Lexi mengerjap pelan, merentangkan kedua tangan sebelum akhirnya melek sempurna. Menutup mulut yang menguap lebar. Meraih ponsel yang tak jauh dari kasur, kembali memeluk guling disamping. Karna ternyata masih terlalu pagi. Matanya kembali merem, tapi itu tak bisa berlangsung sedikit lebih lama.
Hidungnya mencium bau makanan yang sangat jarang ia temui. Ya, karna hampir tiga tahun ini Lexi selalu membeli makanan di luar. Tak pernah sekalipun dapurnya ada orang nyalain kompor. Jadi ... itu gas usianya udah tua!
Gegas ia bangun, nggak peduliin dia yang masih telanjang d**a, karna semalam tidur nggak pakai baju. Terlalu gerah setelah .... itu pokoknya.
“Lo ngapain?” tanyanya tak ramah, memperhatikan Gita yang sibuk dengan teflon diatas kompor.
Wanita yang perutnya buncit itu menoleh, sedikit mengulas senyum. Tapi detik kemudian melotot menatap Lexi yang tak pakai baju. Memperlihatkan bentuk tubuhnya yang memang sangat bagus. Secara ya ... Lexi kan model.
“Pakai baju dulu sana.” Usirnya dengan kembali menatap teflon didepannya.
“Cckk! Lo nggak perlu masakin buat gue. Gue biasa sarapan di kantin.”
“Oh, iya. Biar nanti aku makan sendiri semuanya.” Jawab Gita sedikit melirik, lalu mematikan kompor.
Lexi menatap omellet yang hampir sepiring penuh. “Lo mau makan semua sendiri?!” tanyanya hampir tak percaya.
Gita masih tak mau menatap lelaki yang telanjang d**a itu. ngangguk dengan meniup omellet dipiring. “Kalo nggak aku makan semua, siapa yang mau makan?”
“Cckk! Dasar ikan hiu, makannya banyak! Bikin kere!” ngeloyor menuju kulkas, ngambil sebotol air dingin, lalu meneguknya.
“Sayang, kamu pakai baju sana. Aku risih banget liatnya.” Nyengir saat melihat pelototan Lexi. “Maksud aku ... Lexi. Maaf deh, aku ini sering lupa. Jadi, kalo awalnya udah ngomong A dan selanjutnya pindah B, aku susah ngingat lanjutannya.”
Penjelasan yang membuat Lexi memutar bola mata, males. Kembali masuk kekamar untuk mandi, lalu berdandan dengan seragam sekolahnya. Keluar kamar sudah rapi ala dia, ada tas yang menyampir dibahu. Kembali melotot menatap Gita yang sekarang meneguk minum.
“Omellet tadi pergi kemana?” tanyanya sambil celikukan menatap bawah meja.
Gita mengelus perut bagian pusar. “Udah didalam sini.” Jawabnya santai.
“Astaga,” serunya dengan gelengan kepala. Kembali membuka kulkas, lalu melotot lagi. “Lo abisin telur selusin?!” tanyanya dengan nada meninggi.
Gita beranjak dari duduk, satu tangan memegang piring kosong, lalu tangan yang satunya memegang gelas yang juga kosong.
“Iya sih, soalnya aku laper banget. Dari kemarin sebelum akhirnya aku tidur, aku nahan laper. Nggak enak banget lho. Sampai anakku yang didalam sini gerak terus.” Jawabnya santai, berjalan menuju dapur, lalu meletakkan yang ia bawa didalam wastafle.
Lexi menyapu wajah dengan emosi yang memanas dikepala. “Lama-lama gue beneran kere nampung lo disini.” kesalnya, memilih ngambil s**u putih, menuangnya ke gelas, lalu meneguknya.
“Sayang, aku boleh pinjem cd sama celana, sekalian baju kamu nggak?”
“Ppfftt ... uhuk ... uhukk ....” s**u yang hampir tertelan itu muncrat. Di susul batuk karna tersendak. “Beneran settan!” umpatnya lagi.
Gita menoleh, tapi tangannya masih sibuk mengoles spon busa ke piring. “Pelan-pelan, sayang. Aku enggak minta. Tadi udah kenyang.” Lalu kembali menatap piring ditangan. “Aku Cuma mau pinjem, masa’ dari kemarin aku enggak ganti. Kan, nggak nyaman, bauk juga.”
Menaruh kembali gelas yang masih ada s**u itu. Udah nggak minat minum lagi. Memilih pergi ke sekolah dan sarapan di kantin.
“eh, sayang!” melihat Lexi hampir tak terlihat, Gita berjalan sedikit berlari. Berdiri tepat dibelakang Lexi yang sibuk memakai sepatu. “Sayang, aku boleh ... uum, kamu ada duit enggak? Pinjem dulu. Buat ongkos pulang ke rumahku. Nanti aku mau ambil duit pas mas Iklan pergi kerja.”
Setelah sepatu nempel di kaki, Lexi menegakkan tubuh, menatap Gita dengan sangat kesal. “Lo bisa nggak sih, panggil gue Lexi. Nama gue tuh LEX-Xi.”
Gita manyun, lalu menggeleng pelan. “Yang nyangkut di kepala udah itu.” jawabnya lirih, membuat Lexi kembali mendengus.
Lexi menatap Gita dari atas sampai bawah. Lalu merogoh dompet dari saku celana, mengeluarkan lima lembar uang berwarna merah. Lalu mengulurkan ke Gita. “Nih, lo pakai beli baju sama yang lain. Di depan apartemen ada toko baju, beli yang murah dulu. Gue nggak ada uang cash. Cukup-cukupin aja buat makan lo ntar siang. Soal pulang ke rumah suami, ntar sepulang sekolah, gue anterin.” Membuka pintu apartemen, lalu keluar. Menatap Gita yang memegang uang masih dengan menatapnya, seperti enggan untuk ditinggal.
Kembali Lexi terlihat menghela nafas. “Afalin kode apartemennya. Biar kalo lo keluar bisa tetep masuk lagi. Sini, gue ajari kodenya.”
Menurut, Gita berjalan keluar, membiarkan pintu itu menutup sendiri. Lalu memperhatikan tangan Lexi yang memencet angka per angka dengan sangat pelan. Detik kemudian pintu kembali terbuka.
“Hafal, kan?” tanya Lexi sedikit melirik wanita yang masih kucel dengan kaos maroon miliknya tadi malam.
Gita diam sejenak, lalu ngangguk dengan sedikit senyuman. “Iya, hafal.”
“Kalo ada apa-apa lo bisa telfon gue pakai telpon yang didalam. Nomor hape gue ada dikamar.” Gita kembali ngangguk dengan senyuman. “Yaudah, gue berangkat ke sekolah. jan ngeluyur jauh-jauh. Ilang susah nyarinya!” setelahnya berbalik, ngeloyor meninggalkan Gita yang masih berdiri menatapnya.
“Sayang!”
Sekitar tiga meter berjalan, Lexi kembali mendengus. Tapi tetap menoleh, menatap wajah cantik yang sekarang tersenyum kearahnya.
“Hati-hati.” Ucap Gita, lalu melambai sebagai tanda perpisahan.
Lexi menggaruk kepala bagian belakang, mengerutkan kening. Tak membalas apapun, memilih kembali berjalan, masuk kedalam lift.
**
Seperginya Lexi, Gita kembali masuk kedalam apartement. Kembali dengan kesibukannya, membersihkan seluruh rumah, termasuk ngepel dan mengelap meja-meja yang berdebu. Setelahnya, ia masuk ke kamar mandi, tapi kosong, nggak ada alat mandinya.
Bibirnya manyun menatap ke sekeliling, tak ada sabun ataupun shampoo. Detik kemudian, bibirnya melengkung menciptakan senyuman manis. “Di kamarnya sayang kan ada kamar mandi. Numpang mandi di kamarnya aja, kan nggak apa-apa.” Berceloteh sendiri.
Segera Gita keluar dari kamar mandi yang ada diluar. Lalu memegang handle pintu kamar Lexi. Diam sejenak, takut juga, karna harus masuk kamar seseorang yang baru saja ia kenal. Membuka pintu pelan, matanya menyapu kesetiap sudut kamar yang gelap. Gita menekan saklar yang tak jauh dari pintu, membuat isi dalam kamar terlihat semua. Geleng kepala saat melihat selimut yang berantakan, bantal pun jatuh dilantai. Laptop ada dikasur, buku-bukunya acak-acakan dimana-mana.
“Astaga, kamar cowok tuh kek gini ya. Harusnya kan rapiin dulu sebelum pergi, biar nggak dipakai rumah sama kecoak.” Melangkah, mengambil bantal, lalu melipat selimut. Tak sengaja matanya menangkap benda yang tergeletak dilantai, tepatnya dibawah ranjang.
“Ya ampun ... ini kan sem—pak.”
Usai membersihakan kamar, Gita mencuci baju kotor milik Lexi, semuanya, termasuk seprai kotor. Selanjutnya ia mulai mandi, sudah nggak betah sama gerah. Mandi sekitar tiga puluh menit, lalu keluar hanya dengan melilitkan handuk dibagian tubuh tertentu saja.
Karna nggak mungkin akan pakai pakaian yang tadi, terpaksa ia membuka lemari baju Lexi. Memilih baju yang ada didalam lemari dan memakainya.
“Yah,” menatap dadanya yang tak memakai beha. “Nggak nyaman kalo mau ke toko dengan begini. Aku bakalan di ketawain, pastinya.”
Mengambil jaket Lexi dan memakainya, membuat bentuk tubuhnya tak terlalu terlihat nyata. Menghela nafas lega, lalu memutuskan untuk keluar dari apartement.
**
“Terima kasih.” Ucap Gita seraya menerima kantong belanjaan.
Melangkah keluar dari swalayan yang terletak disampirng toko pakaian yang tadi sempat ia kunjungi. Berdiri dipinggir jalan, menanti jalanan sepi untuk menyabrang. Karna apartement Lexi ada disebrang jalan sana. Tangan yang satu sibuk memasukkan uang kembalian ke saku jaket.
Membuatnya tak sadar jika ada mobil yang berhenti tak jauh darinya. Seorang lelaki yang memang tampan dan terlihat berwibawa dengan balutan jas lengkap itu keluar. Menutup pintu mobil cepat, berjalan mendekati Gita yang kini melotot menatapnya.
Berlari, karna Gita berusaha menghindar. Mencekal tangan wanita yang menemani hidupnya selama lima tahun ini. Menarik lengan Gita, membuat wanita hamil itu berbalik menatapnya.
“Gita!” serunya marah. “Kamu kemana semalam, hn? Siapa lelaki yang membawamu itu?! sejak kapan kamu bermain dibelakangku?”
Gita mengalihkan pandangan, lebih tepatnya membuang muka. Enggan menatap wajah Iklan yang selalu membuatnya jatuh cinta. Berusaha melepaskan cekalan tangan Iklan dilengannya, tapi kesusahan.
“Lepas, mas.” Pintanya, tapi tak dihiraukan.
“Ayo pulang.” Ajaknya, menyeret tangan itu untuk masuk kedalam mobil.
“Enggak, aku nggak mau pulang ke rumahmu, mas. Kamu udah jahat sama aku. Lepasin, mas!”
Tak pedulikan itu, Iklan menarik lengan Gita, membuka pintu mobil samping kemudi. Memaksa Gita untuk masuk kedalam. Lalu menutup pintu itu. dia sendiri memutar, lalu masuk ke kursi kemudi, mencekal lengan Gita saat istrinya hendak keluar dari mobil.
“Gita, pliis. Kamu nurut!” pintanya, terdengar perintah.
Gita diam, tak bisa lagi menolak. Perutnya terasa perih karna lapar. Akhirnya memilih ngalah, menuruti saja apa yang Iklan katakan. Menit kemudian, Iklan mulai menjalankan mobil.
“Kamu belum jawab, Git. Semalam kamu kemana?”
Memilih diam tak menjawab. Membuka plastik putih yang berisi beberapa roti, membukanya lalu ... makan. Butuh banyak tenaga untuk bicara.
“kamu marah karna Putri hamil?” tanya Iklan dengan sedikit melirik Gita. “Aku bingung, kenapa kamu mesti marah sih, padahal aku nggak ngeduain kamu.”
“Mas!” kali ini Gita sedikit berteriak, menelan kunyahan rotinya sebelum melanjutkan bicara. “Kamu udah membuat Putri hamil, masih bilang enggak mendua? Kamu waras nggak sih, mas!”
Mobil berhenti tepat dilampu merah, sedikit beringsut, Iklan menatap Gita serius. “Aku nggak akan nikahi dia, Git. Aku nggak pernah cinta sama Putri. Cintaku Cuma ke kamu doang. Beneran nggak ada yang lain. Bahkan aku tak pernah punya niat untuk poligami. Apa sih yang kamu sebut mendua? Heran deh!” kesal Iklan menjelaskan semuanya.
“Kamu udah pernah tidur sama Putri berkali-kali, mas. Itu namanya mendua.”
“Cckk, itu namanya berdua, bukan mendua.” Sahut Iklan dengan berdesis pelan. “Kamu salah pemahaman aja.”
Gita meradang, beringsut untuk menatap suaminya yang mulai menjalankan kemudi lagi. “Kamu beneran enggak waras, mas. Kamu tidur bareng, melakukan hubungan ranjang sama Putri. Bahkan aku liat sendiri kalian itu ciuman didapur. Itu masih kamu bilang salah pemahaman? Aku udah gede, mas.”
Iklan menoleh sebentar, lalu kembali menatap jalanan depan. “Git, kemarin udah aku jelaskan. Aku Cuma bermain sebentar. Aku khilaf. Khilaf sebentar, enggak lama. Cuma tiga bulan. Lagian kita ini Cuma sekedar kawin, enggak ada niat untuk nikahin dia. Kalo kamu udah gede, harusnya kamu tau, kalo manusia itu pasti banyak khilaf. Termasuk apa yang aku lakukan ini.”
“Mas, khilaf itu sekali lho. Enggak berulang kali. kamu berhubungannya berapa kali, hn?! Itu kamu bilang khilaf? Gila kamu, mas!” kesal Gita. Tak jadi makan roti. Kembali memasukkan roti kedalam kresek dan menutupnya.
“Gita, kita nggak pernah tau lho, berapa kali kita akan khilaf. Tapi ... aku udah nggak khilaf lagi. Aku udah putusin untuk nggak lagi berhubungan sama Putri.”
“Terserah, mas. Kalo gitu, aku juga mau khilaf.”
Iklan mendengus kesal. “Khilaf apa?”
“Aku mau main ranjang juga selain sama kamu, dan sebut saja itu khilafku.”