Bab 2: Sang Pengembara

2952 Kata
Kubakar cintaku Dalam hening nafas-Mu Perlahan lagu menyayat Nasibku yang penat Kubakar cintaku Dalam sampai sunyi-Mu _ "Woi!" Tubuh seorang laki-laki dengan surai hitam dan panjang tersentak sesaat setelah seseorang menepuk keras pundaknya. "Lihat apaan?" tanya seseorang yang baru saja mengejutkan laki-laki bersurai panjang itu. Seorang lelaki bertubuh jangkung atletis dengan potongan rambut cepak. Tato berbentuk jangkar mencuat di lengan kanan laki-laki berambut cepak itu yang hanya mengenakan kaos lengan pendek berwarna hitam. Di lehernya, melingkar kalung rantai yang di ujungnya berbandulkan cincin berbahan lempengan besi tipis sepanjang tiga sentimeter---bahan yang sama sekai tak senilai dengan rantai kalungnya yang terbuat dari emas murni berwarna putih. Sedangkan laki-laki berambut panjang sendiri---yang bisa juga disebut gondrong, ia mengenakan setelan celana jins biru tua dengan atasan kaos abu-abu yang di bagian luarnya dilapisi kemeja levis warna hijau army yang melekat sempurna di tubuh kekar tak kalah atletisnya. Kancing-kancing kemeja levis yang ia kenakan tidak dikancingkan sama sekali. Rambut panjang bergelombangnya dibiarkan tergerai begitu saja sepanjang bahu. Mendengar pertanyaan dari temannya yang baru datang itu, laki-laki berambut gondrong langsung mematikan layar ponsel yang sedang ditatapnya. Terdengar siulan pendek setelahnya. Laki-laki berambut cepak dengan tato yang menjadi sumber dari suara siulan itu. "Cantik banget. Siapa? Cewek lo?" tanya laki-laki berambut cepak merujuk pada sebuah foto perempuan berjilbab yang sempat ia lihat pada layar ponsel lelaki berambut gondrong sebelum temannya itu mematikan ponselnya. Yang ditanyai hanya mengembangkan senyum simpul. "Bukan. Adek gue," jawabnya pendek lantas memasukkan ponsel ke dalam kantung celana jins yang ia kenakan. Laki-laki berambut cepak memasang senyum lebar lalu mengambil tempat untuk duduk di samping laki-laki berambut gondrong itu, di sebuah bangku kayu panjang yang ada di pinggiran taman universitas. "Gila gilaa! Cantik banget adek lo. Jadi, itu adek lo?! Kenalin ke gue napa?" Laki-laki berambut gondrong menanggapinya dengan dengkusan tawa, kemudian menjawab, "Nggak ada. Ngenalin adek gue ke playboy kelas kakap kayak lo itu, sama aja ngasih buaya makanan," katanya santai. "Ha ha ha ha." Laki-laki berambut cepak langsung tertawa kencang. "Nggak lah, Bang. Kalau sama adek lo insaf gue," jawabnya menatap lawan bicara. "Mana berani gue macem-macem kalau abangnya orang paling disegani seantero jalanan Kota Bandung. Udahlah, kenalin ke gue aja oke?!" Laki-laki berambut gondrong mencebikkan mulut. "Lo terlambat," ujarnya sembari tersenyum di salah satu sudut bibir. "Adek gue udah nikah seminggu yang lalu." Tercipta jeda setelah itu. "Hah? Beneran?! Yah ...." Laki-laki berambut cepak mendesah kecewa. "Kecolongan start dong gue!" serunya memasang wajah terluka yang membuat laki-laki berambut gondrong melepaskan kekehannya. "Sama siapa? Baru aja gue mau insaf jadi playboy buat adek lo. Memantaskan diri gitu. Ternyata gue kalah cepet sama orang lain." Laki-laki berambut gondrong masih menampilkan senyum tipisnya. "Sama siapanya adek gue nikah nggak penting buat lo tahu. Tapi soal insaf jadi playboy? Tobat mainin cewek itu jangan karena lo merasa udah nemu orang yang tepat untuk lo seriusin, Do," ujarnya menjeda. "Berhenti main-main itu mulai sekarang! Inget umur! Inget karma juga. Jangan sampai kelakuan lo nurun ke anak lo nanti. Iya kalau anak lo cowok, kalau cewek terus dia ketemu cowok yang kelakuannya sebelas-dua belas sama bapaknya gimana? Lo mau anak lo dimainin orang?" Laki-laki berambut cepak segera membulatkan matanya. "Iya enggak lah. Kalau gue punya anak cewek terus ada cowok yang berani mainin anak gue, habis tuh cowok gue hajar! Enak aja anak gue dibuat mainan." Si rambut cepak menggerutu kesal. Laki-laki berambut gondrong semakin melebarkan senyumannya. "Nah, itu lo tahu," katanya sembari menepuk pelan pundak lelaki berambut cepak yang duduk di samping kirinya itu. "Jadi saran gue, berhenti mainin cewek, Do! Cewek-cewek yang pernah lo mainin perasaannya, orang tuanya pasti nggak terima atas apa yang udah lo perbuat. Ya, kayak lo tadi. Masih untung sampai sekarang nggak ada bapak-bapak, abang, paman atau mungkin adek dari cewek yang pernah lo mainin yang datang bawa golok buat ngajar lo." Laki-laki berambut cepak langsung nyengir, "Omongan lo, Bang! Bikin gue takut aja!" katanya. "Ya enggak lah, nggak bakal ada karena selama ini cewek-cewek itu sendiri yang nyodorin dirinya ke gue. Mereka tahu reputasi gue kayak apa. Tapi apa? Mereka sendiri yang nekat deketin bahkan nembak gue terang-terangan. Sebagai orang yang peduli perasaan perempuan, ya gue terima lah! Siapa tau kan, ada yang cocok sama gue? Jadi saat nggak ada yang cocok, bukan salah gue kalau mereka kemudian merasa kecewa saat gue tinggalin." Laki-laki itu mengungkapkan argumentasinya tanpa dosa. Sudah menjadi rahasia umum memang, jika laki-laki berambut cepak dengan tato di lengan itu terkenal sebagai seseorang yang kurang serius dalam menjalin hubungan. Casanova, begitulah ia terkenal di kalangan komunitasnya. Alasannya dia ingin mencari kecocokan sambil menjalani hubungan. Namun hanya beberapa minggu berjalan, hubungan itu pasti kandas karena dirinya yang merasa kurang atau tidak cocok lagi. Sudah tidak bisa dihitung jari berapa banyak perempuan yang pernah ia pacari. "Susah berurusan sama orang kayak lo, Do. Jadi perempuan yang lo mau yang seperti apa? Perempuan yang seperti apa yang lo cari?" Laki-laki berambut cepak mengerjapkan matanya sekali, lantas meringis, "Gue mau yang seperti adek lo," jawabnya. Laki-laki berambut gondrong langsung menggelengkan kepala, tersenyum kemudian mengeluarkan decakan tak habis pikir. "Sayangnya, perempuan seperti adek gue nggak bakal mau sama orang kayak lo, Do," katanya. "Kalaupun perempuan seperti dia ada yang mau, perempuan itu pasti lagi khilaf saat itu. Lo pernah denger nggak? Jodoh itu cerminan dari diri lo sendiri. Kalau sekarang lo kurang bener, jangan harap lo bakal ketemu jodoh yang bener." "Ha ha ha. Hadooh. Iye, iye, Pak Kiai ...," sahut laki-laki berambut cepak dengan nada jenaka. "Gue sadar diri .... Gue emang nggak bakal mungkin berjodoh sama cewek sebaik adek lo itu. Cantik. Nutup aurat. Salihah. Dan, oh, anak kiai lagi! Gue sampai lupa kalau temen gue ini anaknya kiai. Adeknya jelas anaknya kiai juga lah. Gue sadar diri banget, Bang. Tapi seenggaknya, gue mau perempuan yang bener buat jadi pasangan gue. Ibu itu sekolah pertama buat anaknya. Gimana jadinya anak gue nanti kalau bapak sama ibunya sama-sama modelan blangsak kayak gue? Jadi gue mau perempuan baik-baik yang nanti bakal jadi pasangan gue." Laki-laki berambut gondrong hanya mengulas senyum tipis. Pemikiran seperti itulah yang kurang disadari kebanyakan orang. Mereka menginginkan pasangan yang sempurna, tampan atau cantik, baik, salih atau salihah, tapi mereka tidak melihat dirinya sendiri. Mereka mematok tipe ideal untuk dirinya tapi tidak melihat dirinya sendiri apakah sudah layak atau tidak menjadi tipe ideal bagi orang lain. Dalam al-Qur'an sudah disebutkan: "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) ...." (Qur'an Surat An-Nur Ayat 26). "Btw, jadi adek lo beneran udah kawin ya, Bang?" Laki-laki berambut gondrong langsung mencurengkan alis, "Kawin?" tanyanya. "Nikah, Do. Nikah dulu, baru kawin!" "He he he. Iya. Itu maksud gue. Jadi, adek lo beneran udah nikah?" "Hm." Laki-laki berambut gondrong mengangguk. "Terus, lo-nya kapan?" Laki-laki berambut gondrong langsung terdiam. Ia kemudian kembali menoleh kepada temannya, "Emang kenapa nanya-nanya?" Laki-laki berambut cepak mengedikkan bahunya. "Ya, siapa tahu aja kan? Gue pernah denger, kalau nggak salah, anak kiai itu biasanya nikah muda, Bang. Terlebih yang cewek. Kayak adek lo tadi. Kelihatan kalau masih muda. Gue tebak masih delapan belas-sembilan belas tahunan, ya?" Laki-laki berambut gondrong diam saja. "Lo sendiri, nggak mau nikah nyusul adek lo?" lanjut laki-laki berambut cepak. Laki-laki berambut gondrong hanya tersenyum. "Enggak," jawabnya. "Lah, kenapa?" tanya laki-laki berambut cepak lagi. "Lo tahu nggak, Bang. Di kampus, ada banyak cewek yang diam-diam suka sama lo. Belum lagi anak-anak klub motor. Lo aja yang nggak peka." Laki-laki berambut gondrong hanya tersenyum menanggapinya. "Nggak ada .... Ngaco lo!" Laki-laki berambut cepak langsung menegakkan duduknya. "Beneran gue, Bang. Suer deh!" serunya. "Menurut sudut pandang seorang ahlinya cewek dan cinta, Aldo Jefrico," ujarnya lagi sembari menepuk dadanya dua kali, "Daripada cewek-cewek yang suka ke gue, cewek yang suka lo lebih banyak, Bang. Lo-nya aja yang nggak peka dan nggak pernah sadar." Laki-laki berambut gondrong mencebikkan mulut. "Maksud lo gimana?" kemudian tanyanya. Laki-laki berambut cepak yang bernama lengkapkan Aldo Jefrico itu menghela napas, "Maksud gue, kalau lo mau, cewek yang mau jadi pacar lo, bahkan mungkin, jadi istri lo itu banyak. Coba lo tunjuk aja satu, gue jamin cewek itu langsung mau." Laki-laki berambut gondrong terkekeh menanggapi. "Lo berlebihan, Do! Masa segampang itu mau nikahin anak orang," ucapnya kemudian kembali tertawa. Aldo hanya menatap lamat laki-laki berambut gondrong yang ada di sampingnya. "Gue ngomong kenyataannya padahal," gumamnya lantas ikut tertawa. Untuk beberapa saat, keduanya sama-sama tertawa. Saat sudah puas, Aldo kembali bersuara lagi, "Percaya sama gue, Bang. Kalau lo mau, lo bisa jadi Casanova paling legendaris sepanjang sejarah fakultas kita," katanya dengan nada tenang dan bersungguh-sungguh. Laki-laki berambut gondrong menghela napasnya menatap Aldo. "Biar bisa nyaingin lo?" tanyanya dengan nada gurauan. "Ha ha. Salah satunya," balas Aldo. "Mumpung kita masih muda, Bang. Buat apa lagi kalau nggak buat seneng-seneng dan cari banyak pengalaman." Mendengar itu laki-laki berambut gondrong kembali menghela napas lalu menggeleng, "Terserah lo," ucapnya. "Sebagai teman dan orang yang setahun lebih tua dari lo, gue udah selalu ngingetin lo, Do. Kalau lo mau insaf, bagus, lebih baik cepetan insaf! Lo nggak mungkin hidup seperti ini terus sampai tua." "Iye, iye," sahut Aldo kemudian menyengir seperti sebelumnya. "Eh, Bang. Btw, adek lo yang cantik itu siapa namanya?" Laki-laki berambut gondrong langsung mengernyitkan dahinya. "Kenapa lo tanya-tanya nama adek gue?" tanyanya sembari memicingkan mata tajam. "He he. Ya kepo aja gue sama nama adek sohib gue sendiri. Emang salah? Mau gue gebet juga kan, udah nggak mungkin, udah punya suami." Laki-laki berambut gondrong terkekeh lagi. "Zulfa. Nama adek gue Zulfa," katanya begitu berhenti tertawa. Aldo manggut-manggut mendengarnya. "Zulfa ...," ulangnya seolah memproses nama itu agar terpatri kuat dalam ingatannya yang sebenarnya cukup sulit untuk mengingat-ingat nama perempuan. Buktinya, coba tanyakan saja nama-nama mantannya, sembilan puluh persen laki-laki itu tidak bisa mengingatnya---khas seorang Casanova. "Bagus, Bang, namanya," komentar Aldo setelah beberapa lama. "Emang lo tahu artinya apa?" Aldo langsung menatap sengit. "Ya tahu lah. Gini-gini, gue pernah mahir belajar bahasa Arab waktu masuk pesantren meski bertahan cuma setengah tahun. Lo tahu cerita gue." Laki-laki berambut gondrong manggut sembari tersenyum menatap tato berukurang sedang yang terlukis di lengan teman kuliahannya itu. "Kalau gitu apa artinya?" tanyanya. Aldo memejamkan matanya sebentar kemudian menghela napas. "Zulfa. Yang jelas Zulfa itu nama dari bahasa Arab. Kayak nama lo. Adhim. Bahasa Arab juga kan?!" katanya begitu membuka pejaman mata kembali. "Setahu gue, Zulfa itu artinya kedudukan, derajat, dekat sama taman. Dalam bahasa Arab sendiri berarti kedudukan yang dekat. Jadi kalau ada cewek namanya gitu, berarti orang tuanya yang kasih nama berharap anaknya jadi cewek yang bijaksana, jujur, ramah, dan menyenangkan." Laki-laki berambut gondrong yang belakangan baru diketahui bernama Adhim itu pun mengangguk-angguk kecil sembari tetap memasang senyumannya. "Pinter juga lo nafsirin nama," pujinya. Aldo langsung tersenyum sombong sembari membusungkan d**a. "Aldo ...," ucapnya bangga. Adhim pun kembali tertawa. Ia menggeleng-gelengkan kepala setelahnya. Zulfa ... Bagi Adhim, laki-laki dengan rambut gondrong yang merupakan putra salah seorang kiai ternama di daerah Jawa Timur itu, menyebut dan mendengar nama Zulfa, adiknya, sama saja membiarkan dirinya kembali diliputi gelombang rindu. Sebuah gelombang rindu yang begitu menggebu. Sebab sebanyak ia mencintai adiknya, sebanyak itu pula laki-laki itu merindukannya. Namun, karena rasa cintanya itulah yang menjadi alasan bagi Adhim menjauh. Pergi dalam pengembaraan yang entah di mana ujungnya dan sampai berapa lama untuk mengenyahkan perasaan berlebihannya pada sang adik. Dan mungkin, menemukan cinta sejatinya sendiri. "Bang," panggil Aldo setelah membiarkan keheningan menguasai udara di sekitar mereka dalam beberapa menit. Adhim kembali menoleh dan menatapnya. 'Kenapa?' tanya laki-laki itu lewat kernyitan di dahi dan sebelah alis hitamnya yang terangkat. "Lo belum jawab pertanyaan gue yang tadi." Tercipta jeda. "Yang mana?" Adhim kembali mengeluarkan suaranya. "Alasan kenapa lo belum nikah. Atau lebih tepatnya, alasan kenapa lo menolak nikah." Keduanya terdiam lagi. "Maaf sebelumnya." Aldo yang kembali memecah sunyi di antara mereka. "Bukannya gue lancang, Bang. Tapi gue pernah nggak sengaja dengar percakapan lo sama Umi lo waktu kalian video call-an di tempat lo. Lo tahu kan, meski gue orang Sunda gue lebih bisa bahasa Jawa daripada Sunda? Ya, meski di bahasa Jawa, jujur, menurut gue masih agak sulit sih karena di setiap daerah ada banyak kata dan pengartian yang beda. Tapi di situ, gue denger percakapan kalian yang intinya Umi lo mau lo segera nikah." Adhim hanya menyimak ucapan Aldo dalam diam. "Gue kepo, Bang. Orang seperti lo, apa alasannya menolak nikah?" Aldo menunjukkan wajah penasarannya dengan dahi berkerut. "Oke. Iya. Mungkin lo belum siap atau emang lagi mau nyari yang cocok dulu kayak gue, ha ha. Ya, meski dengan cara yang berbeda sih. Atau bisa juga lo punya alasan yang lain. Tapi selama gue kenal lo, sekali pun gue nggak pernah lihat lo deket sama cewek, Bang. Apalagi punya hubungan. Lo ... nggak pernah jatuh cinta?" tanya Aldo setelah jeda. "Gue lihat lo selalu bersikap biasa ke semua cewek, cenderung dingin malahan sampai cewek-cewek yang berusaha deket sama lo mundur sendiri karena merasa segan," lanjutnya lagi. Adhim hanya mengangkat sebelah alisnya sebelum menjawab santai, "Anggap aja, jawaban gue sama seperti yang lo bilang tadi, Do. Gue belum siap." Aldo terdiam. "Yakin karena itu?" tanyanya setelah beberapa lama. "Gue kok ngerasa lo punya jawaban lain ya, Bang? Kayak ... lo udah punya seseorang yang lo cintai, di tempat lo di Kediri misalnya, tapi lo nggak bisa bareng sama orang itu karena suatu alasan." Adhim ganti yang terdiam. "Karena seumpama lo bisa sama dia, lo pasti udah mengiyakan permintaan Umi lo untuk nikah dan nikahin orang itu." Aldo melanjutkan hipotesisnya. Adhim tidak mampu berkata-kata. Tidak mungkin kan, dia mengatakan kebenarannya tentang cintanya yang begitu besar kepada adiknya? "Kenapa lo jadi kayak Umi gue sih? Ngebet banget mau lihat gue nikah?" serunya mencoba mengalihkan pembicaraan lantas tertawa. "Urus tuh diri lo sendiri, Do! Anak orang jangan lo mainin aja perasaannya!" Aldo hanya mencebikkan mulut mendengarnya lalu tersenyum kecut. "Jadi, tujuan lo ketemu gue sekarang apa?" tanya Adhim kemudian. Mendengar pertanyaan Adhim, Aldo yang tadi memasang wajah sepat langsung memasang senyumnya lagi. "Ikut gue yuk, Bang!" ajaknya. Adhim pun hanya mampu memicingkan matanya sedikit melihat perubahan di wajah temannya itu. "Ke mana?" tanyanya tanpa minat. "Ketemu cewek. Nggak jauh kok, di kafenya si Haris." Adhim semakin memicingkan mata mendengarnya. "Siapa lagi kali ini? Najla, yang kemaren itu? Atau udah ganti lagi?" tanyanya. "Tumben banget lo ketemu cewek ngajak gue?" Aldo menggelengkan kepalanya. "Bukan Najla," jawabnya. "Gue nggak pernah jalan sama dia, Bang. Dia deketin gue karena dia suka sama lo asal lo tahu!" Adhim hanya mengernyitkan dahinya lagi mendengar itu. Seorang Aldo Jefrico, salah satu Casanova di kampus mereka yang tidak diragukan lagi reputasinya sebagai playboy kelas kakap, suka bergunta-ganti pasangan setidaknya seminggu sekali atau tiga bulan sekali paling lama, didekati seorang cewek karena cewek itu menyukainya? Adhim sama sekali tidak percaya mendengarnya. "Ayolah, Bang! Udah jam delapan nih! Gue ada kelas setengah jam lagi," kata Aldo yang tiba-tiba sudah berdiri dari duduknya setelah melirik jam di pergelangan tangan. "Hm." Mau tidak mau Adhim pun akhirnya berdiri juga dan menuruti ajakan temannya itu. Setelah mencangklongkan tas punggungnya ke sebelah lengan, Adhim langsung melangkah di belakang Aldo yang sudah lebih dulu berjalan di depannya, kemudian menyejajari langkahnya. Butuh menempuh jarak sekitar seratus meteran bagi dirinya dan Aldo untuk sampai di depan sebuah kafe bergaya kekinian yang dimiliki oleh Haris, kenalan mereka yang juga berkuliah di universitas swasta tempat mereka mengenyam bangku pendidikan tinggi. Ketiganya satu angkatan, masih sama fakultas dan hanya berbeda jurusan saja. Tidak sampai satu menit, dengan langkah-langkah panjangnya, Adhim dan Aldo pun sudah sampai di depan kafe. "Gue tunggu di sini aja ya," kata Adhim yang langsung mendapat gelengan dari Aldo. "Gue ngajak lo buat nemenin gue, Bang," protesnya. Adhim memasang senyum miringnya. "Tumben banget lo bersikap nggak kayak biasanya gini," katanya lantas melempar pandang ke bagian dalam kafe yang bisa dilihat dari luar karena dindingnya terbuat dari bahan kaca. "Oh, karena ada Najla?" tanya Adhim saat mata elangnya menangkap sosok seorang gadis berkulit putih yang terlihat duduk manis di tengah ruangan kafe. Ada banyak gadis lain yang mengelilingi meja yang diduduki gadis dengan rambut panjang tergerai yang hari ini mengenakan dress kuning gading selutut tanpa lengan itu. Make up tipis melapisi wajah cantiknya. "Eh." Aldo terkejut mendengarnya. "Ya enggak lah! Masa karena satu cewek gue jadi kayak gini," balasnya cepat. Terlalu cepat hingga Adhim yang melihatnya semakin melebarkan senyumannya. "Lo suka sama dia?" tebak Adhim yang membuat Aldo langsung menampilkan gelengan dengan wajah datar. "Enggak," balas Aldo lantas membuang muka. "Ya udah lah, Bang. Kalo lo nggak mau nemenin gue masuk nggak pa-pa, gue bisa sendiri. Tapi satu yang harus lo tahu, gue ngajak lo ikut sama gue bukan karena ada Najla," ujarnya kembali menatap wajah Adhim lantas mengayunkan langkah untuk masuk ke dalam kafe seorang diri. Adhim hanya mengedikkan bahu lalu tertawa pendek melihat kepergian temannya itu. Saat manik kopinya melihat ada tempat duduk kosong yang juga diletakkan pada bagian luar kafe, Adhim memutuskan diri untuk duduk di sana. Namun sebelum mengayunkan tungkainya, laki-laki berambut gondrong tergerai itu menyadari ada salah satu tali sepatunya yang terlepas. Adhim pun segera menunduk untuk membenarkan tali sepatunya yang lepas itu. Kling! Kling! Saat itu Adhim tidak tahu, tepat saat dirinya menunduk untuk membenarkan tali sepatunya, dari dalam kafe keluar seorang gadis dengan wajah yang sangat dikenalinya. Tepat satu detik setelah bunyi kling kling yang dihasilkan sebuah lonceng kecil yang diletakkan di atas pintu kafe terdengar. Seorang gadis dengan wajah yang mirip Zulfa. Gadis muda yang usianya kira-kira tiga atau empat tahun lebih muda darinya. Dia ... Nur Walis Pelita. Adhim tidak tahu saat gadis itu muncul di depannya bahkan melewatinya. Karena sibuk mengikat tali sepatunya, gus muda itu tidak menyadari presensi seseorang yang ke depannya akan menjungkir-balikkan kehidupannya. Baik Adhim dan Pelita. Keduanya sama-sama melewatkan persinggungan pertamanya. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN