Di kediaman keluarga Rayya, gadis itu tampak terlihat merenung di jendela kamarnya. Menatap suasana malam dengan cahaya bulan yang saat itu sedang purnama.
Sejak keluarga Dimas pergi, ia memilih untuk masuk ke dalam kamarnya. Bayangan ketika Dimas menatap marah padanya terus menerus menari-nari dalam pikirannya.
Bukan karena ia sedih lantaran sang lelaki berubah tidak ramah padanya, hanya saja Rayya merasa tak enak hati pada Ibu Laksmi dan Pak Tara atas sikap Dimas yang seketika kembali menjadi sosok asing yang sebelumnya sudah ia kenal ketika lelaki itu menjalin cinta dengan saudaranya.
Ia tak sanggup membayangkan apa yang terjadi di kediaman keluarga Saputra saat ini. Apakah akan ada keributan besar atau malah sesuatu yang mengerikan seperti kembalinya Dimas pada kondisi awal saat ia ditinggalkan oleh Ria untuk selamanya. Di mana sang ibu harus bersedih demi melihat putranya hidup bagai mayat.
"Ya Tuhan! Semoga tidak terjadi sesuatu di sana. Aku harap Dimas mengerti akan situasi saat ini. Semoga saja ia menyadari jika Ria memang sudah pergi meninggalkan dunia untuk selamanya." Harapan yang ada dalam hati Rayya paska kejadian heboh di rumahnya tadi.
Sekarang ia hanya menunggu keputusan apa yang akan lelaki itu ambil setelah ia mengetahui kenyataan yang mau tidak mau harus ia terima saat ini.
"Seandainya Dimas membatalkan pernikahan ini, tentu itu adalah sebuah berita yang sangat membahagiakan untukku. Aku akan berdo'a kepada Tuhan agar lelaki itu mendapatkan sosok pengganti Ria yang mampu membuatnya bahagia selamanya. Aku pun bisa melanjutkan kehidupanku yang dulu tanpa terbebani dengan hal tidak nyaman yang aku rasakan ketika Bu Laksmi memintaku untuk menjadi sosok pengganti Ria, menjadi istri putranya itu."
Rayya memutuskan untuk tidur. Ia akan menunggu keputusan dari pihak keluarga Saputra. Apapun yang Dimas putuskan dan keluarga Saputra setujui, akan ia coba untuk berlapang d**a seandainya pesta pernikahan itu batal atas kemauan dari keluarga sana.
Di tempat lain di waktu yang sama, Dimas terlihat duduk di lantai dan bersandar di ranjang tidurnya yang besar dalam kamar.
Lelaki itu tengah menundukkan kepalanya dengan bertumpu pada kedua tangan yang ia lipat di atas lutut.
Dimas masih belum bisa menerima jika Rayya bukanlah Ria, gadis yang akan ia nikahi sebab rasa cinta yang ia miliki.
Lelaki itu masih belum bisa mengingat jika Ria sudah pergi meninggalkannya. Momen di mana kecelakaan itu terjadi sama sekali tidak ia ingat. Meski sisa rasa sakit itu masih ia rasakan paska kejadian yang terjadi sekitar empat bulan lalu itu.
Lantas kini setelah ia mendapat sebuah kabar yang sangat tidak mengenakkan, di mana pesta pernikahan yang sangat ia impikan itu terancam batal karena ternyata mempelai wanitanya bukanlah sosok yang selama ini ia cintai.
Dimas tetiba merasakan sakit di sekitar kepalanya. Ia sungguh ingin ingat kejadian di mana ia harus kehilangan sosok Ria. Tapi itu sepertinya mustahil ketika sosok Rayya-lah yang malah hadir di dalam pikirannya.
"Sial!" umpat Dimas yang kemudian mengangkat kepalanya dengan tangan yang menjambak rambut sebab kekesalan yang dialaminya.
Bayangan saat ia bersama dengan Rayya sebelum kejadian malam ini terjadi, muncul dalam rangkaian slide memori yang membuatnya terpaku.
Kebersamaan yang sebetulnya memang singkat dan tidak terlalu intim, tetapi malah mampu membuat Dimas terpesona.
Memang ada hal lain yang Dimas rasakan berbeda ketika bersama Rayya beberapa waktu terakhir ini, dan lekaki itu baru menyadarinya.
Hari-hari berdua dengan gadis itu memang tidak se-intim juga semesra ketika ia bersama Ria, dan Dimas sadari sekarang.
Ia kembali ingat ketika datang ke toko kue dan roti milik Rayya setelah toko itu ia sengaja buat tutup, ada gerakan canggung yang tampak terlihat dari gesture tubuh gadis itu. Hal yang sangat aneh menurutnya sebab selama ini Ria tidak seperti itu.
Dimas dan Ria memang berpacaran secara wajar tidak sampai kebablasan seperti pasangan anak muda jaman sekarang. Tapi, kalau hanya sekedar menyatukan bibir atau mencumbu sedikit sering kali mereka lakukan.
Namun itu semua tidak Dimas rasakan ketika berhadapan dengan Rayya. Gadis itu seolah menghindar. Bahkan ketika pada akhirnya ia bisa merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya, ada kekakuan yang Dimas rasakan dari gerakan tubuh Rayya.
Ria tidak seperti itu, pikirnya. Tunangannya itu malah terkadang lebih agresif dibanding dirinya sebagai seorang lelaki. Tapi anehnya ketika Rayya berusaha menghindari dirinya, Dimas seolah penasaran.
Lalu kini, rasa penasaran itu tiba-tiba hadir lagi dalam diri seorang Dimas. Ya, mendapati kesadarannya jika beberapa waktu belakangan ini ternyata ia berjalan bersama sosok lain, ada rasa ketertarikan untuk membuat gadis itu jatuh ke dalam pesonanya. Seorang gadis yang ketika Dimas cium menampilkan ekspresi terkejut dan bahkan sedikit menolak kala itu. Namun, berkat kepiawaiannya yang sering kali melakukannya dengan Ria, Dimas berhasil membuat gadis itu terdiam ketika berhasil mendaratkan bibirnya.
"Apakah itu pertama kali untuknya? Aku merasakan gerakan yang sama sekali kaku dan tidak lincah," batin Dimas demi mengingat hal m*sum yang tiba-tiba saja hadir.
Sepertinya ia sudah mendapatkan keputusan bagi kelanjutan hidupnya. Apa yang akan ia lakukan hanya dirinyalah dan Tuhan yang tahu.
***
"Yah, Bu, ada hal yang ingin aku sampaikan pada kalian saat ini," ucap Dimas pada kedua orang tuanya.
Ketiganya berasa di ruang keluarga setelah sarapan pagi selesai. Selama mereka menikmati santapan pagi yang para asisten rumah siapkan, tak ada percakapan di antara mereka hingga Dimas meminta kedua orang tuanya untuk duduk bersama di ruang keluarga.
Pak Tara dan Bu Laksmi saling memandang. Entah perasaan apa yang saat ini kedua orang tua itu rasakan, tetapi sepertinya ada hal penting menyangkut hidup seseorang yang akan putra mereka sampaikan.
"Yah, semalam aku berpikir setelah mengetahui sebuah kenyataan bahwa tunanganku sudah tiada, ya ... meskipun sampai saat ini aku masih belum mengingatnya. Semakin aku berusaha mengingat, hanya rasa sakit di kepala yang aku rasakan."
"Jangan terlalu dipaksa, Dimas. Biarkan ingatan itu pulih seiring berjalannya waktu. Ibu dan Bapak yakin kamu akan kembali mengingat peristiwa itu. M—maksud Ibu bukan berarti kamu harus selalu mengingat peristiwa menyedihkan itu, tetapi Ibu hanya tidak ingin kamu terpuruk dalam kedukaan."
"Ya, Bu. Aku mengerti. Maka dari itu aku tidak ingin rasa sakit ini terus menderaku. Sebab itulah aku memutuskan untuk membiarkan ingatan itu kembali dengan sendirinya."
Pak Tara dan Bu Laksmi tersenyum. Kedua orang tua itu yakin jika sang putra sudah bisa meredam kekesalannya dan bisa menerima kenyataan pahit yang ia alami.
"Satu lagi sebuah keputusan yang sudah aku ambil, Yah, Bu."
"Apa itu?" tanya Pak Tara cepat.
"Aku ingin pernikahanku dengan Ri ... ehm, maksudku Rayya tetap berjalan sesuai rencana." Dimas belum terbiasa dengan nama yang tidak pernah ia ucapkan itu.
"Apa!" seru Pak Tara dan Bu Laksmi bebarengan.
"Apakah kamu yakin, Dimas?" tanya Pak Tara ragu.
Lelaki itu menatap wajah sang ayah serius.
"Aku sangat yakin, Yah. Banyak hal yang aku pertimbangkan sehingga aku mengambil keputusan tersebut. Salah satunya semoga aku bisa mengingat kembali peristiwa apa yang hilang dari pikiranku paska kecelakaan itu terjadi, yaitu dengan menikah dengan Rayya. Mungkin seiring kebersamaan kami ada respon yang akan membuatku syarafku mengingat sedikit demi sedikit memori yang hilang tersebut."
Ada rasa sesak yang kedua orang tua Dimas rasakan. Seberapa menderitanya sang putra saat ada bagian memori kehidupannya yang hilang begitu saja.
"Selain itu aku hanya tidak mau rencana pernikahan yang sudah melibatkan dua keluarga, harus berantakan karena masalah ini."
"Nak, untuk alasanmu yang kedua Ibu tidak setuju. Jangan jadikan perasaan tidak enak di hatimu membuat kamu mengambil keputusan penting dalam hidupmu. Itu bukanlah satu masalah yang fatal. Kami bisa mengatasinya, Dimas," ujar Bu Laksmi.
"Tidak apa-apa, Bu. Setidaknya aku tidak menambah beban pikiranmu setelah masa-masa perawatan yang Ibu dan Ayah berikan padaku saat sakit kemarin, dengan menggagalkan rencana pernikahan ini."
"Dimas, tidak apa-apa, Nak. Kamu adalah anak Ibu dan Ayah, sudah sewajarnya jika kami merawatmu. Kalau bukan kami memang siapa lagi."
"Tidak, Bu. Biarkan aku dengan keputusanku ini. Aku akan segera membicarakan semuanya dengan keluarga Pak Seto. Ibu dan Ayah tidak perlu ikut, biarkan aku yang bertanggung jawab dengan kehidupanku saat ini."
Pak Tara dan Bu Laksmi sudah tak berkomentar. Sifat keras kepala sang putra sepertinya sudah mulai muncul saat ini.
***