Ddrrt ... ddrtt ....
Ponsel Iklan yang ada di atas meja berdering cukup nyaring, bahkan suara getarnya sampai membuat ponsel sedikit berpindah.
“Arrg! Sialann!” umpatnya kesal.
Dengan sangat terpaksa ia harus melepaskan kesenangannya. Berdesis saat melihat nama kontak ‘Putar keberuntungan’ dilayar yang berkedip itu.
“Hallo, Put,” sapanya seraya menempelkan ponsel ke telinga.
“Mas, kamu kok nggak ke kantor?” rengekan Putri disebrang sana.
Iklan menatap Gita yang sibuk membenahi pakaiannya. “Aku tadi ketemu Gita dijalan, makanya aku ajak dia pulang. Emang kenapa? Bukannya hari ini aku nggak ada jadwal penting?”
“Iihh, lupa lagi! Heran deh, kamu kok pelupa sih! Perasaan itu kepala kamu juga bentuknya sama kek milik orang. Kok pelupa!”
Iklan terkekek kecil, membuat perasaan Gita makin tersulut emosi. “Iya, iya, aku ke kantor.”
Tanpa menunggu omelan Putri lagi, Iklan langsung mematikan telpon. Memasukkan ponsel ke saku celana, lalu menatap Gita yang sekarang sedang mencarger hape.
Dengan seenak jidat Iklan melingkarkan kedua tangan ke perut Gita, membuat perut Gita sedikit merasa kram karna terkejut.
“Mas!” teriak Gita tak terima karna Iklan malah mencium pipinya. Kedua tangannya mengelus perut yang buncit itu, membuat janin yang ada didalam sana bergerak aktif merasakan sentuhan sang ayah.
“Git, dia nendang nih.” Sedikit terkekeh, menarik lengan Gita untuk menghadapnya. Kembali mengelus perut Gita. “Hay, anaknya Ayah,” sapanya pada si perut. “Kamu kangen sama Ayah ya,” lalu melirik Gita yang ternyata memperhatikannya. “Maaf ya, Ayah ada rapat dengan beberapa pemegang saham. Jadi ... ntar malam aja Ayah nengokin kamu.”
“Cckk!” desis Gita dengan kesal. Ingin rasanya ia menjambak Iklan yang masih jongkok didepannya ini. Namun ia tahan, tak ingin membuat kepala Iklan makin tak waras.
“Sayang, Ayah kerja lagi ya. Kamu jan nakal. Jagain mama biar setia sama Ayah.”
Mata Gita melotot dengan sangat terkejut. “Nggak usah ngomongin setia, setia, gitu deh, mas. Kamu aja enggak setia, pake ngomong setia, setia, sama anakku.”
Iklan mencium pusar Gita, lalu beranjak. Tersenyum manis ke Gita, mengelus pipi cubby yang selalu terlihat menggemaskan. “Aku ngomong apa adanya lho, Git. Kamu itu harus belajar cara menghormati suami. Nggak boleh lagi kabur-kaburan, gimana kalau tadi aku nggak ketemu sama kamu? Kamu bisa jadi gelandangan di Jakarta ini.”
Gita menepis tangan Iklan kasar, bibirnya cemberut karna rasa kesal. “Udah lah, aku males debat sama kamu. Sana, pergi aja!”
Bukannya marah, tapi Iklan malah tertawa kecil, lalu mencubit pipi Gita dengan sangat gemas. “Lha, jan ngambek, sayang, ini rapat beneran penting lho. Janji, ntar setelah rapat keduaku selesai, aku akan cepet balik buat nemenin kamu di rumah.”
Gita melotot, bahkan ia berharap agar tak ketemu lagi sama suaminya yang pintar ini. “Terserah, mas. Kamu mau pergi lama aku juga nggak masalah.”
Senyum masih lebar, merengkuh kepala Gita, lalu mendaratkan kecupan ke kening. “Iissh, udah ah, ngambeknya nggak boleh teriak. Kasihan anakku. Ntar denger kamu marah-marah. Bisa jadi dia ikut kek kamu, ngomongnya teriak gini. Aku janji, aku akan cepet pulang. Kamu ... kangennya diampet dulu ya,”
Gita mendorong dadaa Iklan untuk menjauh. “Hhmm.” Memilih tak menjawab dari pada capek sendiri.
“Yaudah, aku pergi ke kantor dulu ya, sayang.” Mengacak puncak kepala Gita dengan sangat gemas.
“Hhmm.”
Kembali Iklan terkekeh. “Git, aku masih memperkerjakan Putri karna dia butuh biaya buat hidup di Jakarta. Udah lah, jan ngambek lagi. Aku bener-bener nggak akan nikahin dia kok.”
Gita tak menjawab, hanya menghela nafas kasar dengan tangan yang sibuk menatap layar ponsel. Nggak ngapa-ngapain Cuma liat jam yang udah ada diangka dua lebih beberapa menit. ‘Anak SMA udah pulang sekolah belum ya?’ itulah yang sejak tadi ada dipikiran Gita.
“Gita sayang, udah dong ngambeknya.” Kembali menarik lengan Gita untuk menghadapnya.
“Mas, aku nggak ngambek. Bahkan aku nggak lagi peduli kamu mau ngapain sama Putri.” Kesalnya dengan menatap wajah Iklan yang selalu terlihat santai.
Senyum santai itu terbit di bibir Iklan. “Aku nggak akan nikah sama Putri, sayang. Aku akan setia sama kamu. Kamu tetep akan jadi istriku satu-satunya.”
Gita mendengus, matanya terpejam dalam, berharap emosinya mereda, walau hanya sesaat. “Udah sana. Aku lapar, mau makan.” Menepis tangan Iklan yang mengelus perutnya. Lalu berjalan keluar kamar dengan membawa ponsel yang batrenya baru beberapa persen.
Iklan tersenyum senang. Satu masalahnya terselesaikan, akhirnya bisa kembali menemukan Gita yang menghilang semalam. Dari sejak kuliah dulu, ia sudah jatuh cinta pada gadis kampung yang memang paling berbeda dari yang lainnya. Polos, cantik alami dan baginya sangat menyenangkan. Begitu nyaman berada disamping Gita, segala perlakuan Gita bisa membuatnya merasa tenang.
Memutuskan untuk menikahi adik kelasnya beberapa tahun ini memang bukan hal mudah. Karna dengan itu, ia memikul seluruh tanggung jawab orang tua Gita. Termasuk membiayai kuliah Gita sampai Gita lulus satu tahun lalu.
Tentang kehamilah Gita, mereka tak menunda, tapi memang Iklan tak bisa memberinya nafkah batin selama awal pernikahan sampai beberapa tahun kedepannya. Kecelakaan yang menimpanya sebelum mereka menikah, membuat kejantannannya tak bisa bangun. Jadi ... dia tak bisa melakukan hubungan selayaknya pasangan suami istri.
Melakukan berbagai pengobatan, bahkan sampai ia harus pergi ke luar negri demi bisa memberi nafkah batin ke Gita. Dan, ya ... baru beberapa bulan lalu Iklan bisa menggunakan batangnya dengan benar. Akhirnya si pentung bisa berdiri kokoh dan menjebol gawang Gita.
Itulah cerita Iklan dan Gita beberapa tahun lalu.
Iklan kembali duduk ditepi kasur, tersenyum membaca pesan yang dikirim Putri.
[Aku kangen lho, mas. Udah seminggu kamu nggak masuk ke sumurku.]
[nanti kita bisa lakuin itu di kantor. Kita pulang agak malam aja] send putar keberuntungan.
Kembali menyimpan ponsel kesaku celana, lalu beranjak, merapikan penampilan sebentar dan keluar kamar. celikukan mencari Gita yang sudah pasti ada didapur. Iklan tersenyum menyeringai, ada ide yang terbesit dikepala.
Menghampiri Gita yang sedang ngambil nasi ke piring. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa detik. Namun Gita segera kembali menatap piring. Mengambil lauk dan sayur.
Sakit hati itu nggak berarti harus biarin perut kosong kan? Itu akan makin menyiksa. Begitu pikir Gita.
“Aku ke kantor dulu ya.” Pamitnya.
Gita hanya ngangguk, menarik kursi dan duduk dengan nyaman.
“Jan keluar rumah. Kamu nggak boleh pergi lagi.” Pesannya.
Tak menjawab, Gita sudah memasukkan makanan ke mulut, lalu mengunyahnya pelan. ‘Lebih baik aku tinggal sama sayang, dari pada terus disini liat kamu. Sepet!’ batin Gita.
“Aku akan kunci pagar, jadi ... jan coba-coba pergi. Pak Mukhlis tak akan membiarkanmu kelaur dari rumah ini.”
Kali ini Gita mendongak, menatap Iklan dengan sangat tak percaya. “Mas,”
“Aku curiga, pasti kamu udah jalan sama cowok bau kencur yang semalam ngeboncengin kamu itu kan? Jan harap kamu bisa pergi dari sini, Git. Kamu itu istriku. Bersikaplah selayaknya seorang istri. Jan pernah bermain dibelakangku.”
Gita berdiri, menatap nyalang kearah Iklan. “Mas, kamu lebih gila dari aku. Dan aku, aku sama sekali nggak pernah khianati kamu. Aku semalam memang pergi sama cowok itu, tapi aku nggak kek kamu yang selingkuh dan ... dan melakukan apa yang sudah kamu lakukan sama Putri. Aku masih tau batasanku, mas!”
Iklan tersenyum lebar. “Syukurlah kalo kamu tau batasanmu. Aku jadi tenang.” Ucapnya penuh kelegaan. “Yaudah, aku ke kantor dulu. Setengah jam lagi, aku meeting.” Tersenyum manis, setelahnya berlalu dari hadapan Gita.
Gita menghela nafas panjang. Memijat pelipis yang kali ini sedikit berdenyut. “Dasar! Aarggh!” makanan didepannya tak lagi menarik. Ia memilih keluar dari dapur, membiarkan piring berisi makanan itu nganggur.
Samar terdengar suara mobil yang menjauh, lalu suara pintu gerbang yang tertutup. Gita menyibak gorden depan, melihat dengan mata sendiri Iklan yang sedang menggembok gerbang dengan rantai, lalu mengunci gembok itu. setelahnya ... mobil warna hitam itu melaju pergi.
“Keterlaluan kamu, mas! Aku akan balas apa yang udah kamu lakukan!” ngomong sama gorden.
Buru-buru Gita berbalik, melangkah menuju dapur. Mengambil ponselnya yang tertinggal. Memasukkan beberapa angka yang tertulis di sobekan kertas, kertas yang ia sembunyikan dibawah magicom.
“Untung tadi aku sempet nyalin nomor sayang.” Kembali dia ngomong sendiri.
Menempelkan ponsel ke telinga saat telponnya terhubung. Menunggu beberapa menit, tapi tak diangkat. Kembali Gita melakukan panggilan.
“Hallo,” suara Lexi terdengar disebrang sana. Membuat Gita tersenyum penuh kelegaan. Sampai mata cantik itu berkaca-kaca saking leganya. “Lohaa ... siapa nih? Informasi kredit sempak ya? Sorry, sempak gue udah banyak. Jadi nggak butuh kredit lagi.”
“Eh, eh, bukan.”
Terlambat, Lexi sudah mematikan telpon lebih dulu. Gita menatap ponsel yang kini memperlihatkan fotonya dengan Iklan semasa masih kuliah dulu. Air mata menetes begitu saja mengingat betapa kejam Iklan padanya.
**
Lexi kembali menyimpan ponselnya kedalam tas. Beranjak dari duduk, mengikuti langkah teman-temannya. Naik keatas mogenya. Baru saja memutar kunci, ponselnya kembali bergetar lama. Sebuah panggilan telpon masuk.
Mendengus kesal saat tau nomor yang sama yang sudah menelponnya. “Herman, ini tukang kredit kok hobby bener nelponin gue.” Gerutunya kesal.
“Napa, su?” tanya Zay yang kini memakai helm.
“Nomor baru.” Jawabnya singkat. Menutup tas dan membiarkan saja ponselnya berkedip.
“Cemceman lo tuh.” Celetuk Ello.
Lexi hanya nyengir, lalu menghidupkan motor. Membunyikan klakson dengan tangan yang melambai. Pamit ke beberapa temannya yang nongkrong dibawah jembatan.
Yang masih duduk digazebo bawah jembatan melambai juga dengan senyum mengambang.
“Tanks, bor!” teriak Fa’at dengan lambaian tangan.
Tak menunggu lama, keempat moge itu berjalan pelan naik keatas, lalu bergabung ke jalan raya. Kembali mereka saling kebut, nyalip banyak pengendara lain. Bahkan nggak peduli dengan jalan yang emang sedikit padat. Tertawa kompak saat keempatnya berhenti pas didepan garis, dimana saat detik itu lampu berubah warna merah.
Kekehan kembali terdengar saat Lexi harus berpisah dari ketiga temannya karna jalan pulang berbeda. Hanya membunyikan klakson, setelahnya melaju cepat meninggalkan pengendara lain.
Sekitar lima menit lebih dikit, ninja putih itu memasuki basemen apartemen. Melepas helm, lalu turun dengan tangan yang sibuk menjambul rambut pirangnya. Berjalan naik ketangga kecil sambil bersiul lirih. Keningnya berkerut saat tatapannya bertemu dengan Celo—resepsionis depan.
“Napa lo, senyam senyum. Suka sama gue?”
Celo geleng kepala dengan kekehan kecil. “Nggak nyangka aja, sekarang mas Lexi nggak lagi pakai jasa laundry.”
Kening Lexi tambah berkerut. Tambah nggak ngerti apa maksud Celo. Hanya mengedikkan kedua bahu, lalu kembali berjalan masuk ke dalam lift.
Ting!
Lift terbuka di lantai tujuh, segera Lexi melangkah keluar dari sana. Kembali heran saat istri pak Gelar yang tinggal tepat disebelah kamarnya tersenyum geli.
“Kenapa senyam senyum ke saya, tan? jan bilang naksir ya. Saya nggak mau jadi pebinor, bisa mati ditangan pak Gelar.”
Bu Kerani geleng kepala. “Enggak kok. Salut aja sama mas Lexi.” Setelahnya, Bu Kerani masuk kedalam lift yang masih terbuka.
Lexi geleng kepala, tangannya mulai sibuk memasukkan beberapa angka untuk membuka pintu apartemannya.
“Kenapa pada aneh ya. Herman deh!” menggerutu sendiri.
Melangkah masuk setelah pintu terbuka, melepas sepatu dan menggantinya dengan sendal dalam. Celikukan menatap kesetiap sudut rumah.
Rapi.
Bersih.
Kembali melangkah keruang teve, beneran bersih. Membuka pintu kamar, lalu menyalakan saklar lampu. Kembali tercengang melihat kamar untuk pertama kalinya yang begitu rapi. Celikukan sendiri, malah merasa aneh dengan rumah yang telah lama ia huni dalam hitungan tahun ini.
Menaruh tas keatas meja, melepas jaket. Menggaruk kepala yang jadi gatal. “Siapa yang ngerapiin ya?” bertanya sama bayangan.
Sejenak, ia lupa jika pernah ada Gita di apartemennya. Melepas baju seragam, menyisakan singlet dan celana kolor saja. Masuk kekamar mandi untuk menaruh seragam kotornya disana. Tapi ... keranjangnya sudah kosong.
Kembali ia keluar menatap seprai yang ternyata telah diganti dengan yang baru. Sejenak ia diam, benar-benar bingung. Berjalan keluar dari kamar, menuju dapur yang memang telah rapi, lalu ....
Matanya melotot melihat kearah pintu kaca yang menuju ke balkon. Cepat ia melangkah kesana, membuka pintu yang ternyata tak dikunci.
“IKAN HIU!!” teriaknya saat melihat ada baju gita serta beha warna merah yang semalam sempat ia lihat.
Cepat Lexi memunguti beberapa pakaian dan seprai yang sengaja Gita jemur di balkon.