Part 4

1656 Kata
Kirana baru saja pulang belanja. Kebetulan dia bertemu tukang pos di depan rumah. Ada surat yang ditujukan pada Dinar. Dari ibu mertua Kirana. Memang dasar ibu dan anak sama saja. Zaman sudah modern, masih juga berkirim surat lewat pos kilat. Sampainya sebulan, sudah sedikit lecek ketika tiba di tangan Kirana. Kirana menggoyang-goyangkan suratnya. Penasaran akan suara benda yang bergesekan dengan kertas. Amplop kali ini lebih besar dan berat dari ukuran amplop biasanya. Entah apa yang disisipkan di dalamnya. “Dibuka nggak ya?” Kan tak sopan membaca surat untuk Dinar. Dari orang tuanya pula. Ah, tapi biasanya Dinar membiarnya membaca dan terkadang Kirana ikut menuliskan surat balasan. Mungkin tak apa-apa. Nanti baru kasih tahu Dinar, dia sudah membacanya lebih dulu. Kirana menyobek ujung surat perlahan-lahan, mengeluarkan isinya sekaligus. Selain beberapa lembar kertas, ada sebuah foto keluarga yang telah dibingkai. Itu adalah foto orang tua Dinar, adik perempuan, ipar dan seorang bayi baru lahir. Tak perlu lagi membaca apa yang tertulis di surat itu. Kirana sudah bisa menebak. Ibu mertuanya memberi kabar bila cucu pertamanya telah lahir. Selanjutnya pastilah mereka yang ditanya kapan menyusul. Berhubung Dinar lima tahun lebih tua dari adiknya. Sudah sewajarnya orang tua mempertanyakan hal semacam itu. Untung Kirana anak bungsu. Bapaknya pun tak mendesak karena merasa Kirana memang masih terlalu muda untuk punya momongan. Cuma bagaimana ya ... Kirana takut kedatangan surat ini membuat Dinar semakin kepikiran. Mau disembunyikan, dia tak tega. “Kirana, Mas Dinar pulang nih!” Suara teriakan Dinar menyentak pikiran Kirana, membuatnya terbangun dari lamunan panjang. Refleks ia mengumpulkan semua isi surat dan amplopnya sekalian. Disembunyikan di dalam laci lemari pajangan ruang keluarga. “Kok cepat? Makin lama kerjaanmu makin nggak ada ya?” Kirana sengaja bertanya penuh curiga untuk menyembunyikan perbuatannya. Dinar misuh-misuh. Dia kerja yang benar kok. Kan dirinya hanya terima pasien dari pukul 10:00 sampai pukul 15:00. Sisanya hanya melakukan pemeriksaan rutin dan boleh pulang pukul 17:00. Namanya saja dokter spesialis anak yang hanya kerja satu rumah sakit. Ya kebanyakan waktu luang dia. Jangan disamakan dengan Elard yang workaholic dong. “Udah jam enam lewat tuh. Kirana lamuni apaan sih.” Eh, masa? Kirana baru sadar. Padahal dia pulang belanja tadi masih sore. “Oh, sorry. Aku belum masak.” Jadi bingung, kan Kirana. Belanjaannya juga tergeletak begitu saja di meja dapur. Tingkahnya benar-benar aneh, tak seperti Kirana yang Dinar kenal. “Nggak apa-apa. Kita makan di luar aja. Kencan malam super romantis.” Dinar melingkarkan kedua tangannya di pundak Kirana. Dia tertawa manis. Menjadikan kecerobohan Kirana sebagai alasan untuk berkencan. Inilah sisi baik Dinar yang Kirana sukai, kepekaan dan perhatiannya yang selalu muncul di saat tepat. “Oke. Coba buat aku terkejut. Kau yang tentukan tempatnya.” Kirana jadi terpengaruh pada Dinar. Dia memeluk pinggang suaminya, memberikan ciuman selamat datang sebagai hadiah. Kalau saja setiap saat mereka bisa merasa puas dengan kebahagiaan sederhana seperti ini, mungkin ada atau tidaknya seorang anak tak akan ada bedanya. Sayangnya hanya Kirana yang merasakan hal tersebut. Dinar tidak semudah itu puas pada kehidupan mereka saat ini. “Kirana manis sekali hari ini, aku jadi takut kena marah nantinya.” Saking gemasnya, Dinar memeluk Kirana erat-erat. Dia meletakkan kepalanya di atas kepala Kirana. Rasanya jadi tak mau bergerak. Ingin terus saling berpelukan seperti ini. “Takut kenapa? Kamu pikir aku istri apaan! Kalau kamu nggak ada salah, aku nggak bakal marah kok!” Kirana pura-pura mengomel, tapi sebenarnya di tak peduli apa yang Dinar katakan tentangnya. Dia hanya ingin menghargai waktu bersama dengan suaminya seperti saat ini. *** “Gimana? Berasa di atas kapal tak bergerak, kan!” Dinar membawa Kirana makan malam di tepi pantai. Sofa-sofa empuk berjejer dengan rapi menghadap ke arah laut. Terdapat pohon kelapa di mana-mana, bercampur sempurna dengan lampu berwarna kuning yang memberikan kesan romantis. “Apaan coba. Aku dibawa ke Segarra toh.” Kirana tertawa melihat tempat pilihan Dinar. Jangan hanya karena dia suka dengan kapal, maka Kirana dianggap suka dengan pantai juga. Dinar tak perlu diberi tahu sih. Lagian Kirana cukup suka dengan tempat ini. Angin malam terasa sejuk. Bertiup menyegarkan tubuh dan pikiran hanya dengan duduk berlama-lama sambil menikmati makanan yang lezat. Di sampingnya, Dinar juga terlihat rileks. Dia melingkarkan tangannya ke pundak Kirana, mendekatkan tubuh mereka berbagi kehangatan bersama. “Nggak suka?” Arah pandangan Dinar tertuju pada wajah cantik di sampingnya. Tak pernah bosan ia tatap berapa kali pun. Sayangnya sofa di sebelah kiri dan kanan mereka diisi oleh keluarga yang membawa anak-anak. Jadinya Dinar tak bisa curi kesempatan untuk bermesraan. “Suka kok. Sesekali kayak gini juga oke.” Kirana sadar akan tatapan Dinar dan dia senang menjadi satu-satunya orang yang ditatap oleh mata predator suaminya itu. Terkadang Kirana masih sulit percaya, bila Dinar telah menjadi miliknya seorang. Kirana bermanja, menyandarkan punggungnya pada d**a Dinar. Tangan besar yang indah bermain di rambutnya, meninggalkan sentuhan halus. Suara debaran jantung yang terdengar pelan meredam segala kebisingan di sekitar mereka. Perlahan Kirana memajukan tangannya. Dia menggenggam tangan kiri Dinar yang menganggur. Dinar jadi senang. Dia menarik tangan Kirana ke atas, mencium punggung tangan istri tercinta. Kirana jadi tersipu malu, mau berteriak, tak jadi. Rasanya pasti akan lebih malu kalau sampai membuat orang-orang menatap ke arah mereka. Kirana hanya mengecutkan bibirnya, melotot pada Dinar. Si pelaku cengar-cengir, mencium pipi Kirana yang dilanjutkan dengan bisikan rayuan gombal. “Semua yang ada di sini terlihat sangat cantik, tapi tak secantik wajah cemberut Kirana-ku tersayang.” Betapa Kirana semakin salah tingkah, merasa kalah oleh serangan rayuan Dinar. “Gombal aja bisanya.” Untuk menyembunyikan rasa malu, Kirana memalingkan wajahnya. Dia pura-pura kesal, tapi Dinar peka kok. “Aslinya kamu senang, kan? Nih buktinya. Pipi merah merona yang mulus.” Cuma Dinar nggak mau mengalah saja. Dia mencubit pipi Kirana, mendorong kepala istrinya agar kembali berpandangan dengannya. “Aku mau menciummu,” ujar Dinar kemudian. “Nggak boleh!” Paniklah Kirana. Refleks ia mendorong wajah Dinar menjauh dan sebagai balasannya, Dinar menertawakannya. “Bercanda kok. Ngarep ya?” Karena tebakan Dinar tepat, Kirana makin dibuat salting. “Siapa bilang! Ke-pede-an kamu tuh!” Cewek itu mulai memukuli tangan Dinar. Ingin rasanya menindas makin jadi. Namun, kedatangan seseorang membuat Kirana menghentikan tingkahnya. Seorang wanita yang terlihat seperti berumur pertengahan tiga puluhan berhenti di depan meja mereka. Dia mengenakan prom dress hitam selutut dengan bagian belakang terbuka. Lekuk tubuhnya sangat indah, memancarkan kesan glamor hanya dengan berdiri diam di sana. Lebih dari itu, Kirana mengenali wajah perempuan ini. Salah satu dari deretan mantan pacar Dinar yang diperlihatkan oleh Seira dulunya. Seperti tidak pernah berubah, tetap cantik terawat seakan tidak menua. “Eh, Dinar. Tumben banget sama cewek lebih muda. Seleramu berubah?” tanya cewek itu. “Masih ingat denganku?” Dia hanya tersenyum pada Dinar. Terlihat sekali mengabaikan keberadaan Kirana di sana. “Edrea Leta, kan? Ingat dong. Masa sih lupa.” Tingkah Dinar yang sok kegenitan juga membuat Kirana kesal. Buat apa juga sok akrab sama mantan. Biarpun ingat, pura-pura lupa kenapa! “Kamu masih perhatian aja. Daripada sama gadis kecil begini, pindah ke mejaku yuk. Tuh di sana.” Mana ini cewek tak tahu malu. Datang menggoda cowok yang bawa cewek dengan terang-terangan. Tangannya gatal pula, main colek dagu Dinar sok merasa dirinya lebih menarik. “Hei, Tante. Jangan kegenitan sama suami orang. Nggak laku banget apa?” Mulut sinis Kirana beraksi. Suaranya sengaja dia keraskan, lengkap dengan pelototan mengancam. “Tante? Coba kamu ulangi kalau berani!” Perhatian Edrea berpindah pada Kirana. Setelah dikatai, barulah keberadaan Kirana dianggap. Dilihat seperti musuh lebih tepatnya. “Aku bilang tante kegenitan. Muka udah keriput aja masih pede gitu.” Disuruh ulangi ya, Kirana ulangi. Dia bahkan sampai berdiri, bersedekap saling memelototi dengan Edrea. Sayangnya Kirana kurang tinggi, si tante ada darah bule sih, jadi lebih semampai. “Dengar baik-baik ya, Dinar itu sukanya dengan pesona wanita dewasa seperti ku. Jangan merasa sudah menang hanya karena punya buku nikah. Paling bentar lagi juga kamu diceraikan.” Edrea berkacak pinggang, menunjuk muka Kirana dengan kuku merah panjang yang mencolok. Perkataannya pun, mencolok dan menantang. Yang seperti inilah yang dinamakan PHO kelas kakap. Tak punya rasa malu, merasa dirinya paling bagus dan tak peduli akan bisik-bisik orang yang tak sengaja mendengarkan. “Siapa yang mau dengar gonggongan mantan pacar.” Kirana tak akan ragu melawan cewek semacam ini. Dia juga bisa mengabaikan keadaan. Bicara semaunya, memastikan cewek ini tahu bila dia bukan istri jinak yang tak tahu akan keburukan suami. “Oh, jadi kamu udah tahu. Baguslah. Jadi jangan kaget kalau tiba-tiba Dinar mau balikan lagi denganku.” Lihat senyuman culas Edrea, begitu congkak seakan yakin pada ucapannya. “Nggak usah banyak omong. Dinar udah enek sama kulit keriput gini.” Kirana sengaja menarik kulit lengan Edrea yang sedikit kendur, menonjolkan bagian yang menunjukkan perbedaan umur di antara mereka. “Lepaskan!” Pelecehan Kirana membuat Edrea semakin kesal. Awalnya dia hanya ingin iseng menggoda Dinar. Akan tetapi, sekarang dia berubah pikiran. Dia akan merebut Dinar hanya untuk melihat wajah terluka Kirana. “Marah ya? Sadar diri udah tua juga ternyata. Dasar tante kegatalan.” Suara decakkan Kirana begitu nyaring, sengaja ditunjukkan untuk merendahkan Edrea. Dinar yang awalnya terbengong-bengong, akhirnya mendapatkan kesadarannya kembali. Dia ikut berdiri, mengambil posisi di antara Kirana dan Edrea untuk memberi jarak aman. Kalau dibiarkan, mungkin mereka akan mulai saling menampar dan mencakar satu sama lainnya. “Leta, udahan kamu. Sana kembali ke mejamu. Jangan cari masalah di sini,” ujar Dinar, menatap langsung ke mata mantannya itu. Edrea tersenyum, merasa mendapatkan kesempatan. Dia menarik tangan Dinar, tak memberi cowok itu kesempatan untuk melawan saat ia mencium bibir Dinar di depan Kirana. “Oke, akan kudengarkan maumu hari ini. Nomorku masih sama kok, hubungi aku ya!” Setelah itu, dia mengedipkan matanya menggoda. Barulah pergi ke mejanya sendiri. Kirana yang menyaksikan hal itu terbakar emosi. Dinar pun berkeringat dingin, merasakan aura mencekam di balik punggungnya. Dia tak salah, tapi tak bisa membenarkan diri juga. Salah Edrea yang main curang. Memanfaatkan kelengahannya untuk mencuri ciuman. “Neng Kirana, tadi itu cuma kayak digigit nyamuk kok. Jangan diambil hati ya. Cinta Mas Dinar hanya buat Kirana seorang.” Udah ah! Yang penting usaha dulu. Cepat-cepat membujuk Kirana dengan kata-kata manis biar dendamnya tak terbawa hingga ke ranjang nanti. “Bullshit! Makan tuh cinta! Baguskan, tante girangmu balik lagi!” Kirana mendengus, membuang muka dan langsung pergi meninggalkan Dinar. Dia tahu Dinar tak ada rasa lagi pada Edrea, tapi caranya meladeni perempuan itu, juga mesranya panggilan sayang itu membuat Kirana merasa marah dan cemburu.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN