Kesepakatan

1061 Kata
Lebih dari dua jam Rayya dan Dimas pergi untuk mengobrol berdua. Kini keduanya sudah kembali sampai di kediaman orang tua Rayya. "Terima kasih, yah, Dim sudah mengantar pulang." Rayya bersiap untuk ke luar dari dalam mobil setelah mobil mewah itu terparkir di depan pagar rumahnya. "Kamu ini bicara apa? Aku yang membawamu pergi masa pulangnya tidak aku antar. Aku yang justru berterima kasih karena kamu sudah menyetujui permintaanku." Keduanya kembali terdiam. Dimas yang melihat reaksi Rayya yang diam membisu merasa tak enak atas ucapannya barusan. "Maaf kalau ada kata-kataku yang salah, Ra. Aku tidak bermak—!" "Tidak, Dimas. Aku tidak apa-apa. Tidak perlu kamu meminta maaf seperti itu." Keheningan kembali terjadi setelah Rayya bicara demikian. "Ada satu hal yang ingin aku minta padamu sebelum rencana pernikahan ini kita lanjutkan." "Apa itu?" Rayya menarik napas dan mengembuskannya pelan. Jujur saja ini adalah hal yang terlalu sensitif, tetapi harus ia sampaikan sebelum pada akhirnya mereka sah menjadi pasangan suami istri. "Dimas, hubungan kita ini tidak berlandaskan atas perasaan saling mencintai. Kamu adalah lelaki yang mencintai Ria —saudara kembarku. Lalu aku pun menyetujui permintaanmu karena ingin membantu kamu mengingat penggalan memorimu yang hilang. Jadi —!" "Jadi?" Dimas menatap tajam Rayya dengan mata elangnya yang tiba-tiba membuat Rayya terpesona. "Jadi, aku minta tidak ada hubungan badan layaknya suami istri pada umumnya. Meskipun kita adalah pasangan yang sah di mata hukum dan agama, tetapi aku tidak ingin menyisakan sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari." Pernyataan yang Rayya ucapkan sejujurnya membuat Dimas kecewa. Tapi demi pernikahan dan tujuannya yang memang ingin kembali mengingat hal yang ia lupakan, Dimas pun menyetujui. "Kamu tidak perlu khawatir, aku akan pastikan kalau kamu tidak akan aku sentuh hingga pernikahan kita berakhir." Jawaban yang Dimas berikan sedikit membuat Rayya lega. Meskipun ia sempat melihat raut kecewa di wajah lelaki itu, Rayya tetap merasa bersyukur karena Dimas mengerti dirinya. "Ya sudah, aku masuk dulu yah. Kamu akan pergi ke kantor bukan?" tanya Rayya dengan suaranya yang lembut. "Ya, masuklah. Sampaikan salamku untuk ayah dan bunda, maaf aku tidak sempat untuk turun sebab harus segera ke kantor. Nanti aku hubungi kamu lagi untuk melanjutkan pembicaraan kita tadi." "Hem, ya." Rayya mengangguk lalu hendak membuka pintu mobil sebelum Dimas menahan tangannya yang terbebas, kemudian menggenggamnya. "Terima kasih yah, Ra." Rayya tak menjawab, hanya anggukan kecil yang ia berikan dan akhirmya membuat Dimas tersenyum. Senyum manis yang akan membuat Rayya kembali terpesona jika tidak buru-buru turun dari mobil. Gadis itu masih berdiri di depan kediamannya hingga mobil milik Dimas menghilang di belokan blok perumahan. Kemudian ia pun melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam pagar rumah. Begitu sampai di ruang keluarga yang juga berfungsi sebagai ruangan untuk menonton, terlihat sang bunda tengah asik dengan layar besar di depannya. Tidak menyadari kedatangan sang putri meski gadis itu sudah mengucapkan salam, membuat Rayya akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Bunyi pintu tertutup sampai juga ke telinga sang bunda, lalu wanita itu pun berteriak memanggil nama putrinya. "Rayya! Kamu sudah pulang, Nak?" teriak Bu Ani. Pintu kamar Rayya yang jaraknya tidak jauh dari ruang keluarga, terbuka. Kemudian menampilkan kepala gadis cantik itu dengan senyum di wajah. "Udah, Bun!" "Oh. Kok enggak kelihatan?" tanya Bu Ani heran. "Bunda terlalu serius nonton sih!" kekeh Rayya. "Jadi, gimana pertemuannya?" tanya Bu Ani dengan tangan yang ia sandarkan di kepala sofa, dan wajahnya yang menghadap ke belakang menatap sang putri yang masih berada di ambang pintu kamarnya. Rayya termenung. Bukan tidak ingin bercerita pada sang bunda, tetapi ia sepertinya ingin menenangkan diri dulu. "Bun, boleh enggak aku istirahat sebentar? Aku akan cerita sama Ayah dan Bunda nanti." Gadis itu menatap iba pada sang bunda, membuat wanita cantik di usianya yang hampir mendekati angka setengah abad, tersenyum menenangkan. "Istirahatlah. Jika kamu sudah tenang, kamu bisa cerita pada Ayah dan Bunda." Binar bahagia terpancar di kedua mata Rayya. Bersyukur terus ia ucapkan pada Tuhan, sebab memiliki kedua orang tua yang begitu pengertian. "Makasih, Bunda. Aku masuk dulu yah?" "Iya, Nak!" Rayya kembali menutup pintu kamar. Tujuannya yang ingin membaringkan tubuhnya demi menenangkan hati dan pikirannya paska keputusan yang ia berikan pada Dimas beberapa waktu lalu. Kembali ia teringat saat Dimas mengatakan jika ia tak akan pernah menceraikan dirinya jika mereka sudah menikah nanti. Sontak pernyataan itu membuat Rayya terkejut. Hatinya menolak. "Aku tidak bisa memberikan jaminan apapun padamu, tapi satu yang pasti bahwa sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikanmu kecuali kamu sendiri yang meminta." "Maaf, Dimas. Aku tidak mau seperti itu. Yang aku minta hanya sebuah jaminan. Jaminan di mana kamu tidak akan mengungkit atau menyalahkan diriku jika suatu saat kesadaranmu pulih atas pernikahan yang akhirnya kita lakukan." Dimas ternyata salah mengerti maksud permintaan Rayya padanya. Dipikir lelaki itu sang gadis tak ingin masa depannya hancur dengan pernikahan yang sejatinya tidak sesuai keinginannya, malah akan membuatnya menjadi seorang janda di kemudian hari. "Jadi?" "Jadi aku ingin kita membuat kesepakatan. Kalau perlu sebuah kesepakatan yang tertulis di atas kertas dan sah secara hukum, serta cukup kita saja yang tahu." "Kesepakatan apa yang kamu maksud, Ra?" Dimas semakin tidak mengerti arah pembicaraan sang gadis. Ternyata permintaan untuk melanjutkan rencana pernikahan keduanya itu menimbulkan cerita baru. "Ya, kesepakatan di mana nantinya kita akan berpisah jika kamu sudah kembali ingat semua. Dengan begitu tak ada yang merasa dirugikan satu sama lain." Dimas baru paham. Jadi, Rayya sungguh hanya ingin membantu mengembalikan ingatannya yang hilang. Sejatinya tak ada keinginan sama sekali bagi gadis itu untuk menikah dengannya menggantikan posisi Ria. "Apakah ada batas waktu?" tanya Dimas. "Tidak ada. Aku pikir batas waktunya sampai kamu ingat semuanya saja." Dimas tampak berpikir. Sesungguhnya permintaan Rayya bukanlah sebuah permintaan yang sulit. Benar menurut gadis itu jika tak ada yang dirugikan atas kesepakatan tersebut. Tapi, sepertinya ada yang mengganjal di dalam hatinya entah apa. "Bagaimana, Dimas. Apakah kamu menyetujui kesepakatan yang aku ajukan?" Pada akhir pembicaraan mereka, lelaki itu pun menyetujui permintaan Rayya. Lelaki itu juga mengatakan akan membuat kesepakatan itu secepatnya agar bisa segera ditanda tangani oleh keduanya sebelum pernikahan itu terlaksana. "Ya Tuhan, apakah keputusanku sudah benar kali ini?" ucap Rayya sembari menatap atap kamarnya. Mengingat masalah yang saat ini ia hadapi, sampai-sampai Rayya lupa dengan usaha toko rotinya. Sudah siang tetapi ia masih belum beranjak untuk mengunjungi tempat usahanya itu. Mood-nya sedang tidak baik, itu sebabnya ia hanya mengirim pesan singkat pada salah satu karyawannya, memberi tahukan jika ia tidak bisa datang hari itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN