Aku yakin aku pasti akan sembuh.”
“Kamu pasti akan sembuh, Marwa. Aku sudah mempelajarinya dan aku yakin sekali kalau kamu pasti akan sembuh. Kita ketemu lagi nanti di Jakarta. Aku juga akan bersiap mengurus cutiku di sini. Sekitar dua atau tiga hari lagi, aku akan susul kamu ke Jakarta dan kita akan langsung terbang ke Korea.”
“Iya, Dokter,” ucap Marwa seraya tersenyum.
Marwa dan Farhan tidak menyadari kalau percakapan mereka sedang di dengar oleh seseorang. Seseorang yang kini langsung melangkahkan kakinya dengan kasar. Meninggalkan tempat itu dengan perasaan sakit dan hancur.