Cerita Sebenarnya

1525 Kata
"Dimas, aku bukanlah Ria, tunanganmu. Tapi aku adalah Rayya, kembaran Ria, yang juga sudah kamu kenal sebelumnya!" Dimas terlihat membeku. Lelaki itu terkejut bukan main. Masih diam tak bergerak bahkan kedua matanya pun tak berkedip, membuat semua orang juga membisu. Tak terkecuali Rayya. Gadis itu sudah bisa menebak jika Dimas akan bersikap demikian, sebab itulah ia membiarkan lelaki di sebelahnya menelaah dan mencerna semua kalimat yang baru saja diucapkannya. "Tidak mungkin!" Akhirnya kata yang terucap dari mulut Dimas setelah cukup lama suasana ruangan tamu itu hening. Bu Laksmi dan Pak Tara sudah tak sanggup berkata. Mereka memilih diam menyadari kekagetan yang putranya alami. "Ayah, Ibu, apa yang diucapkan Ria bohong 'kan?" tanya Dimas pada kedua orang tuanya. Lelaki itu masih saja meyakini jika gadis di sebelahnya adalah Ria —kekasihnya. "Sekali lagi aku katakan, aku Rayya, Dim. Bukan Ria." "Hentikan!" teriak Dimas menatap tajam Rayya. Gadis itu memejamkan mata dan berpaling ketika teriakan itu terdengar begitu kencang di telinganya. Kedua mata Dimas sudah memerah, menandakan luapan emosi yang tengah ia rasakan. "Ayah, Ibu?" seru Dimas yang kembali memandang kedua orang tua di depannya. Pak Tara mengangkat kepalanya. "Nak, bagaimana kalau kita bicarakan di rumah saja. Rasanya tak pantas kita membahas masalah ini di sini." "Tidak! Aku ingin tahu sekarang juga." Dimas masih bersikukuh dengan pendiriannya. Bu Laksmi beranjak dan mendekat ke arah sang putra. Wanita itu pun duduk di tempat sang suami, dan memandang Dimas lekat. "Nak, tidak seperti ini. Biarkan kami menjelaskan dulu. Jika kamu masih tidak terima dengan penjelasan dari kami, kamu bisa menanyakannya pada keluarga Pak Seto." Dengan lemah lembut Bu Laksmi merayu putranya. Terlihat lelaki itu terdiam. Membalas tatapan ibundanya, Dimas kemudian beranjak. Kakinya mulai melangkah meninggalkan kedua orang tuanya dan keluarga Rayya, tanpa kata. "Aku tunggu kalian di rumah!" serunya sedikit menoleh ke arah ibu dan ayahnya. "Tunggu! Biar kamu naik mobil Ayah saja, Dimas. Ayah khawatir akan terjadi apa-apa di jalan!" cegat Pak Tara. Dimas memalingkan wajahnya menatap sang ayah. "Aku tidak selemah itu, Yah!" sinisnya. "Dimas, dengarkanlah ayahmu, Nak!" pinta Bu Laksmi sangat berharap. "Baiklah. Aku tinggalkan mobilku di sini, biar besok supir yang ambil." Merasa emosi tengah memuncak dalam dirinya, Dimas menyerah. "Tunggu!" seru Rayya menghentikan langkah lelaki itu. Tanpa berbalik menatap ke arah Rayya, Dimas kembali berhenti. "Tinggalkanlah kunci mobilnya di sini. Biar besok aku yang antar." "Tidak perlu repot!" tegas Dimas kemudian melanjutkan langkahnya keluar rumah keluarga Rayya menuju mobil sang ayah. Pak Tara dan Bu Laksmi memandang Rayya dan keluarganya. Merasa tak enak hati akan sikap Dimas yang tentunya tak mereka sangka akan muncul di rumah itu. "Pak Seto dan keluarga, kami mohon pamit. Kami harus segera menjelaskan apa yang terjadi kepada Dimas. Do'akan kami semoga Dimas bisa menerima ini semua dengan baik." Pak Tara menatap Pak Seto, calon besan yang entah apakah akan berlanjut atau tidak. "Iya, Pak Tara. Kami do'akan semoga Dimas bisa menerima semuanya dengan lapang d**a. Kalau ada masalah, kalian bisa hubungi kami dan jangan sungkan," sahut Pak Seto, ayah Rayya. "Baik. Terima kasih kami ucapkan kepada kalian semua. Nanti akan kami hubungi lagi." Pak Tara mengajak sang istri untuk pulang. Khawatir jika Dimas menunggu terlalu lama, sebab kondisinya yang tengah emosi. "Hati-hati, Pak, Bu!" ucap Rayya ketika mencium tangan kedua orang tua Dimas ketika akan pergi. Tak ada yang tahu jika sepasang mata di bangku mobil penumpang mobil, tengah memperhatikan ke arah mereka. Dimas, mau bagaimana pun tak bisa melepaskan tatapannya ke arah lain selain wajah cantik nan sederhana milik Rayya. Gadis yang memiliki wajah serupa dengan kekasihnya —Ria, sebab mereka adalah saudara kembar, tak sanggup Dimas terima akan kenyataan yang baru ia dengar. *** Sepanjang perjalanan tak ada obrolan yang terjadi di dalam mobil. Hening, sebab Dimas memang tak minat untuk bicara. Meski ia ingin mengetahui apa yang terjadi, tetap saja ia tak mau membahasnya sebelum sampai rumah. Ada sosok supir yang membuat Dimas menahan keinginannya itu. Hingga setengah jam kemudian mobil pun sampai di kediaman mereka yang besar dan megah. Dimas keluar lebih dulu dan berjalan cepat ke dalam rumah. Kedua orang tuanya hanya melihat sikap sang putra dengan saling memandang. "Kita harus jujur. Kita sudah lihat perkembangan kesehatan yang semakin terlihat membaik di diri Dimas. Semoga kenyataan yang akan kita sampaikan bisa ia terima." Pak Tara bicara pada sang istri seiring langkah keduanya ke dalam rumah. Dimas sudah duduk menunggu Pak Tara dan Bu Laksmi —kedua orang tuanya di ruang keluarga. Wajahnya masih terlihat merah padam. Kedua orang tua Dimas ikut duduk di sofa besar di ruangan itu. Duduk bersebelahan seolah saling memberi kekuatan akan kenyataan yang harus mereka hadapi sekarang. "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Dimas begitu menyadari kebisuan yang masih tampak di wajah kedua orang yang ia sayangi. Pak Tara akhirnya mulai membuka mulut. Saat ini ia lebih leluasa menjelaskan dibanding ketika tadi mereka masih berada di kediaman keluarga Rayya. "Dimas, apakah kamu masih ingat kalau beberapa bulan lalu kamu itu mengalami kecelakaan?" "Tahu dan aku masih ingat dengan sangat jelas." "Lalu, apakah kamu juga masih ingat dengan siapakah kamu saat kecelakan itu terjadi?" "Ria. Tentu saja aku masih ingat, Yah. Ini kenapa harus berbelit-belit sih. Langsung saja pada intinya!" pungkas Dimas kesal. "Dimas ketika kecelakaan itu terjadi. Kamu tentu masih ingat kalau kamu mengalami kondisi kritis. Ayah dan Ibu sudah menceritakannya padamu bukan?" tanya Pak Tara. Dimas terlihat mengangguk. "Lebih dari seminggu kamu koma. Tapi, apakah kamu juga ingat bagaimana dengan kondisi Ria, tunanganmu?" Dimas terdiam. Tiba-tiba kepalanya pusing ketika sang ayah bertanya mengenai kondisi Ria. Sekelebat bayangan ketika ia mengalami kecelakaan hadir tiba-tiba di pikirannya. Lelaki itu memegang kedua sisi kepalanya. Sedikit meringis ketika rasa sakit yang sudah lama tidak ia rasakan kembali menyerangnya. "Dimas, kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Laksmi yang sudah mulai khawatir akan kondisi sang putra. Wanita tua itu bergerak dan menghampiri Dimas yang tak juga bicara. "Dimas?" panggil Bu Laksmi lagi. Sedikit menahan akan rasa sakit yang ia masih rasakan, Dimas bicara. "Apa yang gadis itu katakan tadi adalah benar, Bu? Jadi, kemana Ria?" tanya Dimas lirih. Wajahnya kini terlihat pucat. Bu Laksmi memandang ke arah Pak Tara seolah meminta dukungan dari sang suami, untuk menyampaikan sebuah kenyataan yang sepertinya Dimas lupakan. Pak Tara pun mengangguk. Dimas terlihat masih menunggu. Dengan rintihan suara akan kesakitan yang masih belum ingin pergi dari kepalanya. Tak ingin berlarut-larut menyimpan semua dari sang putra, Bu Laksmi pun kemudian berkata. "Ria sudah meninggal, Nak. Hal ini sebetulnya sudah sempat kamu ketahui, tetapi kemudian malah membuatmu jatuh dalam keterpurukan. Gadis yang kamu pikir adalah Ria, itu Rayya —kembaran tunanganmu, yang sebetulnya juga sudah kamu kenali." "Tidak mungkin!" jawab Dimas tak terima. "Tidak mungkin 'kan, Bu?" lanjut Dimas dengan suara lirih dan sedikit genangan air mata yang mulai tampak. Bu Laksmi tak tega menatap putranya itu. Air mata malah sudah lebih dulu mengalir di wajah tuanya. "Apa yang ibumu katakan benar, Nak." Pak Tara menyahut. Ia sangat yakin jika sang istri sudah tidak sanggup lagi untuk menjelaskan. "Kamu bari saja pulih dari keterpurukan itu Dimas, ketika dirimu melihat Rayya untuk pertama kalinya paska kecelakaan yang sudah merenggut nyawa Ria, tunanganmu." Dimas terhenyak. Untuk kesekian kalinya ia harus mendengar sebuah kabar yang membuatnya tak percaya. Ria sudah meninggal dan anehnya kenapa ia tak tahu dan tak ingat. "Dokter mengatakan mengenai kondisi dirimu paska koma dan terpuruk selama lebih dari sebulan, hal yang wajar dan kerap kali terjadi ketika ada ingatan yang hilang akibat dari perintah otak yang sesungguhnya tidak ingin diterima, dan itulah yang terjadi padamu saat ini." Dimas masih tak bisa berkata-kata. Kenyataan yang ayahnya sampaikan seacara bertubi-tubi, membuat rasa sakit itu semakin terasa dan tak ingin hilang. "Lalu kenapa bisa gadis itu menjadi calon istriku?" Pertanyaan yang sepertinya tidak ia pikirkan sebelumya. "Kami sudah hampir menyerah dengan kondisi dirimu paska bangun dari koma, Dimas. Lalu sebuah ide muncul di mana Rayya kami minta menggantikan posisi saudaranya untuk menikah denganmu. Awalnya gadis itu menolak karena ia tak mau meyakiti semua orang karena ide itu, terutama dirimu. Namun ketika kalian bertemu untuk pertama kali setelah kecelakaan, sebuah keajaiban terjadi ketika kamu langsung terbangun dari keterpurukan yang harus kami lihat selama lebih dari sebulan, begitu melihat gadis itu ada di hadapanmu, dan Rayya langsung merubah jawabannya. Ia akhirnya mau membantu kami untuk menikah denganmu, demi kesembuhanmu yang tentu saja kami harapkan. Tapi, ternyata keinginan kami tidak berjalan mulus, Rayya menyadari sesuatu yang sangat fatal seandainya kami meneruskan sandiwara ini." "Apa itu?" tanya Dimas yang rupanya juga tidak menyadari. Pak Tara meneruskan kalimatnya dengan wajah lelah. Tapi, mau bagaimana pun ia harus menyelesaikan semuanya malam itu. "Menurutmu jika sandiwara ini diteruskan, siapa nama gadis yang akan kamu ucapkan ketika akad nikah nanti? Ria atau Rayya? Lalu menurutmu bagaimana agama kita memandang ke-sah-an ijab kabul yang kamu ucapkan?" Dimas baru mengerti sekarang. Ya, sandiwara yang kedua orang tuanya buat, terpaksa buntu di tengah jalan. Tidak merespon, masih dengan kedua tangan memegang kepala, Dimas memilih beranjak dan hendak pergi meninggalkan kedua orang tuanya. "Aku ke kamar dulu, Yah, Bu!" ucapnya. "Apakah kamu baik-baik saja, Dimas? Biar Ibu antar!" "Tak perlu, Bu. Aku bisa sendiri." Dimas menolak. Kemudian ia pun melangkahkan kakinya menuju tangga dengan langkah perlahan. Meninggalkan Pak Tara dan Bu Laksmi yang menatapnya iba. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN