“Dokter, saya minta maaf atas pertanyaan saya tadi. Saya—saya merasa bersalah,” lirih Marwa.
“Lo, kenapa kamu jadi merasa bersalah? Rasanya tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu? Semuanya masih wajar kok.”
Marwa tersenyum, “Sudah, lupakan saja. Mari makan.”
Farhan mengangguk, “Sebenarnya saya tidak pernah mau cerita pada siapa pun mengenai kehidupan pribadi saya. Tapi entah mengapa, sama kamu rasanya kok beda ya. Seolah saya itu jadi punya tempat yang tepat untuk curhat.” Farhan mulai menyuap laksa miliknya setelah menyelesaikan ucapan terakhirnya.
“Kenapa bisa begitu?” Marwa pun melakukan hal yang sama. Ia mulai menikmati laksa itu dengan nikmat. Farhan tidak bohong, laksa yang dibawakan oleh Farhan memang terasa enak dan Marwa menikmatinya.
“Entahlah … Jangan-jangan kamu itu memang cenayang.”
“Hahaha ….” Marwa spontan tergelak ketika mendengar pernyataan Farhan, “Memangnya saya ini punya tampang dukun ya?” lanjut Marwa.
“Memang ada dukun yang wajahnya cantik seperti kamu?” balas Farhan.
“Mana saya tahu. Tapi saya serius lo, kok bisa-bisanya sih dokter Farhan ini berpikir kalau saya ini cenayang? Memangnya saya aneh ya? Atau terlihat misterius?”
Farhan terkekeh sebentar, lalu menenggak air mineral. Ia kembali menatap wajah Marwa,
“Saya hanya bercanda, Marwa. Tapi saya memang kepikiran, kok bisa-bisanya kamu nggak kenapa-kenapa setelah jatuh dari ketinggian seperti itu. Apa lagi itu di tengah hutan. Banyak bahaya yang mengancam. Kamu bisa saja nyangkut di batang pohon, atau terpental atau hal buruk lainnya’lah. Tapi kamu Ajaib. Jangankan cedera parah, luka menganga saja tidak ada. Jangankan patah, terkilir pun kamu tidak.”
“Jadi karena itu dokter sampai berpikir kalau saya ini cenayang?”
Farhan kembali terkekeh, “Bukan … Bukan masalah itu, Marwa. Saya sungguh-sungguh hanya bercanda untuk masalah itu. Sudah ah, mending kita habiskan laksanya, nanti keburu dingin. Kalau sudah dingin nanti nggak nikmat lagi.”
Marwa mengangguk. Ia pun kembali menikmati makanan yang dibawakan Farhan untuknya.
Ayah … apa mungkin ayah yang sudah menyelamatkan Marwa? Apa mungkin Tuhan sudah mengutus ayah ke dunia untuk menyelamatkan Marwa? Apa mungkin semua ini karena ayah? Marwa membatin.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Farhan.
“Saya tiba-tiba kangen sama ayah saya. Apa jangan-jangan beliau yang sudah menyelamatkan saya?”
“Yang pasti Tuhan’lah yang sudah menyelamatkan kamu.”
“Saya tahu, Dokter. Tapi saya merasa kalau ayah memang ada di sini. Kemarin saya melihat wajahnya di atas langit. Ia tersenyum dan tampak senang ketika tahu saya baik-baik saja. Ayah juga datang dalam mimpi. Ia hanya tersenyum dan terus saja tersenyum. Saya rindu ayah ….” Ke dua netra cokelat terang yang indah itu, tiba-tiba saja berkaca-kaca.
“Mungkin saja, Marwa. Kita tidak pernah bisa tahu bagaimana cara alam gaib bekerja. Bisa jadi ayah kamu memang datang sebagai penyelamat. Ia tidak ingin putrinya sampai kenapa-kenapa. Entahlah ….”
Marwa mengangguk. Ia kembali menikmati laksa itu dengan nikmat.
“Jadi bagaimana laksanya? Enak?”
“Enak banget … Di mana sih ini belinya? Besok aku mau beli lagi.”
Farhan terkejut dengan ucapan Marwa. Kata “saya” yang sebelumya diucapkan Marwa kepada dirinya kini berubah menjadi “aku”. Artinya, Marwa sudah tidak canggung lagi di depan Farhan. Marwa sudah menganggapnya teman.
“Aku lebih suka mendengar kamu menyebut diri kamu dengan sebutan aku dari pada saya. Terasa lebih dekat dan lebih akrab,” ucap Farhan tiba-tiba.
“He—eh … Memangnya tadi saya sebut apa?” Marwa salah tingkah.
“Tolong jangan bicara kaku seperti itu lagi. Mulai sekarang kita teman.” Farhan mengulurkan tangannya ke arah Marwa.
Marwa ragu untuk membalas, tapi ia tidak mau membuat Farhan menunggu lama. Marwa segera membalas uluran tangan itu.
“Teman,” balas wanita cantik itu.
“Jadi mulai sekarang, berhenti bicara kaku, oke. Bukankah kita sudah berteman?”
Marwa tersenyum, ia mengangguk.
“Ayo habiskan lasanya.”
“Iya.”
Farhan dan Marwa menikmati laksa itu hingga habis tidak bersisa. Setelah habis, Marwa pun berdiri, berniat membereskan sisa makanan mereka. Tapi dengan cepat, Farhan mencengahnya. Pria itu menyentuh tangan Marwa yang sedang memegang bekas tempat laksa.
“Biar aku saja yang bereskan. Kamu itu masih sakit, jadi harus banyak istirahat.”
“Jangan begitu, Dokter. Anda ini adalah dokter yang merawat saya, bukan pembantu saya.”
“Seorang dokter adalah pelayan untuk pasiennya. Jadi biarkan aku yang membereskan semua ini. Lagi pula tadi kamu sudah berjanji untuk tidak bicara kaku, kenapa sekarang bicaranya kaku lagi?”
“Maaf ….”
“Sudah, kamu duduk saja. Aku akan membereskan semua ini.”
“Terima kasih, Dokter.”
“Sama-sama.”
Farhan dengan lihai membereskan meja makan itu. Ia buang semua sisa sampah makanan mereka ke dalam tempat sampah, lalu ia seka meja makan itu dengan tisu yang sudah ia basahkan. Meja makan itu kembali kinclong, bersih dan segar.
“Ada untungnya juga tinggal sendirian dan biasa mandiri, jadi tidak canggung untuk melakukan semua ini,” ucap Farhan. Ia kembali duduk di kursi yang sama, yang berada tepat di depan Marwa.
“Dokter, anda eh maksudnya kamu belum menjawab pertanyaan aku lo,” ucap Marwa. Wanita itu masih tampak kaku ketika berbicara normal pada dokter Farhan. Ia merasa kurang sopan.
“Maaf kalau gaya bicara saya, eh maksudnya aku kurang sopan,” sambungnya lagi.
Farhan terkekeh, “Kamu ini lucu sekali, Marwa. Tapi aku suka kalau kamu bicara biasa saja seperti tadi. Terkesan lebih akrab. Aku tidak meras akalau kamu tidak sopan, justru aku nyaman.”
Marwa hanya membalas dengan senyuman.
“Ngomong-ngomong, kamu menanyakan perihal apa?”
“Ah, lupakan saja.” Marwa menarik kembali pertanyaannya.
“Mengenai kenapa aku bisa bahasa Indonesia dengan lancar itu ya?”
Marwa tersenyum.
“Marwa, aku ini lahir dan besar di sini, di kota Bogor. Ibu dan ayahku adalah warga asing yang bekerja di sini. Aku di sini sampai usia lima belas tahun hingga ayah dan ibuku membawaku ke Amerika karena kontrak kerjanya sudah selesai. Aku melanjutkan hidup dan pendidikanku di Amerika. Setelah lulus kedokteran, aku pun meminta izin kepada ayah dan ibu untuk bekerja dan mengabdi di tanah kelahiranku. Awalnya mereka keberatan, tapi aku meyakinkan kalau aku hanya ingin mengabdi, bukan pergi dari mereka. Mereka pun akhirnya menyetujuinya.”
“Oh jadi begitu ….”
“Iya.”
“Sekarang aku mengerti.”
“Apa itu penting?”
“Maksudnya?” Marwa mengernyit.
“Ah, bukan apa-apa … Oiya, aku mau ke ruanganku dulu. Sebentar lagi ada jadwal pemeriksaan pasien. Aku harus memeriksa kondisi semua pasien aku.”
“Iya, Dokter. Terima kasih laksanya. Aku suka.”
Farhan tersenyum, “Sama-sama Marwa. Kamu harus makan yang banyak sebab kamu akan ikut denganku ke korea. Di sana nanti, belum tentu kamu akan menemui makanan yang cocok dengan lidah kamu. Jadi, nikmati dulu makanan di negeri sendiri sebelum kamu bertolak ke negeri orang lain.”
“Iya, Dokter. Terima kasih atas sarannya.”
“Sama-sama, aku pamit ya ….”
Marwa mengangguk. Wanita itu bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju pintu. Ia lepas kepergian dokter Farhan dengan senyum manis. Senyuman yang mampu membuat keringat dingin mengalir di tengkuk Farhan.
Dasar cenayang, batin Farhan.
Di tempat berbeda, Renima baru saja sampai di depan halaman rumah sakit pondok indah. Wanita itu segera meninggalkan mobilnya dan berjalan menuju meja informasi.
“Selamat siang, saya Renima, saudaranya pasien yang Bernama Marwa. Saya datang ke sini untuk mengambil dokumen Marwa yang masih tertinggal di rumah sakit ini, sekalian ingin melunasi semua biaya rumah sakit Marwa,” jelas Renima.
“Apa anda tahu nomor rekam medis pasien yang dimaksud?” tanya pria yang duduk di meja bagian informasi.
“Iya ….” Renima mengeluarkan ponselnya, lalu memberikan nomor rekam medis Marwa.
“Sebentar, saya cek dulu,” ucap pria itu.
Renima mengangguk.
“Iya, benar … Ibu Marwa memang meninggalkan tunggakan di sini. Silahkan anda kunjungi bagian poli penyakit dalam dan anda temui resepsionis di sana. Nanti mereka akan membantu anda untuk menyelesaikan p********n. Setelah itu, semua barang-barang ibu Marwa yang masih tertinggal, akan diserahkan kepada anda.”
“Baik, Pak. Terima kasih.”
“Sama-sama, Mbak.”
Renima pun kembali berdiri. Ia langkahkan kakinya secepat yang ia bisa menuju ruang resepsionis dan perawat penyakit dalam. Sesampai di sana, seorang suster yang Renima kenal, langsung meyambutnya dengan baik.
“Mbak Renima?” sapanya, ramah.
“Suster Meta, saya ke sini ingin melunasi semua biaya rumah sakit Marwa. Saya juga ingin mengambil semua barang-barang Marwa yang masih tertinggal, apakah bisa?”
“Tentu saja bisa, Mbak. Silahkan masuk, saya akan bantu.”
“Baiklah ….”
Renima masuk ke sebuah ruangan.
“Tunggu di sini sebentar. Saya akan siapkan dokumen pembayarannya.”
“Iya, Suster. Terima kasih.”
Renima duduk di kursi tunggu sementara sang suster mulai menyiapkan dokumen dan surat p********n yang dibutuhkan oleh Renima.
Tidak lama …
“Ini, Mbak. Silahkan anda selesaikan dulu pembayarannya di bagian kasir. Nanti kalau sudah selesai, anda bisa ke sini lagi untuk mengambil semua barang-barang milik mbak Marwa dan mengambil dokumen lain yang dibutuhkan.”
Renima mengangguk. Ia menerima selebaran itu dan membacanya sekilas. Renima cukup kaget dengan angka yang tertera di sana. Sembilan puluh tiga juta lima ratus tujuh puluh enam ribu rupiah. Segitulah nominal yang harus dibayar oleh Renima untuk perawatan Marwa selama sebulan lebih di sana.
Tanpa berpikir panjang, Renima pun keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju meja meja kasir. Ia memberikan kertas itu pada wanita yang bertugas di bagian kasir.
“Maaf, saya bayarnya pakai Qris, bisa?” tanya Renima.
“Bisa, Mbak. Silahkan anda scan barcode ini dan bayar sesuai dengan angka yang tertera pada kertas pembayaran.”
“Baiklah,” ucap Renima.
Renima mengarahkan ponselnya ke barcode yang tertera di meja kasir. Ia lalu menekan nominal angka yang sama persis seperti angkat yang tertera pada slip p********n. Setelah selesai, Renima pun memperlihatkan layar ponselnya pada petugas kasir.
Sang petugas kasir mengangguk. Dengan cepat, ia cetak kwitansi p********n lalu ia serahkan pada Renima.
“Terima kasih,” ucap Renima.
“Sama-sama,” balas sang kasir.