55. BERKENALAN

1486 Kata
Mereka berempat yang sampai di tengah labirin terkejut melihat ada panitia baru bernama Barra sang kebencian, selain itu mereka juga harus bertarung sampai mati, sungguh peraturan turnamen yang melampaui batas. *** "Jangan bercanda! Kenapa? Kenapa kami harus bertarung sampai mati?" tanya Stev merasa tidak setuju. "Benar, itu sungguh tidak masuk akal," tambah Chely. "Ini sungguh buruk!" ucap Ricko, sementara Mello hanya terdiam sambil memandang kesatria yang akan menjadi lawannya. "Maaf! Gak ada bantahan dan pergantian peraturan. Turnamen tahap terakhir, mulai!" ucap panitia Barra sang kebencian memberi tanda dimulainya tahap terakhir yang mengharuskan 4 peserta yang tersisa bertarung sampai mati. Panitia tersebut tiba-tiba menghilang dengan kekuatan portalnya, entah mau ke mana, mungkin ingin melihat pertarungan mereka dari tempat tersembunyi. Stev, Chely, dan Ricko merasa kesal melihat panitia baru tersebut pergi bersembunyi. Setelah itu, mereka berempat saling menatap. Mungkinkah mereka benar-benar akan bertarung sampai mati? Sungguh sulit dipercaya. Di ruang khusus, tepatnya di dalam labirin tersembunyi. Terlihat panitia Barra baru saja muncul dari portal, lalu menghampiri 4 orang lainnya, ternyata ada 3 panitia yang sebelumnya menunjukkan diri, akan tetapi ada 1 orang lagi yang baru. Dia adalah Marxo sang pengintai, seorang laki-laki paruh baya tapi masih tampak muda, sebenarnya dia juga salah 1 panitia, tapi dengan tugas tersembunyi. "Jadi hanya 4 orang itu yang akan bertarung sampai mati? Aku penasaran, siapa yang akan menang," ucap Marxo sang pengintai. "Kita lihat dulu, apa yang terjadi nanti," saran Barra sang kebencian. Mereka berlima sedang melakukan sesuatu, entah itu apa. Namun ada bola cermin di tengah mereka, sepertinya untuk melihat keadaan turnamen di tahap terakhir itu. Sebenarnya kelima panitia itu siapa? Kenapa mereka membuat peraturan dan turnamen yang mematikan? Sungguh berlebihan dan kejam. Bisa saja mereka sengaja melakukan itu, tapi untuk apa itu semua? Mereka terlalu melampaui batas dan tidak punya perasaan, meski memang hadiahnya fantastis, tapi seharusnya tidak sekejam itu. Beralih di desa tempat tinggal Stev, alias desa Blue-Sky. Tampak Khen sedang bersantai di atas pohon sambil melihat pemandangan, dia juga sedang makan kacang kulit yang direbus. "Stev, sudah sekitar 1 bulan kamu meninggalkan desa. Aku yakin saat ini kamu sedang mengikuti turnamen. Aku hanya bisa berharap agar kamu jangan mati, meskipun kamu tidak mendapatkan hadiah itu. Asal kamu tidak mati, mungkin semuanya sudah senang," gumam Khen memikirkan sahabat terbaiknya. "Aku tau penduduk desa masih terkena penyakit misterius itu. Semoga ada jalan lain yang bisa menyembuhkan mereka semua!" lanjutnya tampak bersedih. "Stev, jangan mati!" ucapnya mencoba memberi semangat, meski jarak jauh dan tidak mungkin didengar oleh Stev. Namun bisa berarti ucapan tersebut adalah sebuah do'a. Di sebuah kamar tidur, tampak seorang gadis sedang duduk di pinggir kasur sederhana. Sebenarnya dia adalah Vivi, anak gadis kepala desa. "Stev, gimana kabarmu? Semoga kamu baik-baik saja. Aku mohon, kembalilah dengan selamat. Apa kamu tau? Kami semua menanti kepulangan mu segera," gumam Vivi penuh harap. Semua penduduk desa pasti mengkhawatirkan Stev, apalagi orang tua angkatnya, pasti memikirkan Stev setiap saat, terutama ibunya. Beralih di labirin Doom Hole, tampak Stev sedikit memikirkan peraturan kejam tersebut. "Menurutku, ini semua hanya tipuan belaka, mungkin para panitia itu memang sengaja ingin membunuh para kesatria, bahkan bisa saja jika sudah ada yang menang, pada akhirnya sang pemenang juga akan dibunuh. Aku harus menyadarkan mereka semua," batin Stev. "Hey semuanya! Apa kalian gak merasa aneh dengan turnamen ini?" tanya Stev pada Chely, Ricko, dan Mello. "Hmm, iya. Sebenarnya memang aneh dan kejam, tapi ... hadiah itu, apa benar kita bisa mendapatkan?" balas Chely. "Jangan berharap, aku rasa kita hanya ditipu. Kenapa harus bertarung sampai mati, bukankah cukup mengalahkan saja bisa?" Stev mendekat pada mereka, terutama ke arah Chely, terlihat Ricko juga mendekat. "Ini memang kejam. Tapi apa arti di balik semua tahap turnamen ini?" ucap Ricko sependapat dengan Stev. Namun Mello masih terdiam dan memikirkan sesuatu seorang diri, entah itu apa. "Entahlah," jawab Stev. "Kalian gak ingin kita bertarung sampai mati kan? Ini sungguh konyol!" lanjutnya. "Enggaklah, aku gak bisa sembarang membunuh orang tanpa alasan yang masuk akal. Memang hadiah turnamen itu fantastis, tapi aku gak ingin membunuh orang hanya demi mendapatkan hadiah itu," ucap Chely. "Ya, aku juga begitu." "Aku gak mau menjadi pembunuh." Stev, Ricko, dan Chely sudah berkumpul, sedangkan Mello masih di posisinya tanpa berpindah. "Aku ingin tanya sesuatu, apa kalian kenal dengan Kakek Hamzo?" tanya Stev pada Ricko dan Chely. Mendengar itu, Chely dan Ricko tersenyum. "Ya, dia adalah guruku. Aku yakin kamu juga muridnya, iya kan? Salam kenal, aku Chely." "Stev," jawab Stev sambil berjabat tangan. "Wah, wah, wah! Jadi pedang yang kalian bawa itu adalah pedang legendaris?" ucap Ricko. "Aku Ricko," lanjutnya memperkenalkan diri. Mereka bertiga saling berkenalan dan mengobrol, mereka bertiga juga menunjukkan pedang suci legendaris yang mereka dapatkan, semua terkejut dan kagum mengetahui pedang mereka sangat mirip. Mereka bertiga juga senang mengetahui bahwa mereka sama-sama murid Kakek Hamzo. Akan tetapi saat Stev, Chely, dan Ricko mengobrol tiba-tiba ada serangan melesat ke arah mereka. "Awas!" teriak Stev memberi peringatan. Mereka bertiga segera berpencar untuk menghindar. Serangan itu adalah tebasan energi berwarna ungu, mungkin beracun. "Dia ...?" ucap Stev terkejut, ternyata yang menyerang itu adalah Mello. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Chely. "Apa kalian lupa? Di tahap terakhir ini, kita harus bertarung sampai mati!" balas Mello bersiap melawan mereka bertiga. "Jangan bodoh! Ini semua hanya tipuan!" teriak Ricko memberi tahu. "Hahaha, aku gak peduli. Asalkan aku bisa menang dan mendapat hadiah itu, gak masalah jika harus membunuh kalian bertiga," balas Mello dan segera melesat untuk menyerang salah satu murid Kakek Hamzo, dia mengincar Stev terlebih dahulu karena paling dekat. "Dia, apa dia sedang gila? Sungguh keterlaluan," batin Stev bersiap mengatasi serangan Mello. "Sreett!" Mello mencoba menebas Stev dengan sabit legendaris, namun Stev menghindar. "Tolong jangan gegabah! Kita semua hanya ditipu oleh panitia itu, percayalah!" ucap Stev mencoba menyadarkan Mello. "Bodoh! Aku gak peduli itu. Kalau kalian mati, aku bisa mendapatkan hadiah semuanya," balas Mello keras kepala. Stev berusaha terus menghindar dan tidak mau melawan balik Mello, karena dia tidak ingin melukai sesama peserta, apalagi dia tahu ini semua hanyalah tipuan belaka. Stev meningkatkan kekuatan energi-nya agar bisa menghindar dan bertahan dari serangan Mello. "Clenk!" suara pedang legendaris dan sabit legendaris saling beradu, tapi Stev hanya ingin menahan serangan Mello saja. "Mello, hentikan! Nama kamu Mello kan? Kita harus mencari cara lain di tahap ini," ucap Stev mengetahui nama Mello di ikat kepala orang keras kepala itu. "Sudah aku katakan, aku hanya ingin hadiah itu!" kesal Mello. "Dan satu hal lagi, jangan coba-coba sebut namaku! Karena kalian harus mati di tanganku!" teriak Mello, dia mundur lalu mengeluarkan kekuatan spesial sabit legendaris. "Ini buruk!" batu Stev. "Sabit Racun, Teknik Gelombang Racun!" Sebuah gelombang berwarna ungu menyebar, melihat itu Stev berlari menjauh dengan menggunakan kekuatan energi secara maksimal. Serangan Mello hanya mengenai dinding labirin, dinding itu terlihat sedikit meleleh hingga berjatuhan. "Apa-apaan orang itu? Dia sudah tergila-gila dengan hadiah fantastis itu," ucap Chely. "Aku tau hadiah itu memang menggiurkan, tapi jika harus saling bunuh, ini tidak baik," ucap Ricko. Tiba-tiba Mello menyerang Chely, hal itu membuat Chely terkejut dan berusaha menghindar, dia juga tidak ingin bertarung dengan peserta lain. "Mungkin membunuh gadis dulu akan lebih mudah!" ucap Mello sambil tersenyum sinis. Akan tetapi serangannya gagal, Mello merasa kesal, kemudian ganti menyerang Ricko. "Sabit Racun, Teknik Semburan Racun!" Semburan Racun berwarna ungu menyerang Ricko, dia menghalau dengan kekuatan pedang angin, sehingga kedua serangan bertabrakan dan menyebar, tampak juga perlahan menghilang. "Mello, berpikirlah jernih!" ucap Ricko. "Cihh, memuakkan!" balas Mello. Mello terus menyerang mereka bertiga, hingga dia semakin lelah karena Stev, Chely, dan Ricko hanya selalu menghindar dan bertahan. "Hah, hah, hah! Kenapa kalian selalu menghindar? Biarkan aku membunuh kalian!" kesal Mello. "Bodoh! Siapa juga yang ingin mati," balas Stev. Tampaknya Mello tidak mau menyerah dan masih ingin melawan mereka bertiga, meski selalu sia-sia. Namun Stev dan teman-teman bingung harus bagaimana. "Apa yang harus aku lakukan? Apa hanya bisa begini terus? Sial, ini sungguh gak berguna!" gumam Stev. "Mello, dia masih gak mau menyerah juga!" gumam Chely. Terlihat Ricko sedikit santai, karena dia tidak tahu harus berbuat apa. Tapi ketiga murid Kakek Hamzo tersebut terus waspada dengan serangan Mello. Sesaat kemudian, Stev mendapat ide. Stev menyerang Kristal Magic yang berada di atas menara, dia menggunakan kekuatan es. Namun tidak mempan sama sekali, selanjutnya memakai kekuatan api, hasilnya sama saja. Kristal Magic memang terlindungi oleh kekuatan gelap. Semua terkejut melihat Stev menyerang Kristal Magic. "Mello, jika kamu gak percaya! Silakan coba ambil Kristal Magic itu! Kami gak akan menghalangi kamu," ucap Stev memberi saran. Mendengar itu, Mello beneran melakukan itu, dia melesat dan naik ke atas menara untuk mengambil Kristal Magic. Tidak lama kemudian, dia berada di dekat Kristal Magic, tampak Mello berdiri miring di menara, dia memusatkan kekuatan energi miliknya di kaki agar bisa berdiri begitu. Mello berniat menebas Kekuatan gelap untuk mengambil Kristal magic. Mungkinkah Mello berhasil mengambil Kristal Magic? Jika berhasil, apa yang akan terjadi? Apa dia bisa meminta permintaan sesuai yang dia inginkan? Sungguh sulit dipercaya, tapi tentu saja itu melanggar peraturan turnamen. TO BE CONTINUED
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN