Bercerita

1351 Kata
Dimas sudah sampai di kediaman orang tuanya setelah bermacet-macet di jalan raya pada jam pulang kantor. Tepat pukul tujuh malam, di saat sang asisten rumah tangga menyiapkan hidangan makan malam ia tiba. Dilihatnya kedua orang tuanya, Pak Tara dan Bu Laksmi sedang duduk bersantai di ruang keluarga menunggu makan malam siap dan tentunya menunggu putra semata wayang mereka pulang. Pak Tara sendiri tak pernah pulang lebih dari jam lima sore di rumahnya. Sang pemilik perusahaan di mana Dimas diberi tugas untuk menjabat sebagai direktur itu, selalu pulang tepat waktu. Apalagi semenjak sang putra terlibat di perusahaan, lepas sudah beban tugasnya sebagai pemimpin yang memiliki ritme kerja menggila, dan hal itu kini digantikan oleh Dimas, putranya. "Selamat malam, Yah, Bu!" sapa Dimas yang melangkahkan kakinya ke ruangan di mana dua orang tua itu berada. Sembari menenteng tas kerja kulit berwarna hitam, Dimas menghampiri kedua orang tuanya dan mencium telapak tangan mereka. "Malam, Dim! Baru pulang? Apa ada rapat hari ini?" tanya sang ayah. "Tidak ada yah. Seperti biasa jalanan macet setiap akhir pekan," jawab lelaki itu seraya melabuhkan bokongnya di atas sofa. Ia tahu kalau pertanyaan sang ayah menanyakan perihal dirinya yang pulang sedikit terlambat dari biasanya. Bu Laksmi terus mengamati putranya itu. Entah apa ia yang salah menilai, tetap wanita itu melihat ada raut kebahagiaan yang terpancar di wajah putranya meski gurat kelelahan ada di sana. "Dim, bagaimana pertemuannya tadi dengan Rayya dan keluarganya?" tanya Bu Laksmi dengan suara pelan. Belum sempat Dimas menjawab, muncul Bi Minah yang memberi tahukan jika makan malam telah siap dihidangkan. "Mungkin kita bisa membicarakannya setelah makan malam," sahut Pak Tara, yang sepertinya ada sebuah berita penting yang akan disampaikan oleh putranya itu. "Ehm, ya, sepertinya ide bagus. Kebetulan aku sudah lapar," sahut Dimas menjawab ucapan ayahnya. Ketiga orang di ruangan itu kemudian beranjak, dan berjalan menuju ruang makan. Di atas meja sudah tersedia banyak jenis masakan. Dari makanan kesukaan Dimas yang malam itu mendadak Bi Minah buatkan sesuai perintah Bu Laksmi. Sang nyonya rumah berharap dengan makanan kesukaan yang ada di sana akan membuat Dimas tak lagi emosi seperti semalam. Tapi, sepertinya kekhawatiran wanita itu tak terjadi sama sekali. Setelah mengutarakan keinginannya tadi pagi, sang putra pulang dalam kondisi yang ... sepertinya bahagia. Mereka pun menikmati makan malam dalam suasana keakraban. Meski ada masalah mengenai Dimas dan keluarga Rayya yang belum Pak Tara dan Bu Laksmi ketahui, kedua orang tua itu sama sekali tidak ingin membahas. Pak Tara malah menanyakan perihal perusahaan dan beberapa proyek yang tengah Dimas jalani. *** "Begitulah, Bunda, Ayah. Aku minta do'a dan dukungan kalian sebagai orang tuaku atas keputusan yang sudah aku buat," ujar Rayya pada kedua orang tuanya, setelah makan malam mereka selesai dilakukan. Pak Seto dan Bu Ani saling memandang satu sama lain, sejurus kemudian menatap lurus sang putri demi melihat kesungguhan dari kalimat yang diucapkan. "Apakah ini sudah keputusan bulat darimu, Rayya?" tanya sang bunda. "Insya Allah, Bunda. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Tentu Bunda tahu mengapa aku mengambil keputusan ini? Jujur saja, Yah, Bunda, aku tidak mau jika Dimas malah kembali terpuruk seandainya aku menolak membantunya. Bukan karena aku mencintainya, tidak sama sekali, hanya saja rasa yang sama ketika aku melihat pertama kali kondisi Dimas di rumahnya yang akhirnya aku menyetujui permintaan Bu Laksmi, aku khawatir kondisi yang sama akan Dimas alami." Kedua orang tuanya terdiam mendengar penuturan Rayya. Lelaki dan wanita paruh baya itu sangat tahu bagaimana sifat yang putrinya miliki. Selalu saja tak bisa menolak jika itu sudah berhubungan dengan kemanusiaan. Entah harus bersyukur atau malah kasihan, Pak Seto dan Bu Ani pun tidak bisa menilai. Di satu sisi mereka terkadang tidak mengerti atas sifat yang putrinya miliki tersebut. Apakah dirinya tidak pernah memikirkan kehidupannya sendiri, sehingga abai akan perasaannya? Tapi, apapun itu mereka akan selalu mendukung jalan yang dipilih putrinya itu, asalkan itu masih berada di jalur kebaikan. "Nak, jika memang itu sudah menjadi keputusanmu, kami sebagai orang tua hanya bisa mendukung. Insya Allah, ini adalah keputusan yang baik. Tapi, satu pesan Ayah dan Bunda padamu, ceritakan apapun yang kamu rasakan dan alami. Jangan pernah memendam masalah yang malah membuat kami menjadi sosok orang tua yang tak peduli pada anaknya." Rayya tersenyum mendengar kalimat yang terlontar dari mulut sang ayah. Kehangatan dan sifat bijaksana yang ayahnya miliki memang menjadi alasan Rayya untuk selalu bercerita pada lelaki yang sudah melewati usia setengah abad tersebut. "Terima kasih, Yah, Bunda. Aku janji, akan selalu ingat pesan Ayah dan Bunda. Apapun nantinya tetaplah jadi kedua orang tua yang selalu bisa aku jadikan tempat untuk bernaung dan bercerita." Rayya segera berhambur ke dalam pelukan sang bunda. Berada dalam rengkuhan wanita itu selalu membuat Rayya bahagia. Kehangatan yang bisa ia rasakan baik dari dulu ketika saudara kembarnya —Ria, masih ada, atau pun sekarang, sang bunda selalu seperti itu. Menganggap jika kedua putrinya adalah sosok anak kecil yang selalu membuatnya khawatir. "Berarti pernikahan kalian tetap dilaksanakan sesuai jadwal?" tanya Pak Seto yang melihat putrinya sudah melepaskan pelukannya dari sang bunda. "Iya, Yah." Rayya mengangguk. Ada genangan air mata di kedua mata putrinya yang lelaki tua itu lihat. Entah air mata apa Pak Seto tak ingin bertanya, khawatir akan merusak momen perasaan yang saat ini putrinya tengah rasakan. "Apakah keluarga Pak Tara sudah tahu?" "Itu biar menjadi urusan Dimas, Bunda." "Oh, ya. Ya sudah, semoga acaranya lancar tak ada kendala." "Aamiin," sahut Rayya yang mengamini ucapan bundanya itu. Di saat obrolan sudah beralih ke topik yang lain, tiba-tiba terdengar nada dering ponsel dari arah saku celana Rayya. Gadis itu pun merogoh sakunya, kemudian mengambil ponsel pipih dari sana. "Dimas!" gumamnya. "Yah, Bunda, aku angkat telepon dulu yah? Dari Dimas!" ujarnya. Kedua orang tuanya pun kompak mengangguk. Tak lama setelah itu Rayya beranjak dan berjalan ke dalam kamarnya. "Hallo, Dimas?" [Malam, Ra. Lagi ngapain?] "Lagi ngobrol sama ayah dan bunda." [Oh, maaf, apakah aku mengganggu?] "Eh, tidak! Kami sudah selesai kok." [Rayya, apakah kamu sudah membicarakan perihal pernikahan kita dengan kedua orang tuamu?] "S—sudah, tadi kami membicarakan masalah itu." [Lalu?] "Lalu? Maksudnya?" [Ya, apa pendapat mereka?] Rayya tampak bingung, mengapa Dimas ingin tahu mengenai pendapat kedua orang tuanya. Bukankah yang akan menikah adalah dirinya dengan lelaki itu, lantas mengapa pendapat dari kedua orangtuanya ingin ia ketahui. [Ra, kamu masih di sana?] "Ehm, i—iya, Dim. Maaf. Ayah dan ibu mendukung apapun keputusanku." [Oh, syukurlah.] Aneh, begitulah pikir Rayya. Mengapa sebegitu berartinya masalah ini bagi Dimas. Lalu, tadi ia tak salah dengar lelaki itu mengucap syukur atas pendapat dari kedua orang tuanya. "Ngomong-ngomong, ada apa aku menelepon aku?" [Eh, itu, apakah besok kamu bisa datang ke perusahaanku?] "Ada apa?" [Aku sudah meminta pengacara pribadiku untuk membuatkan surat kesepakatan mengenai pernikahan kita. Jadi, aku minta kamu datang untuk menandatanganinya besok. Sebab pengacaraku akan datang sesuai yang aku minta.] Rayya terlihat berpikir. Jujur saja ia belum pernah menginjakkan kakinya di gedung berlantai di mana Ria dulu bekerja itu. Bukan ia norak atau kampungan, tetapi ia hanya tidak terbiasa saja. Apalagi pastinya ada beberapa karyawan yang mengenali Ria, dan ia khawatir jika orang akan memandangnya aneh jika nanti berada di sana untuk menemui Dimas. [Ra? Rayya?] Lagi-lagi Dimas harus memanggilnya. Keheningan yang keduanya alami, membuat Dimas tak suka. "Ehm, Dimas, apakah aku harus ke sana?" [Eeh, kalau tidak di kantorku, apakah kamu memiliki alternatif tempat lain?] Rayya diam lagi. Tempat lain? Mungkinkah toko rotinya? Tidak! Di sana terlalu terbuka, tak ada privasi karena keakraban yang tercipta antara ia dan para karyawan, membuatnya menolak dengan keras jika toko rotinya menjadi tempat untuk mereka bertemu demi membahas perihal debuah kesepakatan. "Eh, ya sudah aku akan datang ke perusahaanmu. Berikan alamat dan waktunya." [Baik, nanti aku kirim pesan.] Rayya mengangguk. Reaksi bodoh yang tak ia sadari. [Ya sudah kalau begitu, aku sudahi dulu yah, Ra? Aku tunggu kamu besok di kantorku.] "Iya." Sambungan telepon pun terhenti. Rayya menaruh ponsel di atas bantal. Kemudian membaringkan tubuh di atas kasurnya yang empuk. Rayya merasakan jiwa dalam beberapa hari terakhir ini jiwa dan raganya serasa tidak berjejak. Pernikahan dengan Dimas, lelaki yang sama sekali tidak ada di dalam hatinya, harus terlaksana atas keputusannya sendiri. "Semoga ini benar-benar pilihan terbaik." Do'a Rayya dalam hati sebelum kemudian kedua matanya terpejam. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN