Part 1
Pagi hari di rumah Elard dan Seira selalu saja kacau. Elard sibuk membuat sarapan dan Seira sibuk berteriak. “Oliviaaa ... udah dong! Jangan lari-lari lagi!” Memohon-mohon pada anak kecil yang bicaranya saja belum lancar.
“Ma! Angun!” Olivia menarik rambut Seira, meminta mamanya bangun. Jangan malah tiduran di lorong, menyerah menggantikan baju anaknya hanya karena Olivia tak bisa diam.
“Mama sekarat, panggil Papa sana,” jawab Seira asal-asalan.
“Pa! Ma malas!” Olivia langsung lari ke dapur, mengadu pada Elard.
“Seira, jangan tidur lagi! Bajunya Olivia belum selesai kamu pakaikan!” Elard tak bisa meninggalkan kompor, makanya dia berteriak menyuruh. Refleks Seira menutup telinga dengan kedua tangannya.
“SEIRA, BANGUN!” Elard mengeraskan suara.
“Ma, Pa curuh Ma angun!” Olivia lari lagi kembali pada Seira. Tangan kecilnya menarik rambut acak-acakan mamanya, memaksa Seira bangun untuk mengurusnya.
“Mama nggak dengar.” Seira menangkap Olivia, mengajak anaknya berguling-guling di lantai. Pakai baju nanti saja, berbaring begini lumayan enak.
Karena kedua wanita kesayangannya tak lagi berteriak, Elard mematikan kompor. Pergi memeriksa sendiri apa yang mereka lakukan sekarang. Dia bersedekap, mengetuk-ngetuk kaki melihat kelakuan Seira.
“Katanya kamu sudah berubah. Lalu ini apa? Masih aja kayak anak kecil, Seira.”
“Ini maunya Olivia. Aku menemani anak bermain,” balas Seira, tak mau disalahkan.
Elard menghela napas panjang. Awalnya semuanya terasa kacau. Setelah agak terbiasa menjadi orang tua, Seira bilang akan berubah dan memang berusaha berubah. Sayangnya niatnya kurang motivasi. Setelah satu bulan mencoba, dia menyerah dan berakhir kembali seperti ini.
“Pakaikan baju dulu. Lalu sarapan sama-sama.”
“Iya, Elard!”
Rasanya seperti punya dua anak. Yang satu manis, yang satu bikin gemas ingin mencubit. Bisanya menjawab saja, tangannya gerak lambat. Kalau Elard tak meminta mamanya dan mama mertua jangan datang membantu lagi, mungkin Seira makin parah manjanya.
Akhirnya Seira membawa Olivia kembali ke kamar. Bajunya ditinggalkan di sana. Elard pun bisa melanjutkan memasak. Bibi yang bantu-bantu rumah biasanya datang jam sepuluh pagi habis Elard berangkat kerja.
“Seira, kamu yang serius jaga Olivia. Setiap hari kayak gini, pusing saya lihatnya.” Sambil makan, Elard mengomel.
“Udah super serius tahu! Kamu sih nggak di rumah. Pagi udah pergi kerja, sorenya kuliah. Tiap pulang udah tengah malam. Besok paginya malah mengomel!” Seira menjawab semua omelan Elard. Dia tidak mengerti kenapa Elard kerajinan masih mau kuliah padahal sudah kerja. Memang apa salahnya tetap jadi dokter umum? Dokter spesialis hebat banget apa? Bukannya malah jadi sibuk? Lalu kapan pulang ke rumahnya?
“Saya sudah bilang yang sabar, ini tesis saya sudah hampir kelar. Tahun depan saya bakal lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.” Ala janji doang. Maunya Elard tuh jadi dokter spesialis bedah yang terkenal sibukkk bangettt ... mana mungkin jadi lebih sempat dari sekarang.
“Jadi hari ini juga pulangnya telat?” Pertanyaan Seira mengesalkan. Jelas-jelas Elard sedang meminta Seira untuk memahami kondisinya, tapi istrinya malah tanya soal jam pulang seakan tak peduli.
“Iya. Kamu nggak usah tunggu saya. Tidurkan saja Olivia yang benar. Jangan diajak main HP sampai tengah malam.”
“Kok ngomel lagi! Aku mana ada ajarkan Olivia main HP. Dia yang main sendiri.”
“Seira, jawab saja bisa!”
“Kalau nggak jawab, kamu jadi seenaknya!”
“Pa! Ma! Jangan bertengkal! Huaaa!” Elard dan Seira berhenti berteriak ketika Olivia yang tadinya diam, mendadak menangis dengan suara kelas.
“Nggak ada yang bertengkar, Olivia!” Seira mencoba menipu saling frustrasinya.
“Seira, bukan begitu sikap yang benar. Lihat saya baik-baik.” Elard malah mau memberinya contoh? Mengurus anak ternyata membuatnya lebih dari kata lelah. Sudah mulai membuat gila lebih tepatnya.
“Olivia, dengarkan papa. Mama dan papa nggak bertengkar sayang, kami cuma bicara. Olivia jangan nangis lagi ya.” Elard membujuk Olivia dengan cara yang sangat berbeda dengan Seira. Dia memindahkan anaknya ke atas pangkuan, mengusap wajahnya lembut sambil tersenyum hangat.
“Benal, Pa?”
“Benar kok. Masa Olivia nggak percaya sama papa?”
“Pecaya kok.”
“Anak manis ... sekarang habiskan makananmu. Papa pergi kerja dulu.”
“Iya!”
Begitu gampangnya anak nakal itu dijinakkan. Seira keki banget melihat tingkah Elard dan Olivia. Saling dadah-dadahan dengan senyuman berkilauan menyilaukan mata. “Apaan sih, mana bedanya.” Dia menggerutu dengan suara pelan, suapi Olivia tak niat.
“Ma, nacinya jatuh!” Nasinya hanya jatuh dua butir kok, begitu saja protes.
“Ish, kamu memang anak Papa ya, ngeselin banget.”
“Huft! Ma yang malas cuapi Oli!” Apa-apaan lagi sikapnya itu. Di depan Elard sok manis. Begitu papanya tak ada, dia buang muka sok kepintaran.
***
Siang harinya, Seira membawa Olivia ke rumah Dinar dan Kirana. Karena Kirana sudah berhenti bekerja, dia jadi ibu rumah tangga kebanyakan waktu luang. Dengan kata lain bisa dimintai tolong bantu jaga anak nakal satu ini.
“Jadi gitu, Kir. Aku mau mogok jaga Olivia. Kamu boleh pinjam satu minggu deh,” ujar Seira sehabis curhat.
Kirana putar mata malas. Tingkat keseriusan Seira sulit diukur, tapi dia tahu Elard tak akan senang dengan ide ini. “Coba aja kamu bilang gitu di depan Elard, diceraikan baru tahu rasa.” Kirana takut-takuti Seira sedikit, biar cewek b**o satu ini bisa lebih serius memikirkan perannya sebagai seorang istri dan ibu.
“Nggak mungkin ah, kalau cerai yang rugi Elard. Duda tua beranak satu mana laku lagi.” Ternyata kurang mempan. Otak Seira agak jalan hari ini.
“Yakin? Wajah ganteng, dompet tebal, jago masak dan perhatian gitu pasti laku tahu. Cewek zaman sekarang banyak yang doyan duda.” Tapi keyakinan Seira kurang kuat. Dipanasi sedikit sudah goyah.
“Masa sih?”
“Iya tahu. Kamu lengah dikit aja, tahu-tahu suaminya udah direbut. Banyak kasus gitu tahu nggak?”
Mana Seira tahu. Pemikirannya sederhana, tak terlalu peduli pada sekeliling. Biarpun banyak mengeluh, sebenarnya Seira puas dengan kehidupannya selama ini. Dia selalu berpikir Elard juga puas dan tak berniat mengubah apa pun, tapi mungkin dia yang ke-pede-an?
Lihat Seira mulai terpengaruh, Kirana menyeringai. Dia menambahkan sedikit bumbu pada keresahan hati Seira.
“Aku ke rumah sakit kemarin. Kebetulan lihat Elard lagi istirahat, banyak banget tuh suster muda yang mengerumuni kayak semut,” ujar Kirana.
“Satu rumah sakit udah tahu Elard taken, masa masih mau dekati!”
“Kamu naif banget sih. Nggak semua cewek mundur aja setelah tahu incarannya udah taken. Kalau semua gitu, yang namanya PHO dan perselingkuhan nggak ada, Seira.” Masuk akal. Seira baru sadar tuh, yang namanya menikah bukan akhir bahagia selamanya.
“Terus aku mesti gimana?” Harusnya Elard cowok setia, kan? Seira saking percayanya, jadi terlalu santai. Tak ada yang namanya usaha menyenangkan suami atau memperbaiki diri lebih baik.
“Poles diri, Seira. Jadi istri yang patut dibanggakan biar nggak kalah saing sama godaan di luar sana.” Kayak gini saja mesti Kirana kasih tahu. Apa susahnya sih buka mata sedikit, sadar akan apa yang Elard harapkan darinya. Jadi istri kok b**o amat.
“Ih, jadi karena ini kamu di rumah pun dandan kerajinan. Coba deh contohi aku caranya kamu bersaing sama cewek-cewek mainan Om Dinar.” Sudah gitu kepo-an pula, mau tahu saja urusan pribadi Kirana.
“Rahasia. Triknya beda-beda, yang kreatif dong.” Kirana mencubit pipi Seira, sebal mendengar pertanyaannya. Dinar nggak punya cewek mainan kok, kan katanya udah tobat.
Seira misuh-misuh, menyandarkan punggungnya pada sofa. Olivia sedang tidur di atas sofa itu, terlihat manis kalau nggak sedang berteriak. Kayaknya memang tak bisa dititipkan pada Kirana, tapi Kirana memang suka sama anak kecil. Tampangnya lembut banget pas lihat Olivia, nggak seram kayak biasanya.
“Anak manis gini malah dikeluhi melulu. Dapat yang lebih nakal baru tahu rasa,” ujar Kirana sambil melirik pada Seira.
“Jangan nyumpahin dong! Kalau sebegitu sukanya, buat sendiri kenapa!” Seira panik deh. Biasanya omongan Kirana suka benar. Berasa dia banyak kualat sama Kirana. Nanti bisa-bisa berisi lagi si Seira. Satu saja udah stres banget, apalagi dua.
“Ini lagi usaha, Seira. Kamu bantu usaha dong. Katanya hamil bisa menular.”
“Ya udah, tempeli temanmu yang lain. Jangan ajak-ajak aku.” Seira duduknya geser jauh-jauhan, rasa ngeri sama omongan Kirana. Padahal Kirana hanya bercanda, senang melihat tampang cemas temannya itu.
“Kamu, kan gampang jadinya.” Kirana tertawa tertahan, teringat akan tingkah Seira dua tahun yang lalu. Dramanya itu lho, seperti bakal terulang biarpun nggak sekacau dulu.
“Nggak usah diingatkan!” Seira jadi ikut teringat, merinding sendiri mulai menindas Kirana dengan serangan gelitikan.
“Udah, Seira. Jangan kayak anak kecil kamu ini!”
“Hahaha! Rasakan! Aku mana peduli.”
Mereka berguling di lantai, bercanda seperti anak kecil. Menghabiskan waktu bersama sampai sore hari. Habis itu baru Seira bawa Olivia pulang. Habis bocah satu ini sudah merengek ingin pulang.
Berhubung Elard bilangnya pulang telat, Seira mampir dulu ke mall. Anaknya disogok pakai permen biar nggak merengek. Di suruh duduk di kursi depan toko baju menunggunya sebentar. Lagi asyik-asyiknya Seira memilih baju, Olivia menghilang dari penglihatannya. Selalu dan selalu, memang dasar anak nakal satu itu.
“Kabur ke mana lagi Olivia iniii,” keluh Seira, tepuk jidat.
Dia keluar dari toko baju, celingak-celinguk mencari anaknya. Ketemu. Untung nggak jauh. Cuma kelakuannya bikin lelah. Entah tangan siapa yang digenggam, dibawa antre di toko es krim.
“Olivia, mama bilang jangan ikut orang nggak dikenal. Ini malah mau aja asal disogok es krim!” Seira datang-datang berjongkok di depan Olivia, mengomel seakan anaknya mengerti.
“Kayak kamu itu, disogok dikit langsung ikut.” Orang yang bergandengan tangan dengan Olivia mengatai Seira. Suaranya familier sekali. Refleks Seira menengadah, terbengong b**o selama tiga detik.
“Rain! Ngapain culik anak aku!” Omongan Seira, seenaknya saja menuduh.
“Main tuduh aja. Kamu yang salah, anak kecil ditinggal sendirian.” Kepala Seira dijitak oleh Rain.
Teman masa kecilnya itu seperti orang lain. Penampilannya menjadi lebih rapi dan cara berbicaranya pun lebih lembut dan sopan. Mungkin bekerja sebagai dosen membuatnya menjadi dewasa. Seira pangling, nggak menyangka bila mulut kasar Rain bisa sembuh. Kalau hatinya sih masih sama, lembut kayak Hello Kitty.
“Nggak ditinggal kok, aku awasi dari jauh!” jawab Seira bangga.
“Ma bohong, ali tadi Ma cibuk lihat baju.” Anaknya nggak bisa diajak kompromi. Tahu saja waktu yang tepat untuk menjatuhkan Seira.
“Anak nakal ini, jangan jelek-jelekan mama.” Seira bangkit berdiri, menggendong Olivia menemani Rain mengantre.
“Kenyataan tuh!” Olivia buang muka, bersedekap sok benar. Betapa gemasnya Seira, dibuat emosi terus oleh si kecil satu ini.
“Haha, kamu dinistakan anakmu, Seira.” Rain malah tertawa terbahak-bahak, nggak ada rasa kasihan pada Seira.
“Biarin! Kamu sendiri ngapain di mall sendirian. Bawa lari anak orang segala.”
“Aku tahu ini anakmu, makanya kubantu jagakan. Tadinya habis beli es krim bakal kubawa kembali ke tempat tadi.” Ternyata Rain nggak ada niat jahat. Hanya om-om baik hati yang senang memanjakan anak teman.
“Eh, tapi tahu dari mana Olivia anakku?” Perasaan mereka sudah nggak pernah bertemu sejak dia menikah deh. Rain bahkan sampai pindah ke rumah sewaan bareng-bareng rekan kerja yang baru memulai di tahun sama. Karena dia yang membuat Rain menjauh dan terluka, Seira tahu diri untuk tidak menghubungi lebih dulu. Kebetulan Kirana juga suruh dia memberi Rain waktu mengobati hati.
“Tahulah, kita, kan bukan orang asing.”
“Apaan sih, jawaban nggak nyambung.”
“Mau kubantu jagakan anakmu nggak? Masih pengen belanja, kan?”
“Baik banget deh! Mau dong. Beli es krimnya jangan pelit, belikan aku juga.”
“Ma, jangan tak tahu malu!”
“Ini teman mama, Olivia. Minta dibelikan es krim wajar. Masa kamu doang yang dibelikan.”
“Oli macih kecil, jadi nggak apa-apa.”
“Iya, iya. Kubelikan kalian berdua. Jangan bertengkar.” Rain geli melihat tingkah Seira dan Olivia mirip sekali. Apalagi jika berkaitan dengan makanan. Rain dengan senang hati membelikan mereka es krim. Lalu menemani mereka berbelanja dan makan malam bersama. Pulangnya pun diantarkan sampai di depan gedung apartemen.
Seira senang sekali, merasa persahabatan mereka bisa kembali seperti sediakala. Tak ada sedikit pun rasa curiga atau ragu pada perhatian Rain. Dia juga tak berpikir untuk bercerita pada Elard. Toh, belum tentu mereka akan bertemu kembali. Rain juga sudah tak ada rasa padanya, hanya teman biasa sekarang.