Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Renima sudah bersiap pergi meninggalkan rumah sakit, sebab ia akan ke rumah sakit pondok indah Jakarta, guna menyelesaikan semua biaya rumah sakit Marwa yang tertunda.
“Kamu yakin bisa mengurusnya sendiri?” tanya Marwa.
“Aku yakin. Kamu tenang saja, Wa. Aku pasti akan mengurus semuanya untuk kamu.”
“Bagaimana kalau di sana kamu ketemu sama Aldo atau Jihan? Ima, aku ingin mereka semua menganggap aku memang sudah mati. Atau apa kamu bisa mengurus surat kematianku?”
“Kamu jangan mengada-ngada, Marwa. Aku tidak akan mungkin mengurus surat kematian kamu itu.”
“Asuransi jiwaku nilainya sangat besar,” ucap Marwa lagi.
“Aku tidak peduli seberapa besar nilai asuransi jiwa kamu. Yang pasti aku tidak akan membantu mengurus surat itu. Marwa, kamu itu masih hidup dan masih sehat, itu adalah sebuah anugerah. Kalau kamu meminta aku mengurus surat kematian kamu, artinya kamu sendiri yang mengharapkan hal buruk itu terjadi pada kamu. Tidak, Wa. Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Satu lagi, memalsukan keadaan adalah sebuah tindak pidana yang besar.”
“Aku berencana akan melakukan operasi plastik di korea. Jika operasi itu berhasil, aku akan mengganti semua identitas diri sebelum balik lagi ke Indonesia.”
“Apa pun alasannya, aku tidak akan mengurus surat itu untuk kamu. Aku pergi dulu. Aku ingin semuanya cepat selesai. Lagi pula, besok aku harus masuk kerja. Aku tidak bisa cuti terlalu lama.”
“Baiklah, Ma.”
Renima berjalan mendekat, “Marwa, kamu harus syukuri karena Tuhan sudah memberikan kesempatan kehidupan ke dua buat kamu. Kamu pernah mikir nggak, bagaimana bisa kamu selamat padahal kamu sudah jatuh di ketinggian, di tengah hutan lagi. Bisa saja tubuh kamu nyangkut di batang kayu atau apa pun’lah itu. Tapi kenyatannya apa, Tuhan masih menyelamatkan kamu. Artinya Tuhan punya rencana indah buat kamu ke depannya. Doa orang yang terzalimi itu biasanya cepat di kabul. Jadi tolong jangan minta yang aneh-aneh. Apa lagi sampai meminta aku mengurus surat kematian kamu. Nggak akan semudah itu juga ngurusnya, kamu masih hidup kok.”
“Iya, Bu Ustazah,” jawab Marwa seraya terkekeh ringan.
“Malah ngeledek.” Renima mencebik.
“Siapa yang meledek? Aku serius.”
“Sudah ah, ngobrol sama kamu nggak akan ada habisnya. Aku pergi dulu. Doakan saja semua urusan ini lancar.”
“Iya … Kamu hati-hati di jalan.”
Renima mengangguk. Wanita itu pun mencium ke dua pipi Marwa lalu mulai melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu.
Setelah menutup rapat pintu ruangan Marwa, Renima menghela napas. Ia segera meraih ponselnya dan mulai menghubungi seseorang.
“Halo, ada apa, Renima?” jawab seseorang dari balik panggilan suara.
“Dokter, saya akan pergi ke Jakarta untuk mengurus pelunasan p********n biaya rumah sakit Marwa. Boleh saya minta tolong?”
“Minta tolong apa?”
“Titip Marwa. Saya tahu anda sangat sibuk di sini, tapi saya berharap anda bisa mengunjungi Marwa disela-sela kesibukan anda, sebentar saja. Kasihan Marwa, hatinya masih terluka.”
“Baiklah … Saya akan sering mengunjunginya. Kamu tenang saja.”
“Terima kasih, Dokter. Saya pamit dulu. Tolong doakan agar semuanya lancar dan berjalan dengan baik. Mengenai uang anda, kami pasti akan segera mengembalikannya setelah asuransi dan tabungan Marwa cair.”
“Kamu tidak perlu risau masalah itu, Renima. Sudah saya katakan, pakai saja dulu. Nanti kalau kalian sudah punya uang, baru bayar.”
“Terima kasih, Dokter.”
“Sama-sama.”
Renima pun memutuskan panggilan suara itu.
Renima menyimpan kembali ponselnya. Ia melangkahkan kakinya, meninggalkan rumah sakit umum daerah kota Bogor, menuju Jakarta.
Di tempat berbeda, Farhan yang tengah bersantai di rumahnya yang tidak jauh dari rumah sakit, segera menyeruput habis minuman yang ia buat sendiri. Farhan memang mandiri. Ia tinggal di sebuah rumah berlantai dua tidak jauh dari rumah sakit. Bahkan ia bisa menempuh perjalanan dari rumah ke rumah sakit hanya dengan berjalan kaki saja.
Ia mengerjakan semua pekerjaan rumahnya sendiri tanpa bantuan seorang ART pun. Farhan sudah yatim piatu. Orang tuanya meninggal karena sebuah kecelakaan pesawat dan itu membuatnya sangat terluka dan trauma. Sejak saat itu, Farhan memutuskan untuk menjauh dari kediaman orang tuanya dan memutuskan hidup mandiri.
Farhan segera meraih kunci motor sport miliknya yang ia letakkan di atas meja pajang. Walau jarak tempuh rumah Farhan ke rumah sakit tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja, Farhan tetap menggunakan sepeda motor ke sana. Ia hanya ingin langkah kakinya dimudahkan dengan kendaraan roda dua itu.
“Selamat pagi, Dokter …,” sapa beberapa staf rumah sakit ketika pria tampan yang masih muda dan segar itu lewat di depan mereka.
“Pagi ….”
“Lo, dokter Farhan? Bukankah anda tidak ada jadwal pagi ini? Kenapa datang pagi-pagi begini?” sapa salah seorang rekan sesame dokter.
“Saya harus memantau kondisi pasien saya,” ucap Farhan.
“Sepertinya itu pasien pribadi ya? Anda tampak sangat perhatian padanya.”
“Semua pasien itu istimewa di mata saya.”
“Tapi sepertinya pasien yang ini agak berbeda lo, Dokter. Anda memberikan perhatian lebih dan luar biasa.”
“Itu karena ia memang ajaib. Bagaimana bisa seseorang bisa hidup dan selamat ketika sudah jatuh dari ketinggian seperti itu, di tengah hutan lagi. Jadi aku penasaran.”
“Jangan-jangan pasien ini cenayang.”
“Hahaha … dokter Gibran ini bicara apa. Lagi pula saya tidak percaya dengan hal-hal mistis semacam itu.”
“Hati-hati lo, Dokter. Kalau ia ini memang cenayang, anda bisa saja di hantui terus olehnya.”
“Apa salahnya dihantui oleh wanita cantik seperti dia.”
“Sepertinya saya tidak salah tebak. Anda memang sudah termagnet oleh pesonanya.”
“Kita lihat saja. Lagi pula saya juga sudah capek jomlo terus. Anda sendiri sudah punya dua anak. Saya boro-boro punya anak, istri saja belum punya.”
“Makanya jangan terlalu pemilih jadi orang. Ujung-ujungnya nanti nikah sama cenayang, wah bisa repot.”
“Hahaha … Anda ini ada-ada saja.”
Pria yang dipanggil oleh Farhan dengan sebutan dokter Gibran itu tersenyum, “Saya pergi dulu. Saya ada jadwal praktek.”
“Iya, Dokter. Apa anda tidak berminat untuk menemui cenayang?”
“Kalau itu mah urusan anda saja, Dokter. Dia itu pasien anda. Lagi pula kalau saya dekat-dekat dengan cenayang, bisa-bisa saya digorok oleh istri saya.”
“Hahaha ….” Farhan terkekeh, begitu juga dengan Gibran.
Mereka pun akhirnya berpisah. Gibran melangkah menuju poli penyakit dalam, sementara Farhan melangkah menuju ruang rawat inap Marwa.
Farhan mengetuk pintu ruangan itu dengan lembut, lalu ia membukanya.
“Selamat pagi …,” sapa Farhan.
“Eh, dokter Farhan. Silahkan masuk, Dokter,” balas Marwa. Wanita itu sudah tampak lebih segar. Ia sudah mandi sebelum Renima meninggalkannya. Marwa juga sudah berganti pakaian. Renima yang sudah membelikan pakaian untuknya dan membantunya mengganti pakaiannya sebelum meninggalkan Marwa sendirian di sana.
“Anda tampak segar,” ucap dokter Farhan. Pria itu masuk, meletakkan sebuah kantong berisi makanan di meja makan lalu berjalan mendekati ranjang Marwa.
“Iya … Sebelum Renima pergi, saya sudah mandi. Renima yang membantu saya berganti pakaian soalnya selang infus ini sangat menganggu,” keluh Marwa.
“Selang infus ini memang masih harus ada di sini, Marwa. Ada cairan obat dan nutrisi yang akan mengalir ke tubuh kamu. Alat ini juga akan memudahkan tim medis untuk menyuntikkan obat agar kulit kamu nggak kebanyakan kena alat suntik,” jelas Farhan.
Marwa terkekeh ringan, “Saya paham, Dokter. Saya sudah sangat terbiasa dengan semua ini. Bisa dikatakan, hidup saya sudah kebal dengan suntikan seperti ini.”
“Baguslah kalau kamu memang sudah terbiasa. Kamu sudah makan?”
Marwa mengangguk, “Hanya sedikit. Setelah itu saya minta Renima menghabiskannya.”
“Kenapa? Makanan rumah sakit nggak enak ya?”
“Entahlah … Mungkin sayanya saja yang tidak berselera. Renima bilang, makanannya enak-enak aja kok.”
“Saya bawakan Laksa. Kebetulan di simpang jalan ke rumah saya ada yang jual Laksa khas Bogor yang terkenal enak banget. Saya ingat sama kamu, jadi saya belikan. Kamu mau makan?”
“Kenapa dokter membelinya? Saya ini sudah terlalu banyak merepotkan dokter Farhan. Saya jadi nggak enak lo.”
“Saya tidak pernah merasa direpotkan. Kebetulan saya juga belum sarapan, jadi saya beli dua. Awalnya saya mau beli tiga, tapi tadi Renima menghubungi saya kalau dia mau ke Jakarta. Jadi saya beli dua saja.”
“Saya beneran nggak enak lo, Dokter.”
“Simpan sja rasa tidak enak kamu itu untuk nanti-nanti. Sekarang sebaiknya kita makan dulu. Saya akan siapkan.”
“Tidak usah, Dokter. Biar saya saja.” Marwa berusaha turun dari ranjangnya. Namun kaki kanannya tidak menapak lantai dengan baik ketika meraih sendal. Alhasil, ia pun terpeleset. Beruntung Farhan dengan cepat menyambut tubuh Marwa.
Marwa mengangkat wajahnya. Tidak sangka kalau kini ia berada dalam dekapan pria yang sudah menolongnya itu. Pandangan sepasang netra cokelat muda milik Marwa kembali beradu dengan pandangan sepasang netra cokelat pekat milik Farhan.
“Ma—maaf, Dokter. Saya terpeleset,” lirih Marwa. Wanita itu segera melepaskan tubuhnya dari dekapan Farhan.
Farhan pun salah tingkah, “Tidak apa-apa … Ayo makan.”
Marwa tersenyum, ia mengangguk.
Farhan berjalan lebih dahulu menuju meja makan. Pria itu berusaha mengendalikan jatungnya yang kini berdegup tidak keruan. Entah apa yang menyebabkan jatungnya tiba-tiba berdegup lebih kencang dari biasanya. Tapi tatapan mata Marwa, selalu menghantui dirinya.
“Silahkan,” ucap Farhan. Ia menyuruh Marwa duduk di kursi makan berbeda yang tepat berada di depannya.
“Terima kasih, Dokter.”
“Hhmm ….”
Farhan membuka kantong plastik. Mengeluarkan dua kotak laksa khas bogor yang baru saja ia beli. Ia berikan salah satunya kepada Marwa dan salah satunya ia letakkan di hadapannya.
“Kamu suka laksa?” tanya Farhan. Pria itu berusaha menetralkan suasana. Kejadian singkat tadi cukup mampu membuatnya sedikit salah tingkah.
Marwa mengangguk, “Saya sering membelinya. Setiap saya ke Bogor, pasti saya makan laksa,” balas Marwa.
“Saya sengaja minta cabe dan kecap terpisah. Saya tidak tahu selera kamu seperti apa. Silahkan.” Farhan memberikan dua bungkusan kecil pada Marwa. Bungkusan itu berisi saos sambal home made, dan juga kecap manis.
“Terima kasih, Dokter.”
“Hhmm ….” Farhan membalas dengan gumaman.
Farhan lalu membalik dua gelas kaca yang sebelumnya dalam poisisi telungkup di atas baki di atas meja makan. Ia menuang air mineral ke dalam dua gelas itu, lalu memberikan salah satunya kepada Marwa.
“Silahkan,” ucap Farhan lagi.
“Dokter tidak seharusnya melakukan ini,” balas Marwa
“Kamu itu pasien saya, jadi wajar saja kalau saya memperlakukan kamu istimewa karena kamu itu pasien saya. Saya memperlakukan semua pasien saya itu sama karena saya sudah menganggap semua pasien itu adalah keluarga. Apa lagi seperti kamu ini yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Sama seperti saya yang juga yatim piatu dan tinggal sendirian di negara ini.”
“Jadi dokter Farhan ini yatim piatu juga? Nggak punya keluarga lainnya di sini?”
Farhan menggeleng, “Orang tua angkat saya di Amerika. Mereka yang sudah menyekolahkan saya hingga saya jadi dokter seperti ini. Awalnya mereka meminta saya untuk mengabdikan ilmu saya di Amerika saja, tapi saya menolak. Saya ingin mengabdi untuk bangsa sendiri.”
“Kalau dokter besar di Amerika, bagaimana bisa dokter berbahasa Indonesia dengan baik dan benar seperti ini?”
Farhan terkekeh, “Itu pertanyaan yang sangat aneh,” ucapnya.
Marwa tertunduk. Ia malu sudah melontarkan pertanyaan itu pada pria yang sudah menolongnya.