Bab 3: Awal Mula

1643 Kata
"Satu. Dua. Tiga." Blitz kamera terus menimpa tubuh pribadi ramping yang sedang berpose di depan sana. Nur Walis Pelita. Siapa pun tahu, gadis itu sangat cantik. Manik madunya, alis lebatnya, bulu mata yang lentik, bibir ranum berwarna merah muda, hidung mancung dengan tulang hidung tinggi, janggut lancip dan wajah memukau. Seperti tersihir, orang bisa menatapnya tanpa berkedip dalam jangka waktu lama. "Satu. Dua. Tiga. Satu. Dua. Tiga." Pelita terus mengganti posenya dengan blitz kamera yang tiada henti menyambar ke arahnya. Fotografer yang memotretnya tidak banyak menyuruhnya melakukan pose ini dan itu. Dengan profesional, Pelita bisa membawa dirinya sendiri. Bergaya sesuka hati yang mana posenya selalu memuaskan dan sesuai. Dug! "Udah dong, Bang! Jangan dilihatin terus!" Sebuah suara centil mengudara di samping seorang laki-laki tinggi dengan setelan kasual tak jauh dari Pelita melakukan pemotretan itu, June Aldrian Adams. Dan suara centil itu adalah suara Arina yang baru menyenggol lengan June yang berdiri di sisinya. "Ngagetin aja kamu," gumam June pada Arina namun tanpa menunjukkan raut terkejut sama sekali. Arina hanya memasang cengirannya dan tertawa pendek. "He he he." June tersenyum sebentar membalasnya. "Bang June. Pagi ini Abang ke mana? Tumben banget aku nggak lihat Abang sama Pelita." June mengangkat sebelah alis lebatnya sebentar lantas kembali tersenyum. "Tadi ada urusan. Jadi aku nggak bisa jemput Pelita di apartemennya." "Ooh. Gitu. Kirain kalian lagi berantem he he. Ternyata." Sekali lagi June mengulas senyumnya. "Ya udah ya. Pemotretan Pelita udah break. Aku mau nyamperin dia dulu." "Eh. I-iya, Bang." Arina kemudian melihat tubuh tegap June yang mulai melenggang menebas jaraknya menghampiri Pelita. **** "Hufft ...." Pelita mendudukkan dirinya di sebuah bangku yang ada di teras depan lokasi pemotretannya sembari menghela napas pendek. Menatap jalanan Kota Bandung yang terlihat merayap padat sore ini. Halaman seluas dua puluh meter memisahkan posisinya dari jalan utama dengan taman berhias bunga-bunga bakung yang mekar dengan cantik di depannya. Blezz! Sesuatu yang dingin tiba-tiba menyapa pipi kirinya. Saat Pelita menolehkan kepala, manik madunya mendapati June berdiri di sampingnya. Memegang dua buah kaleng kola dingin di kedua tangan. Yang satu sudah terbuka di genggaman tangan kirinya dan satu lagi ditempelkan laki-laki itu di pipi Pelita. "Kak June." Pelita meraih kola dingin yang ada di pipinya itu. "Makasih," ucapnya. "Hm." June mengangguk singkat kemudian mendudukkan diri di bangku kayu lain yang ada di samping Pelita. Laki-laki itu menenggak kolanya dan memegangnya lagi di tangan kanan. Beberapa detik pertama keduanya berselimut diam. Pelita membuka kaleng kolanya dan menyesapnya sedikit. Kola adalah salah satu minuman kesukaan gadis itu. "Kamu pagi ini ke mana, Kak?" Pelita membuka percakapan di antara mereka. June menolehnya namun tetap diam saja. "Apakah terjadi sesuatu?" Menyadari keterdiaman June, Pelita bertanya pelan menatap June. Pendar kekhawatiran mulai mencuat di manik madunya. June diam lantas menghela napas. "Keadaannya semakin buruk, Pelita," gumamnya. "Paman semakin ingin kamu kembali. Dan Tante Diana, Tante terlihat semakin tidak suka karena itu." Pelita hanya diam sembari menatap dalam manik hangat milik June. "Lalu aku harus gimana?" gumamnya kembali melempar pandang ke jalan raya di depan. June menghela napas. "Kamu tahu, aku bakal selalu siap berada di samping kamu." Ia kemudian berdiri dan kembali masuk ke dalam ruangan. Pelita menyesap sisa kolanya kemudian membuang napas sembari mendongak menatap langit senja yang berwarna jingga. Keras-keras kembali menghela napasnya. **** "Gimana, Bang? Lo mau kan nerima tawaran itu? Ini kesempatan bagus buat lo." Adhim menyandarkan tubuh tegapnya ke badan sofa sembari menatap Aldo yang bicara di depannya. "Kalau gue jadi elo, tanpa kebanyakan mikir gue pasti nerima tawaran itu, Bang. Brand punya lo bakal semakin dikenal dengan lo ikut acara itu. Percaya sama gue." "Hufft." Adhim menegakkan duduk mengambil cangkir kopinya kemudian menyesapnya. "Tujuan gue bikin gelang itu bukan untuk dikenal banyak orang, Do. Tujuan gue bikin Kumbara cuman buat seneng-senengan aja." Adhim kembali meletakkan cangkir kopinya di atas meja. "Astaga, Bang! Tapi ini kesempatan bagus. Dengan lo ikut acara itu, nggak menutup kemungkinan brand gelang lo bakal terkenal seantero Indonesia. Bukan hanya di Bandung. Bisa jadi Kumbara bakal jadi brand gelang yang terkenal bahkan sampai di daerah rumah lo. Gelang branded pertama yang terkenal di mana-mana, Bang! Gila lo kalau sampai nolak tawaran sebagus itu." Adhim kembali menghela napas. "Dengerin gue. Mungkin pikiran lo nggak sama sama pikiran gue dalam mempertimbangkan tawaran ini. Tapi lo harus terima tawaran ini, Bang. Acara pameran itu bukan event abal-abal. Yang ikut acara ini adalah seniman dan perancang-perancang terkenal punya bangsa kita. Sama sekali bukan event biasa. Kalau bukan buat diri lo, terima tawaran ini buat orang-orang yang suka sama Kumbara. Terima buat mereka dan terima buat almamater kita. Kampus kita, terutama fakultas kita bakal bangga banget sama lo kalau lo terima tawaran ini. Anak-anak klub juga. Gue yakin keluarga lo sendiri pasti bakal bangga sama lo kalau tahu semua ini, Bang." Adhim menatap Aldo yang masih memprofokasinya untuk mengikuti sebuah pameran seni di depannya itu dengan wajah serius. "Dan lebih dari semua itu, Bang. Terima tawaran ini buat gue," pungkas Aldo kemudian mengubah wajah profokatifnya dengan ekspresi memelas yang menurut Adhim mirip ekspresi memelasnya perempuan sambil memegangi tangan kanan Adhim dengan kedua tangannya. "Apaan sih lo, Do?! Jijik gue ngelihatnya." Adhim langsung menarik tangannya setelah menepis kuat tangan Aldo. "Ayolah, Bang! Terima tawaran itu." Tidak menyerah, Aldo tetap memasang wajah memelasnya sembari mencoba menyentuh tangan Adhim lagi. Adhim pun terus menepis tangan Aldo berkali-kali. "Lo jahat banget sih, Bang! Ayolah, terima tawaran itu. Buat Kumbara, Bang," kata Aldo lagi. "Lo pemiliknya, bapaknya, orang yang nyiptain brandnya. Masa lo nggak mau liat anak lo berkembang dengan nerima kesempatan sebagus itu. Rugi banget lo, Bang!" Adhim menghela napas pendek. "Kumbara nggak bakal punya brandnya sendiri kalau bukan lo yang maksa gue daftarin hak ciptanya, Do," lirih Adhim dengan wajah tenang. "Gue bener-bener udah cukup dan puas ngelihat gelang bikinan gue dipakai sama anak-anak klub motor. Gue udah puas lihat banyak anak muda di Bandung pakai gelang gue. Udah. Cukup di situ aja. Ikutan pameran itu sama sekali bukan ambisi gue. Lagian awal gue bikin gelang-gelang itu cuman iseng. Nggak pernah ada di bayangan gue ngebuat Kumbara jadi brand nasional seperti yang lo bilang tadi." Aldo mendesah frustasi. "Ayolah, Bang!" serunya. Adhim hanya tersenyum tipis menatapnya. Tanpa berkata-kata, laki-laki berambut gondrong itu kembali menyesap kopinya hingga tandas kemudian pergi. "Bang! Bang!" Adhim tidak menoleh sama sekali. **** Mobil sedan warna putih berjenis BMW keluaran tahun lalu itu melenggang pelan di tengah udara malam Kota Bandung. Di balik stir kemudinya, laki-laki dengan setelan kasual duduk dalam diam dengan kedua mata yang selain jalan raya, beberapa kali membelot dengan melirik pemandangan cantik yang ada di sisi kirinya. Seorang gadis dengan balutan jilbab di kepala tengah terlelap di sana. Sejak beberapa puluh menit yang lalu. June bisa melihat raut kelelahan di wajah cantik gadis yang menjadi kesayangannya itu. Kembali fokus ke jalan raya, tak lama June memutar stir kemudinya untuk berbelok saat tempat yang ditujunya sudah semakin dekat---apartemen si gadis. Di dalam basement apartemen, laki-laki itu kemudian menghentikan mobilnya dan menyandarkan tubuh lelahnya secara sempurna di kursi mobil. Mata hangatnya kembali menyorot pada objek hidup di sisi kirinya. Kali ini secara penuh dengan kepala yang sempurna menoleh. "Aku harus apa, Lit?" gumamnya lirih setelah menghela napas. "Aku harus apa?" ulangnya kemudian mengulurkan tangan ke wajah gadis kesayangannya. Tangan June sudah hampir menyentuh wajah cantik itu sebelum pada detik berikutnya, laki-laki itu kembali menarik tangannya sendiri. Tinggal sesenti lagi namun June berhasil menahan diri. "Hufft." Napasnya terhela kasar. "Pelita. Bangun! Kita sudah sampai," ujarnya kemudian setelah diam dalam beberapa detik yang meresahkan. **** "Bangun, Lit! Pelita!" Pelita mengerjapkan matanya mendengar seseorang yang halus menyebut-nyebut namanya. "Kita sudah sampai." Suara laki-laki itu kembali mengalun pelan. "Eoh, Kak June?" gumam Pelita melihat presensi pemuda tampan yang ada di depannya begitu gadis itu membuka matanya sambil menguap. Tangan kanannya pergi menutup mulut setelah mengucek kedua matanya beberapa kali. Melihat itu, June diam-diam menahan senyumnya mendapati wajah bangun tidur Pelita yang tersorot jelas berkat cahaya lampu dari luar. Terlalu cantik dan innocent. Selalu seperti itu. "Pules banget tidur kamu. Masih harus begadang berapa hari lagi?" tanya June penuh perhatian. "He he. Nggak tahu, Kak." Pelita memasang senyum lebar setelah yakin kesadarannya sudah terkumpul dengan benar. "Masih ada satu naskah yang disuruh ngerevisi sama Mbak Cecil. Mungkin kalau nggak malam ini ya besok bakal kelar." June tersenyum kecil sambil mengangguk. "Jangan lupa istirahat! Inget, kamu nulis itu pertama harus untuk membahagiakan diri kamu sendiri. Jadi menulis itu harus menyenangkan. Kalau capek ya istirahat." Pelita masih menatap June. "Hm. Iya, Kak. Makasih karena selalu ngingetin." June kembali mengangguk lirih. "Ya udah ya, Kak. Aku masuk dulu." Pelita merapikan jilbab abu-abu yang dikenakannya kemudian melepas sabuk pengaman yang membelit tubuh rampingnya. "Duluan!" serunya. "Tunggu dulu," tahan June. "Iya?" Pelita menghentikan pergerakan tangannya yang sedang membuka pintu mobil. "Soal yang tadi jangan terlalu dipikirin. Di Singapura, Leon juga sudah tahu apa yang terjadi. Kalau kamu belum siap ketemu Paman dan kembali ke Jakarta. Nggak apa. Kamu tahu kalau aku bakal selalu ada buat kamu." Pelita terdiam menatap June kemudian mengangguk. "Iya, Kak," balasnya. "Udah ya, Kak. Duluan." "Leon peduli sama kamu, Pelita." June bicara lagi yang membuat Pelita kembali berhenti. "Kamu adiknya. Dia sayang sama kamu. Dia nggak bisa di sini karena ada suatu hal yang harus dia urusi. Sebenarnya Leon juga melarangku mengatakan ini sama kamu. Tapi kamu harus tahu ini, Pelita. Leon sayang dan peduli sama kamu." Pelita diam. Menghela napas, gadis itu tersenyum tipis kemudian mengangguk. "Makasih, Kak. Apa yang Kak June bilang barusan berarti banget buat aku. Ya udah ya, kali ini aku beneran masuk, Kak. Hati-hati di jalan. Besok tolong jemput aku lagi seperti biasa." June tersenyum lebar sembari mengangkat jempolnya. "Good night," serunya begitu Pelita turun dari mobil. Pelita kembali mengulas senyumnya. "Good night too," balasnya kemudian menutup pintu mobil June dan menyaksikan mobil itu melenggang pergi ditelan udara. "Kak Leon, aku rindu ...," gumam Pelita lirih sebelum masuk ke dalam gedung apartemen. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN