AAAAAAA ….
Amel rasanya ingin berteriak sekuat yang bisa, saat ini. Namun sayang, ia hanya bisa melakukannya di dalam hati sebab saat ini ia sedang berada di sebuah sudut rooftop rumah sakit. Tempat yang biasa ia gunakan untuk menyendiri, menangis dan berkeluh kesah pada dirinya sendiri. Tempat yang dulu juga biasa ia gunakan untuk bertemu dengan Farhan disela-sela jam praktek mereka.
Andai saja waktu bisa diputar kembali. Farhan, aku tidak sepenuhnya salah, tapi mengapa kamu menghukum aku seberat ini. Roy yang salah, bukan aku. Roy yang selama ini sudah menjebakku. Aku tidak pernah berkhianat padamu Farhan. Tidak …
Amel membatin seraya menangis. Rasa sakit di dalam hatinya begitu besar, apa lagi tahu kalau Farhan akan segera ke Korea bersama wanita yang baru ia kenal. Wanita yang ia selamatkan dari jurang maut. Wanita lemah berpenyakitan.
***
Flasback.
Sekitar dua setengah tahun yang lalu.
Seorang pria tiba-tiba saja masuk ke ruangan Amel. Namanya Roy dan entah apa tujuannya datang ke rumah sakit dan menemui Amel langsung di ruangan pribadinya.
“Roy, mau apa kamu ke sini? Lagian bisa nggak sih kamu ketuk pintu dulu sebelum masuk ke sini?” tanya Amel, ketus.
“Gua nggak punya banyak waktu untuk mengetuk pintu segala. Mel, gua sakit. Periksa dong.”
“Kamu bisa daftar dulu di depan. Atau kalau hanya sakit biasa saja, kamu bisa ke puskesmas, klinik atau bidan saja. Tidak perlu langsung menemui dokter seperti ini. Apa lagi aku ini spesialis bedah, bukan dokter umum.”
“Halah, sama saja. Lo itu’kan dokter, jadi pasti bisa ngobatin sakit gua ini.” Roy duduk di kursi yang ada di depan Amel. Ia angkat satu kakinya dan ia letakkan di atas paha kaki lainnya. Ia mulai memerhatikan ruangan itu, mengacak-ngacak isi meja Amel.
“Jangan sentuh apa pun di sini!” larang Amel.
“Sombong amat lo,” gerutu Roy.
Amel menghela napas, “Roy, tolong segera pergi dari sini. Aku sebentar lagi ada jadwal praktek. Jadi tolong jangan menganggu pekerjaanku.”
Roy menurunkan kakinya, mencondongkan badannya sedikit ke arah meja lalu menatap wajah cantik Amel dengan tatapan tajam.
“Lo masih sama Farhan?” tanya Roy.
“Apa urusannya sama kamu. Aku mau sama Farhan kek, sama siapa kek, itu bukan urusan kamu.”
Roy mendelik seraya bangkit dari duduknya. Berkali-kali ia usap dagunya dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya ia masukkan ke dalam saku celana.
“Kalau kamu tidak ada urusan lagi, tolong segera pergi dari sini, Roy. Aku masih banyak pekerjaan. Lagi pula tidak etis kamu datang lalu masuk begitu saja ke ruangan dokter. Ini rumah sakit daerah, milik pemerintah. Tolong jaga etika kamu.”
“Lo ngusir gua?”
“Syukur kalau kamu paham.” Amel segera meraih jas dokternya yang ia letakkan di sandaran kursi. Dengan cepat ia memakainya lalu berniat meninggalkan ruangan itu.
Namun sayang, ketika berusaha melewati Roy, Roy dengan cepat mencegat tangan Amel, lalu ia masukkan tubuh Amel dalam pelukannya.
Dalam keadaan posisi demikian, tiba-tiba saja seorang perawat masuk.
“Eh, ma—maaf …,” ucapnya kemudian segera berlalu.
Amel dengan cepat melepaskan dirinya dari dekapan Roy, “Apa-apaan kamu, Roy! Jangan kurang ajar kamu sama saya,” tegas Amel.
“Gua akan bikin lo nyesel karena udah nolak gua, Mel.”
Amel dengan cepat menyentak tubuhnya, kemudian segera berlalu dari ruangannya. Ia tidak fokus saat ini, apa lagi ada seorang suster yang melihat ia berada dalam dekapan Roy. Bisa jadi ia salah paham setelah melihat semua itu.
Detik demi detik pun berlalu. Hari sudah semakin larut dan Amel berniat meninggakan rumah sakit karena tugasnya sebagai dokter sudah selesai untuk hari itu. Ia sangat lelah dan ingin segera membaringkan tubuhnya di atas ranjangnya.
Baru saja Amel masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ada panggilan suara dari Farhan. Amel segera mengangkatnya.
“Sayang, kamu di mana?” tanya Farhan dari balik panggilan suara.
“Aku lagi di mobil, mau jalan pulang. Aku capek banget hari ini, ada dua operasi yang baru saja aku selesaikan,” balas Amel.
“Oh, kamu sudah mau pulang ya … Nggak apa-apa deh, lain kali saja.”
“Memangnya ada apa, Farhan?”
“Nggak sih, nggak terlalu penting. Kamu hati-hati ya ….”
“Iya … Makasih. Aku pulang ya ….”
“Iya ….”
Amel pun memutus panggilan itu secara sepihak. Ia meletakkan ponselnya di atas dashboard lalu ia segera melajukan kendaraannya menuju kediamannya. Sementara di tempat berbeda, Farhan hanya bisa menatap lesu dua buah ketoprak yang sudah ia tata di atas meja. Berharap malam ini ia bisa makan bersama kekasihnya sebelum kembali menjalankan tugasnya sebagai dokter.
Amel melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Ia sudah tidak sabar ingin segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia sangat lelah hari ini.
“Selamat datang …,” ucap seorang pria ketika Amel baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
Amel ternganga. Ia tidak menyangka ada Roy di sana.
“Roy, ngapain kamu di sini? Keluar kamu dari rumah aku … Bi … Bibi … Kenapa sih bibi biarkan orang ini masuk rumah,” ucap Amel seraya memanggil sang ART.
“Bibi nggak ada di rumah. Gua menyuruhnya ke apotik untuk membeli sesuatu.”
“Roy, kamu tolong segera pergi dari rumah ini. Lagian kok bisa-bisanya kamu datang ke Bogor lalu masuk begitu saja ke rumahku?”
“Gua udah dapat izin dari mama dan papa lo.”
“Ini rumahku, bukan rumah orang tuaku. Jadi aku mohon, segera tinggalkan rumahku.”
Roy tersenyum miring. Ia raih ponselnya yang ia simpan di dalam saku celana, lalu ia mencari nomor seseorang di sana. Tidak lama, Roy tampak menghubungi seseorang. Hanya sebentar, lalu ia berikan ponselnya pada Amel.
“Nih, mama lo mau bicara,” ucap Roy.
Amel menghela napas. Ia terima ponsel itu lalu ia letakkan di daun telinganya.
“Ada apa, Ma?” tanya Amel.
“Mel, kata Roy barusan kamu mengusirnya dari rumah kamu?” Terdengar sebuah pertanyaan dari seorang wanita dari balik panggilan suara. Itu adalah suara wanita yang sudah melahirkan dirinya ke dunia.
“Iya karena nggak pantas dia ada di sini, Ma.”
“Nggak pantas bagaimana, Mel? Roy itu anaknya teman baik mama. Dia ada urusan pekerjaan ke Bogor dan sudah kemalaman. Dia menghubungi mama, bingung mau menginap dimana malam ini. Jadi mama kasih saja alamat kamu ke dia. Dia cuma numpang nginap satu malam saja, besok ia akan kembali ke Jakarta.”
“Diakan bisa nginap di hotel atau penginapan, Ma? Di sini banyak kok.”
“Amel … apa salahnya sih kamu tumpangi dia untuk menginap malam ini saja.”
“Tapi nggak pantas, Ma.”
“Ah, kamu itu berlebihan. Bukankah di sana ada bi Damini. Biarkan saja Roy menginap malam ini di sana.”
“Mama harusnya tu bilang ke Roy buat cari penginapan lain saja. Masa mama tega sih sama aku.”
“Mama ini segan sama teman mama. Udah ah, cuma satu malam saja kok. Lagian apa yang kamu takutkan? Roy nggak akan macam-macam kok sama kamu. Mama tahu banget kalau Roy itu pemuda yang baik.”
“Tapi, Ma—.”
“Mama nggak mau dengar alasan. Jangan jadi orang yang sombong begitu, Mel. Kasih tumpangan dulu’lah si Roy itu. Hanya satu malam saja.”
Amel menghela napas, “Oke,” ucapnya kemudian.
“Nah, begitu dong … Mama yakin kalau besok Roy akan pulang. Lagian di rumah kamu masih banyak kamar kosong’kan?”
“Iya, Ma.”
“Kamu gimana di sana? Baik?”
“Baik kok.”
“Farhan?”
“Iya … Ia dinas malam hari ini.”
“Jadi kapan Farhan akan melamar kamu?”
“Belum tahu, Ma. Katanya mau ikut pendidikan singkat dulu di Korea untuk bedah plastik. Tapi aku masih belum mau melepasnya ke sana. Aku takut nanti dia malah kepincut sama gadis Korea lagi.”
“Kamu ini berlebihan sekali. Ya sudah lah, mama mau istirahat. Lagian ini sudah sangat malam. Kamu baik-baik saja sama Roy. Roy itu anak sahabat baiknya mama jadi mama yakin ia tidak akan macam-macam kok sama kamu.”
“Ya sudah, Ma ….”
“Mama tutup ya, Sayang … Baik-baik di sana.”
“Iya, Ma.”
“Selamat malam, Cantik ….”
“Malam, Ma ….”
Panggilan suara itu pun terputus.
Amel memberikan ponsel itu dengan ketus ke arah Roy. Roy menerima ponselnya, sementara Amel sendiri segera melangkahkan kakinya menuju lantai dua di mana kamarnya berada.
Sesampai di depan pintu kamar, Amel segera membuka pintu itu, masuk ke dalam lalu membanting pintu kamarnya dengan kasar. Namun sayang, Amel lupa menguncinya dari dalam. Hal yang memang tidak biasa ia lakukan sebab selama ini ia hanya berdua saja dengan Damini di rumah itu.
Amel meletakkan tasnya di atas meja. Ia menghela napas sejenak, lalu segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Namun baru saja matanya hendak terpejam, pintu kamar itu terbuka. Roy sudah masuk ke dalamnya.
“Roy, mau apa kamu ke sini,” ucap Amel. Wanita itu segera bangkit dari ranjangnya.
“Di luar dingin. Gua mau numpang tidur di sini, boleh ya …,” ucap Roy. Wajahnya tampak memerah, seperti menyimpan sebuah birahi.
“Jangan macam-macam kamu Roy. Kamu sudah aku beri tumpangan di sini, jadi tolong bersikap sopan. Keluar dari kamar aku sekarang juga!” perintah Amel.
Bukannyaa pergi, Roy malah semakin mendekat ke arah Amel.
“Roy, jangan macam-maca kamu. BI … BIBI …,” teriak Amel memanggil sang ART.
“Bibi nggak ada. Entah di mana dia sekarang sebab gua nyuruh dia beli obat yang nggak ada, hahaha ….”
“Kamu … Kamu benar-benar b******n ya! Keluar nggak. KELUARR!!” teriak Amel seraya menunjuk tegas ke arah pintu.
Bukannya keluar, Roy malah meraih tangan kiri Amel yang posisinya masih menunjuk ke arah pintu. Ia tarik tangan itu hingga lagi-lagi tubuh Amel masuk ke dalam dekapannya.
“Apa-apaan kamu, Roy! Jangan kurang ajar kamu! Lepaskan aku!” Amel berusaha memberontak. Berupaya dengan sekuat tenaga melepaskan tubuhnya yang saat ini sudah dikuasai oleh Roy.
“Malam ini dingin, Sayang … Ayolah, kasih gua kehangatan,” lirih Roy. Pria itu berusaha mencium bibir Amel, namun Amel dengan sekuat tenaga berusaha menghindar. Berkali-kali ciuman Roy salah sasaran, sebab Amel terus memberontak.
“Dasar gila!! BIBI … TOLONG AKU, BI … BIBI ….” Amel masih berusaha berteriak, berharap sang ART segera datang dan membantunya lepas dari cengkaraman lelaki biadab yang saat ini sudah dikuasai nafsu setan.
“Bibi nggak ada … Udah’lah, jangan melawan. Gua akan bawa lo ke surga malam ini. Hahaha ….” Roy terkekeh. Kekehannya terdengar sangat mengerikan.
“Roy, kamu jangan macam-macam,” Amel mulai menangis. Tubuhnya sudah dicengkram dengan kuat oleh Roy. Bahkan Roy menarik tubuh itu ke menuju ranjang. Sesampai di ranjang, Roy menghempaskan tubuh Amel dan kembali menindihnya.
TAPP
Roy pun berhasil mendaratkan bibirnya di atas bibir Amel. Amel sekuat yang ia bisa, berusaha melepaskan diri. Namun tenaganya tidak cukup kuat melawan Roy. Apa lagi saat ini Roy dikuasai nafsu setan sementara dirinya sendiri masih sangat lelah.
Roy berusaha melecehkan Amel, namun Amel pun sekuat tenang berusaha mempertahankan diri dan kehormatannya. Amel terus berteriak, berharap ada yang datang menolongnya. Air matanya pun terus mengalir karena semakin lama ia semakin tidak punya tenaga untuk melawan Roy. Setiap Amel berusaha meraih sesuatu untuk pertahan diri, Roy selalu mencegahnya dengan meraih tangan itu lalu menguncinya agar tidak bisa kemana-mana.
Hingga hal yang tidak diinginkan pun akhirnya terjadi. Amel tidak mampu lagi mempertahankan diri. Roy berhasil menodainya, membuatnya terkulai lemas di ranjang dengan alat vital bersimbah darah. Darah perawan yang hilang begitu saja di tangan lelaki b***t yang sama sekali tidak Amel suka.