Pembicaraan Berdua

1496 Kata
Gadis cantik yang saat itu berpenampilan sedikit santai sebab belum akan berangkat ke tempat usahanya, terlihat syok. Wajahnya yang natural sebab tak pernah ada sentuhan make up yang menempel di sana, tampak kemerahan karena perasaan emosi yang tiba-tiba hadir tatkala mendengar kalimat yang terucap dari mulut lelaki di depannya. Lelaki itu adalah Dimas. Sesuai dengan ucapannya pada ayah dan ibunya ketika sarapan pagi tadi, ia kini menyampaikan keputusan atau keinginannya untuk melanjutkan acara pernikahan dengan Rayya, yang sudah kedua keluarga susun dan rencanakan. Tidak menunggu lama dari setelah ia bicara pada kedua orang tuanya, sebelum berangkat ke kantor ia mampir terlebih dahulu ke kediaman gadis itu. "Jadi, jika Bapak dan Ibu berkenan juga menyetujui keputusan saya, maka kita bisa tetap melanjutkan acara tersebut." Pak Seto dan Bu Ani saling memandang. Kekhawatiran akan kembali terpuruknya Dimas paska mengetahui kenyataan terbaru mengenai siapa Rayya dan ke mana Ria sebenarnya, ternyata tidak terjadi sama sekali. Justru saat ini merekalah yang terkejut akan keputusan yang Dimas sampaikan. Kedua orang tua itu kini mengalihkan kedua pasang mata ke arah Rayya, gadis yang sebetulnya adalah sosok sentral di balik keputusan itu. Tampak putri mereka satu-satunya itu diam membeku di tempatnya duduk. Wajahnya terlihat terkejut. Tak percaya dengan apa yang sudah ia dengar barusan. Rambut yang dikuncir kuda, yang sejak kedatangan Dimas sudah membuat lelaki itu kehilangan fokus sebab selalu mencuri pandang ke arah leher yang terlihat jenjang dengan anak rambut terurai sebab tak bisa dikuncir, sama sekali tak bergerak seiring kondisi pemiliknya yang diam bak patung. "Rayya!" panggil Pak Seto. Entah apa yang gadis itu lamunkan, tetapi panggilan dari sang ayah tidak membuatnya tersadar, hingga lelaki paruh baya itu memanggilnya lagi untuk kedua kali. "Rayya, Nak?" "Eh, iya, Yah?" Tekejut Rayya menjawab panggilan ayahnya. "Kamu sudah mendengar sendiri bukan apa yang Nak Dimas sampaikan barusan. Ayah dan Ibu serahkan semuanya padamu sekarang." Rayya terhenyak. Kedua orang tuanya sepertinya mengetahui apa yang hatinya inginkan. Gadis itu beryukur karenanya. Tapi, begitu Rayya melihat ke arah Dimas —lelaki yang seharusnya menjadi kakak iparnya itu, ada ragu yang tiba-tiba menelusup demi melihat wajah iba serta ketulusan dari kalimat yang kemudian lelaki itu ucapkan. "Bantulah aku mengingat kembali kepingan memori yang sempat hilang. Setidaknya aku bisa memastikan jika Ria benar-benar sudah tidak ada, sehingga aku bisa menjalani kehidupan ini dengan tulus tanpa ada rasa yang masih mengganjal di hati," pinta Dimas terlihat bersungguh-sungguh. Rayya terombang-ambing. Awalnya ia memang menyetujui permintaan Bu Laksmi sebab rasa kasihan pada wanita tua itu, juga kondisi Dimas yang terlihat tidak baik saat dirinya melihat langsung. Tapi sekarang di mana Dimas sudah terlihat sehat dan Bu Laksmi pun tidak memintanya untuk tetap menikah dengan putranya, bukankah sebetulnya ia sudah terbebas. Tapi, "Kumohon, Rayya!" Kembali ucapan itu terlontar di tengah keragu-raguan yang Rayya rasakan. "E—eh, Di— Mas Dimas, bisakah kita bicara berdua? Apakah Mas Dimas terburu-buru untuk berangkat ke kantor?" Ada kecanggungan dari panggilan yang harus Rayya ucapkan. Melihat kondisi yang mana saat ini lelaki itu sudah mengetahui jika Rayya seharusnya adalah calon adik iparnya maka tanpa sadar Rayya mengubah panggilannya. "Tidak masalah. Jika kamu ingin berbicara denganku, tentu aku akan menyetujuinya." "Kalau begitu sebentar. Aku akan ganti pakaian dulu." Dimas pun mengangguk. Rayya kemudian pamit kepada kedua orang tuanya untuk kembali ke kamar, meninggalkan dua orang itu untuk melanjutkan pembicaraan dengan Dimas. Rayya duduk di tepi ranjang. Tak langsung berganti pakaian karena tengah menenangkan hatinya yang merasakan resah setelah mendengar permintaan Dimas kepadanya. Jujur saja ia belum mendapat jawaban atas permintaan lelaki itu. Jika pun ia ingin menolak bukankah ia bisa melakukannya? batin gadis itu. Tapi, ia juga merasa terlibat ketika menyetujui permintaan Bu Laksmi sehingga kejadian ini harus terjadi. "Ah, apa yang seharusnya aku lakukan?" gumamnya. Kemudian terkejut ketika mendengar suara ketukan di pintu. "Rayya, boleh Bunda masuk?" "Eh, iya, Bun. Masuk saja, tidak dikunci!" teriaknya yang malas beranjak bangun. Bu Ani pun melangkahkan kakinya ke dalam kamar sang putri. Dilihatnya gadis itu masih duduk dan diam di atas tempat tidurnya. "Kamu belum berganti pakaian?" tanya wanita itu yang ikut duduk di sebelah sang putri. "Belum, Bu." "Kamu kenapa, Rayya?" tanya Bu Ani lagi. Rayya diam. Bibirnya kelu demi menjawab pertanyaan sang bunda padanya. "Nak!" seru Bu Ani sembari menyentuh pundak Rayya. "E—eh, iya, Bu?" "Apapun keputusanmu, kami akan tetap mendukung." Rayya menatap wajah wanita berusia setengah abad itu, kemudian tersenyum tulus padanya. "Terima kasih, Bun. Aku tahu kalian akan bersikap demikian. Tapi jujur saja aku masih bingung, apakah jawaban yang harus aku berikan pada lelaki itu?" "Dengarkan kata hatimu, Nak. Kalau hatimu tidak mau meneruskan pernikahan ini, katakan saja. Jangan terbebani dengan masalah pernikahan yang seharusnya tidak kamu lakukan. Kamu bisa lihat sendiri Dimas terlihat pulih dan sadar, keluarganya pun tidak memaksamu lagi untuk mengikuti kemauan mereka. Jadi, apalagi yang kamu pikirkan jika hal yang membuatmu dulu ragu kini sudah tidak ada." "Ya, Bunda benar. Itu juga keputusan yang sudah aku buat tadi, sebelum Dimas memohon padaku." Bu Ani tampak tersenyum. Putrinya itu memang memiliki hati yang baik dan mulia. Hatinya akan mudah goyah jika ada hal yang menurutnya tidak sesuai dengan keinginannya. Banyak orang yang menyangka jika Rayya adalah sosok perempuan yang tidak peduli dan abai. Itu semua salah besar. Itu tandanya mereka tidak mengenal Rayya dengan baik. "Nak, Bunda dan Ayah tahu keputusan apapun yang akan kamu ambil nanti itu sudah kamu pikirkan baik-baik, dan tentunya dukungan dari kami akan tetap ada untukmu." "Terima kasih, Bunda." Rayya menghambur memeluk tubuh sang bunda. Dukungan penuh dari orang-orang yang ia cintai adalah obat mujarab di saat nantinya ternyata ia salah memilih jawaban, namun mereka tetap akan selalu ada bersamanya. "Iya, sama-sama. Sudah ganti baju sana. Terlalu lama Dimas menunggumu hanya untuk berganti baju saja," kekeh Bu Ani yang kemudian melonggarkan pelukan serta menyuruh sang putri untuk bangun. "Iya, Bun." Rayya beranjak dengan suasana hati yang sedikit lega. Senyum itu sudah hadir meski ia belum mendapatkan jawaban apa yang akan ia berikan kepada Dimas. "Bunda kembali temani ayah di depan, yah?" "Iya, Buun!" teriak Rayya dari arah dalam kamar mandi. *** Mobil yang Rayya tumpangi sudah berhenti di sebuah pantai indah di pinggir kota dengan laut lepas di depan. Dimas memarkirkan kendaraan mewahnya di sisi sebuah pohon rindang yang menutupi pandangan mereka dari terpaan sinar matahari pagi menjelang siang yang sudah membuat silau mata. "Turun?" ajak Dimas menawarkan. Pandangan matanya kini teralihkan ke arah sang gadis yang masih belum menjawab. Leher yang masih terlihat itu kembali membuat Dimas harus meneguk saliva-nya kuat. Rayya balas menatap Dimas, lalu mengangguk. Tak lama kemudian gadis itu pun lebih dulu keluar dari mobil. Lalu berdiri di depan kap mobil yang terasa teduh sebab terhalang rimbunnya pohon besar di sebelahnya. Jarak mereka dengan laut memang sedikit jauh. Dimas sengaja memarkirkan mobilnya tidak di atas hamparan pasir putih dengan pohon-pohon kelapa yang berdiri memanjang di pinggir pantai. Cuaca yang pastinya akan mengganggu obrolan mereka nanti karena suhu panas yang mulai terasa. "Mas Dim— ?" "Dimas saja, Ra!" pinta Dimas memotong ucapan Rayya. Kedua mata mereka saling beradu ketika Dimas meminta gadis itu tidak harus menambahkan kata 'mas' yang menyertai namanya. Sesaat netra kecoklatan milik Rayya terhipnotis akan tatapan mata hitam Dimas. Kedua insan itu seolah saling menyelami ke dalam tatapan berbeda keduanya. Hingga akhirnya tersadar ketika mendengar suara ramai dari beberapa orang yang lewat di belakang mobil mereka. Segerombolan siswa sekolah yang entah bagaimana bisa ada di pantai itu dan bukan belajar. Mengabaikan gerombolan murid SMA —yang bersyukur Rayya ucapkan karena kehadiran mereka sudah membuatnya tersadar dari jurang penyesalan, yang mungkin akan ia rasakan jika sampai terjatuh dalam pesona tampan wajah Dimas, gadis itu mengalihkan pandangan ke arah lepas pantai. "Jadi, Ra, bagaimana dengan permintaanku tadi? Aku tahu tidak ada hal yang menguntungkan jika kamu menyetujui untuk tetap menikah denganku. Bisa saja mungkin keputusan kamu yang lalu itu karena terpaksa. Bisa juga ada sosok lelaki lain yang ... sebetulnya sudah ada di dalam hatimu yang membuatmu tidak ingin melanjutkan pernikahan kita," ujar Dimas entah mengapa ia merasa tak suka dengan pemikirannya yang terakhir. Sontak Rayya kembali memandang ke arah Dimas. Bagaimana lelaki di depannya itu bisa berpikir demikian. Apakah mungkin ...? "Aku tahu sosok lelaki yang kamu sebut adalah pelanggan tetap di toko rotimu itu, mengantarmu pulang semalam bukan?" selidik Dimas dengan mata yang menatap lurus ke wajah Rayya yang terlihat terkejut. "Apakah ia kekasihmu?" tanya Dimas dengan nada sedikit kecewa. "Ah, eh, bukan. Fauzan bukan kekasihku, Dim," jawab Rayya terbata. "Oh, jadi nama lelaki itu Fauzan?" Rayya sepertinya tidak salah melihat, lelaki itu menghela napas lega ketika ia mengatakan jika Fauzan bukanlah kekasihnya. "Lantas, mengenai pernikahan kita, bagaimana?" "Dimas, apa jaminan yang akan kau berikan padaku jika suatu saat kamu kembali mengingat sosok Ria, sehingga menimbulkan respon terkejut yang akan berimbas pada diriku nantinya?" Rayya menatap serius Dimas kali ini. Lelaki itu melengkungkan bibirnya. Ia mengerti ke arah mana tujuan pertanyaan Rayya padanya. "Aku tidak bisa memberikan jaminan apapun padamu, tapi satu yang pasti bahwa sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikanmu kecuali kamu sendiri yang meminta." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN