Eps 5

2190 Kata
Jam kosong, siapa sih yang nggak suka? Semua murid bertitle badboy pasti sangat menyukainya. Termasuk Lexi yang kini udah duduk dibangku karidor depan kelas sama ketiga temennya. Ngapain? Ya tebar pesonalah. Hahah .... Ssiit suutiittt! Matanya menyipit, menajamkan penglihatan tentang name teks yang nempel dibaju seragam sebelah kanan. “Jingga,” panggilnya lembut. Membuat cewek berambut sebahu itu menoleh. Kedua pipinya bersemu merah menatap Lexi yang langsung tersenyum manis serta mengedipkan satu mata. “Lailah ... waah, hari ini cantik banget. Butuh bantuan nggak? Keknya buku yang kamu bawa berat banget tuh.” Turun dari atas meja, mendekati adik kelasnya. “Anak orang, su.” Seru Zayn dengan gelengan kepala. “Herman, ini ashu hobbynya godain adek kelas mulu.” Celetuk Verso, menyandarkan punggung ke dinding, menikmati tontonan di hape Lexi yang ditinggalkan begitu saja. “Cuma sama Jingga, bor.” Balasnya santai. Tangannya terulur meminta tumpukan LKS yang ada ditangan Jingga. “Sini, aku bantuin.” “Iihh, nggak usah, kak. Nanti ngerepotin kakak.” Balas Jingga, tapi pasrah aja pas Lexi udah pegang bukunya. “Malah seneng kalo di repotin kamu terus.” Kembali tersenyum merayu dengan kedipan satu mata. Melambaikan tangan, tanda pamit sama teman-temannya. Ello geleng kepala. “Herman, itu bocah mikirin selangkangann mulu.” Lexi melotot tajam ke Ello. “Bacot lo gue sumpel pake s*mpak yang lo tinggalin diapartemen gue!” marahnya. Melirik Jingga yang ada disebelahnya. Bukannya marah, tapi malah nahan tawa. “Udah ah, jan dengerin bacotnya Ello. Dia bacotnya kurang garam, makannya kalo ngomong suka pedes. Yuuk, kekelasmu aja.” “Bajingaan!” umpat Ello. “Gue doain ucet lo encer!” teriak Ello melihat sahabatnya itu melangkah dengan asik gombalin adek kelasnya. “Hah, jadi kamu masih jomblo?” tanya Lexi dengan ekspresi kesenengen. Jingga ngangguk samar dengan pipi yang merona. Mengalihkan pandangan agar rona dipipi nggak kelihatan. Lexi tertawa dalam hati, ia tau, ini bocah pernah sekali masuk club. Keluar dari kamar penyewaan bareng seorang cowok yang juga sekolah disekolahan sama dengan mereka. hanya beda kelas saja. Masuk kamar berdua, ngapain coba kalo enggak tanam cebong? “Kak Lexi udah ... uumm ... udah punya cewek?” tanya Jingga malu-malu. Lexi tertawa kecil, kembali melirik Jingga. “Aku belom pernah punya cewek sih. Cuma deket aja, pas mau jadian ... eh, akunya suka ditinggalin. Herman bener, ppckk! Gini nih nasib orang kurang ganteng.” Curhatnya, tapi ... bo’ong. “Kamu, mau jadi cewekku?” isengnya lagi. Yang diisengin langsung baper, bersorak dalam hati. Pertanyaan macam apa ini? Aaa! Aku mau bangeett! “Uumm ... ak—“ “Nih,” menyerahkan tumpukan LKS saat mereka sudah sampai didepan kelas. Jingga menatap wajah tampan didepannya lebih dulu. Detik kemudian kedua tangan terulur menerima buku itu. “Makasih, kak.” Jawabnya lembut. “No problem.” Mengacak rambut Jingga dengan tatapan cinta. “Balik dulu yah.” Nggak peduliin si Jingga yang keliatan enggan ditinggal, bahkan terlihat mau ngomong sesuatu. Lexi berbalik, kedua tangan dimasukkan kesaku celana. Lalu bersenandung kecil sambil berjalan balik ke kelas. Sampai dibelokan, ia melihat Mega yang baru saja masuk ke toilet. Matanya memicing, mempunyai niat tertentu. Celikukan ke kiri kanan, merasa tak ada orang, ia segera melangkah pelan menuju toilet timur. Berdiri diluar toilet wanita menunggu Mega keluar, satu kaki tertekuk ke dinding dengan tubuh yang bersandar tembok. Beberapa menit kemudian, Mega keluar, terlihat sangat terkejut mendapati Lexi ada didepannya. “Kak Lexi, kok disini?” tanyanya gugup. Lexi tersenyum. “Liat kamu keluar kelas, jadi aku buntutin.” Bohongnya. Mega tersenyum, ada kebahagiaan karna merasa diperhatikan. “Iihh, kak Lexi.” Genitnya. “Uumm, masuk lagi yuk.” Ajak Lexi. Mata Mega membulat. “Masuk mana, kak?” “Lah, pura-pura bego lagi.” Menyeret tangan Mega untuk kembali masuk ke toilet. Lalu mengajaknya masuk kebilik nomor tiga. “Sini.” Mendorong tubuh Mega yang memang semook itu ke dinding. Tak lupa ia mengunci pintu sebelum .... “Kamu cantik banget,” membelai wajah Mega dengan mesra. Yang dibelai pun nggak nolak, malah kesenengen. Langsung lingkarin tangan ke pinggang Lexi. “Kakak ganteng banget.” Ungkapnya jujur. “Aku boleh cium?” ijin Lexi sebelum melakukan yang ia inginkan. Kedua pipi Mega makin merona, detik kemudian ngangguk malu. Dasar, cewek gampangan! Nggak nunggu lama, Lexi segera nempelin bibirnya ke bibir Mega yang sedikit tebal. Melumatnya pelan, Mega balas melumat, permainannya ternyata lebih agresif. Tak tinggal diam, tangan Lexi bergerak turun, menyentuh salah satu d**a Mega yang tidak kecil. Meremasnya, satu tangan membantu tangan yang lain untuk membuka kancing, hingga kedua dadaa yang menghimpit aliran sungai itu terlihat. Dengan bibir yang masih berpagutan, tangan Lexi mulai bekerja dengan semestinya. Tatapannya beralih kedada Mega yang sudah berhasil ia buka. Mengecup bagian dadaa, namun semua terhenti saat ia melihat ada bekas merah disalah satu dadaa itu. “Lho, kok nggak jadi, kak?” tanya Mega yang sudah terlihat ingin. “Benerin baju lo. Itu usus lo abis di gigit sama drakula.” (usus, bacanya dibalik) Seketika itu wajah Mega memerah, lalu menunduk. Cepat ia membenarkan baju. Tak berani menatap Lexi yang sekarang terlihat cuek sama dia. Terlebih Lexi mulai membuka kunci, lalu melangkah keluar dari bilik. “Kak Lexi,” panggil Mega lirih, mengejar langkah Lexi. “Nanti sepulang sekolah, kita jadi jalan, kan?” Menghentikan langkahnya. Menatap Mega yang ngengondeli baju belakangnya. “Enggak, gue nggak mau jalan sama cewek yang udah punya pacar.” “Aku bel—“ “Lo kan cewek baik-baik, nggak mungkin kan, lo biarin cowok lain nyusu seenaknya di usus lo? Kalo sampai itu terjadi, itu namanya gampangan dong. Dan gue yakin, lo bukan cewek yang seperti itu. udah, setia aja sama cowok lo. Gue nggak akan lagi gangguin.” Kembali melanjutkan langkah dengan kedua tangan yang ada disaku celana. Membiarkan Mega terpaku dengan sangat kesal. “Si Rifki kamvret! Kenapa sih, pake dikasih stempel! Kan gagal dapetin cowok tertampan seantero Prambudi.” ** Teng! Teng! Teng! Bel tanda pelajaran usai sudah dibunyikan. Lexi memasukkan buku pelajaran yang ia buka asal-asalan. Menatap Ello yang udah nyampirin tas kebahu. Lalu merogoh ponsel disaku celana, kembali duduk, mengetik pesan balasan yang entah tertuju ke siapa. “Chat’an sama embak ya?” tebaknya. Dia sendiri mulai berkemas. Ello hanya menjawab dengan anggukan kepala. “Eh, acara ultah sekolah kapan si?” “Malam minggu besok.” Sahut Verso yang tentu ikutan nyimak obrolan temannya dibelakang. Lexi menatap Ello yang kembali mengusap layar diponselnya. “Kenapa? Lo nggak bisa ikut?” “Bisa sih. Gue nggak ada acara kok.” Jawabnya tanpa beralih dari ponsel. “Basecamp, cuk!” ucap Zayn seraya berdiri menghadap ke teman-temannya. Membuat ketiga temannya mendongak menatapnya. “Tilo disana. Barusan gue di wa Yosel.” Ngomongnya menggebu. Verso, Lexi dan Ello langsung berdiri. Tanpa nunggu apa-apa lagi, mereka segera berlari keluar dari kelas. Berlari seperti dikejar hantu, eh salah. Seperti dikejar polisi. Segera naik ke motor masing-masing, memasukkan kunci motor ketempatnya, detik kemudian tancap gas dari area sekolah. Kebut-kebutan dijalan dengan sangat asik, bahkan nggak peduli dengan pengguna lain yang tentu ngomel karna ulah mereka. Membahayakan pengguna lain, katanya sih gitu. Tapi, yang pentingkan belum celaka. Heheh .... Dengan waktu lima belas menit, keempat motor itu memasuki area basecamp yang ada dibawah jembatan. Teman-teman mereka yang notabe memang anak-anak jalanan sudah babak belur dan hampir sekarat. Tanpa nunggu lagi, mereka langsung turun, berlari masuk kedalam kerumunan Tilo dan yang lainnya. Dua anak yang babak belur memilih mundur, tak kuat lagi untuk gelud. Sementara Lexi melawan dua orang yang tentu masih memakai seragam sekolah yang sama dengannya, hanya badge nama sekolah saja yang berbeda. Bhuk! “Mampus lo!” umpatnya saat si lawan jatuh terkena pukulan darinya. Zayn berlari saat seseorang hendak memukul punggung Lexi dari belakang. menarik kerah baju salah satu teman Tilo, lalu melayangkan pukulan tepat dirahang si cowok. Membuat cowok itu jatuh ketanah, meringis kesakitan karna bibirnya berdarah. “Anjiing!” teriak Tilo cukup nyaring. “Cabut!” perintahnya ke teman-teman yang lebih dari sepuluh orang itu. “Bancii! Dasar pecundang!” balas Verso. “Ccih! Nyali seempak!” teriak Lexi mengantar kepergian beberapa motor itu. Setelah mereka pergi, semua kembali berkumpul di sebuah gubuk kecil yang dibangun mirip gazebo. Mengistirahatkan diri disana. Salah satu diantara mereka keluar dari dalam basecame, membawakan kotak p3k. Lalu mereka mulai mengobati luka masing-masing. Lexi mengambil rokok dari dalam tas, mulai menyelipkan sebatang kemulut, lalu menyalakannya. Detik kemudian kepulan asap menguar keudara. “napa Tilo bisa kesini?” Yosel, cowok bertubuh tinggi dengan rambut sedikit gondrong itu menghentikan tangan yang mengusap antiseptik ke sudut bibirnya. “Perkara komenan Fa’at semalam di sss doang.” Ello mengeryit. “Komenan?” tanyanya tak percaya. Fa’at ngangguk membenarkan. Memijat lengannya yang terasa ngilu. “Rio semalam komen difoto cewek. Keknya sih ceweknya satu sekolahan sama kalian.” Tutur Fa’at. “Foto ciwi?” kembali Verso membeo. “Ceweknya kan foto Cuma pakai tanktop doang, dah gitu tali behanya keliatan. Gue kan bercanda, komen ‘Icip dikit keknya mental’. Itu si Rio langsung nginbox gue.” “Terus, terus,” sahut Lexi yang penasaran. Fa’at geleng kepala. “Enggak gue tanggepi. Ya intinya sih dia peringatin kalo itu cewek udah jadi cemceman dia.” Kembali Fa’at mengambil kapas untuk mengobati luka di keningnya. “Ini gue jadi penasaran. Nama akunnya apa?” tanya Zayn yang jadi kepo. Fa’at terdiam sesaat, mengingat akun yang semalam. “Namanya Meiga dibumi.” “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” seketika itu Lexi tersendak ludah sendiri. ‘Itu kan yang tadi gue sosor. Anjingg! Ternyata obral murah. Untung tadi nggak sempet ngemut.’ ** Mobil hitam yang membawa Gita berhenti didepan rumah megah berlantai dua. Iklan mematikan mesin mobil, menatap istrinya yang diam dengan wajah marah. “Udahlah, Git. Jan marah terus. Aku kan udah minta maaf.” bujuknya lagi. Tak hiraukan itu, Gita memilih melepas sabuk pengaman, lalu membuka pintu dan turun. Berjalan santai untuk masuk kedalam rumah. Iklan mengekor, memperhatikan Gita dari belakang. baru ia sadari, ternyata sejak tadi gita pakai celana pria, dan jaket yang Gita pakai juga milik seorang lelaki. Menarik lengan istrinya dengan cepat, membuat Gita berbalik kearahnya dan hampir saja oleng. “Mas, apa sih, aku hampir jatuh lho.” Kesal Gita, mengibaskan tangan Iklan kasar, sampai tangannya terlepas. “Kamu pakai jaketnya siapa? Dan ... itu.” menuding celana warna coco yang Gita pakai. “Itu celana siapa yang kamu pakai?” “Bukan urusanmu, mas.” Kembali Gita berjalan untuk menaiki tangga, tentu ingin mengambil semua barang-barang miliknya. “Aku udah pindahin barang-barangmu ke kamar bawah. Kamar kita.” Seru Iklan sebelum Gita mencapai tangga. Gita menghentikan langkah, menoleh, menatap Iklan dengan sangat kesal. Tak mengatakan apapun, ia segera masuk kekamar yang telah ia huni dengan suaminya selama beberapa bulan setelah perutnya membesar. Mengambil baju dan membawanya masuk ke kamar mandi. Setelah keluar, Gita kembali mendengus kesal melihat suami yang sudah menunggunya. Menunggu untuk bicara secara baik-baik. “Kamu kenapa masih dirumah, mas? Enggak kerja?” tanyanya. Mengambil ponselnya yang disimpan Iklan diatas meja. Iklan mendekati Gita yang baru saja mendudukkan bokongg di tepi kasur. Melingkarkan tangan kepinggang istrinya. “Sayang, aku minta maaf. Aku kemarin khilaf, tolong maafin aku ya.” Bujuknya lagi. Gita mengganggam tangan Iklan yang berada dipinggang, memaksa tangan itu untuk pergi dari pinggangnya. Namun Iklan mengeratkan pelukan. Tangan itu malah balas mengganggam tangan Gita erat. “Mas, lepasin.” Pintanya dengan ketus. “Kenapa sih, kamu itu istriku, Git.” “Aku lagi marah sama kamu, mas. Kamu nggak mungkin lupa kan?!” jawabnya ketus. Memaksa mencium pipi Gita, membuat Gita segera mengelap kasar pipi bekas bibir Iklan. “Aku akan buat agar kamu nggak marah sama aku.” “Stop, mas. Aku nggak mau kamu cium, cium. Bibirmu itu udah pernah nyium wanita lain. Aku jijik, mas!” tolak Gita, berusaha keras agar bisa beranjak dari duduknya. Namun sangat kesusahan. “Aku udah sikat gigi, Git. Jadi nggak ada lagi bekas mulut Putri di bibirku ini. Lagian itu udah seminggu yang lalu. Jadi untuk sekarang aku mau sama kamu.” Kembali Iklan memaksa mencium Gita. Tangan yang satu masih mengunci erat tangan Gita, sementara tangan satunya mulai meraba dadaa yang tentu enggak kecil. “Hentikan, mas! Aku nggak mau!” tolaknya dengan berteriak. “Menolak ajakan suami itu dosa, Git. Dan tentu dilarang oleh agama. Kamu mau melakukan dosa, hn?” tangan itu terus meremas pelan dadaa Gita. “Kamu pikir berkhianat itu nggak dosa, mas! Itu jauh lebih berdosa. Karna sudah membohongi istrimu!” Tangan Iklan membuka resreting blouse. Mengeluarkan salah satu dadaa Gita dari dalamnya. “Aku sudah katakan berkali-kali, sayang. Aku hanya bermain sebentar. Kamu udah gede, Git, udah bisa bedain yang namanya bermain dan serius. Aku kan seriusnya Cuma sama kamu. Nggak sama Putri. Jadi ... nggak seharusnya kamu marah. Jangan bersikap seperti anak kecil, Git.” “Mas, aahh ... hentikan, mas! Hentikan! Aku nggak mau!” Tak pedulikan teriakan penolakan istrinya. Iklan terus menciumi benda kenyal yang menjadi favoritnya. Mengecupnya, melumatnya, menjilati dan terlihat sangat menikmati. “Kamu gila, mas! Kamu benar-benar sintiing!” “Huuss, jan bicara sembarangan. Dosa ngatain suami seperti itu. nikmati saja apa yang akan kita lakukan ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN