Bab 4: Luka Masa Lalu

2976 Kata
Menurut berbagai penelitian, mandi pada malam hari bukanlah hal yang baik untuk kesehatan. Pelita tahu itu. Namun, gadis itu tetap melakukannya setibanya di apartemen. Di kamus Pelita, pulang sore adalah sebuah berkah. Karena tuntutan pekerjaan Pelita lebih sering kembali ke apartemennya pada malam hari. Dan ia merasa tidak nyaman jika tidak mandi. Selesai mengeringkan rambut panjangnya yang basah sehabis keramas dengan hairdryer dan mengganti pakaiannya dengan setelan celana training dan sweater, Pelita turun ke lantai satu apartemennya dengan laptop di tangannya, berencana melakukan revisi dan editing salah satu naskahnya seperti yang diminta Cecilia sang editor. Ting tong! Pelita baru ingin bertolak ke dapur saat bel pintu apartemennya tiba-tiba berbunyi. Melirik jam dinding ruang tengah yang sudah menunjukkan pukul 10 malam, ia membatalkan niatnya pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh dan pergi ke depan untuk melihat siapa yang datang. Sembari melangkah, bibir tipisnya mengeluarkan gumaman mengenai siapa gerangan yang bertamu ke tempatnya malam-malam seperti ini. Pelita melihat situasi di luar dengan teknologi monitor yang terpasang di samping pintu apartemen sebelum membukanya. Namun tidak ada siapa-siapa. Pelita pun tetap keluar untuk memastikan siapa yang menekan bel apartemen tapi benar-benar tidak ada siapa-siapa di luar. Alih-alih bertemu seseorang, ia malah menemukan sebuah kotak berwarna biru tergeletak di atas keset depan pintu. Ada setangkai bunga mawar di atasnya. Sebuah mawar merah yang warnanya terlalu merah sehingga hampir menyerupai darah. "Paket?! Dari siapa ya?" gumamnya lirih kemudian memungut kotak biru itu bersama dengan bunganya kemudian membawanya masuk ke dalam. Saat sudah di dalam Pelita sadar jika dirinya tidak menutupi kepalanya tadi saat keluar. Pelita pikir, ia ingin mengecek siapa yang datang dulu baru memakai kerudung. Tapi mengetahui di depan pintu apartemennya tidak ada siapa-siapa, gadis itu keluar tanpa mengambil dan mengenakan kerudungnya. Pelita mengelus dadanya sekali, bersyukur karena tidak ada orang yang melihat auratnya secara langsung. "Astagfirullah ... bisa-bisanya aku seceroboh ini. Untung aja tadi itu nggak ada siapa-siapa dan bukan Kak June juga," monolognya lantas membawa paket dan bunga mawar itu ke ruang tengah. Pelita cukup populer di kalangan anak muda Bandung. Selain penulis dan model, banyak orang yang mengenal Pelita karena ia memiliki channel YouTube yang berisi vlog Pelita saat liburan atau mengikuti sebuah event besar, tips make up-nya, bahkan video kegiatan fangirling-nya---terkadang Pelita meng-upload beberapa video di sana. Ia juga memiliki akun i********: yang memiliki ratusan ribu pengikut. Jadi mendapat kiriman hadiah berupa paket dari penggemar sama sekali bukan hal yang asing untuknya. Namun, mendapat paket saat berada di apartemen? Hal itu cukup tidak biasa bagi Pelita kecuali June yang melakukan itu. Untuk privasi, Pelita tidak pernah memberi tahukan alamat tempat tinggalnya kepada siapa pun. Sejauh ini hanya June dan Arina yang tahu. Dan untuk masalah paket, orang yang memiliki kemungkinan besar bahkan bisa dibilang cukup sering mengiriminya hanya ada satu orang, yaitu June. "Tapi, masa iya dari Kak June?" lirih Pelita. Untuk beberapa saat, gadis itu terus menatap setangkai mawar merah yang masih ada di tangannya secara bergantian dengan kotak biru yang diletakkannya di meja samping laptop. Ada kenangan buruk yang pernah menghantui Pelita yang berkaitan dengan bunga itu. Sebagai orang terdekatnya, June tentu saja juga tahu akan hal itu---mawar merah dan trauma masa lalu Pelita. Jadi, berpikir jika June yang mengirimi Pelita paket terdengar sedikit mustahil untuk Pelita sekarang. Laki-laki itu baru saja mengantarnya pulang beberapa menit yang lalu. Jika June memang berniat memberikan Pelita sesuatu, ia pasti sudah memberikannya sejak tadi, saat mereka masih bersama dan bukannya mengirimnya dalam bentuk paket seperti ini. Pelita meletakkan mawarnya dan meraih kotak biru yang ada di meja. Ia baru sadar jika ada sebuah kartu ucapan yang diselipkan pengirim pada pita putih yang membungkus kotak itu. Pelita membukanya. Dear Pelita, have a nice day! Hope u like my gift. I can't wait to meet u. Tidak ada nama pengirim di situ. Hanya ada untaian kata yang ditulis tangan menggunakan tinta hitam dengan kemiringan yang sedikit condong ke arah kanan. Tulisan tangannya cukup bagus dan rapi. "Ini bukan tulisannya Kak June. Tapi kalau bukan dari dia, lalu dari siapa?" Pelita mencoba mencari nama pengirimnya dengan membulak-balik kartu ucapan yang ada di tangannya. Namun, ia tetap tidak menemukannya. Di kotak biru, Pelita juga tidak menemukan petunjuk atau keterangan apa-apa di situ. Beberapa lama diam hanya memperhatikan, Pelita akhirnya memutuskan membuka kotaknya. Ia langsung menjerit keras begitu kotak itu terbuka disusul dengan tangannya yang bergerak refleks melempar kotak itu ke sembarang arah, membuat sesuatu yang berlumuran darah di dalamnya berserakan dan mengotori lantai apartemen. Gadis itu langsung terduduk lemas di sofa yang ada di belakangnya. Manik madunya menatap nanar pemandangan di depannya dengan kedua tangan yang rapat menutup mulut. Tubuhnya mulai bergetar. "Kak June ...." **** Drtt ... Drtt .... Aldo melirik ponselnya yang diletakkannya di meja kemudian menatap seorang gadis yang duduk di depannya. Sebuah pesan baru saja masuk ke dalam salah satu aplikasi perpesanannya. "Bentar ya. Aku tinggal keluar dulu sebentar. Kamu pesen-pesen makanan aja dulu," katanya sambil tersenyum manis lantas berdiri dari tempat duduknya dan keluar dari rumah makan yang berlokasi di dekat tepi jalan raya yang menjadi jalanan protokol Kota Bandung itu. "Hm. Iya." Gadis yang datang ke rumah makan bersama Aldo mengangguk sekilas lalu melihat tubuh tegap laki-laki itu yang melenggang keluar dari dalam rumah makan. Gadis itu terus memperhatikannya. Di depan rumah makan, ia bisa melihat Aldo yang menemui seseorang di dekat salah satu pilar teras melalui dinding depan rumah makan yang terbuat dari kaca transparan. Seorang laki-laki. Tampilannya cukup mencolok karena memakai pakaian serba hitam, mulai dari sepatu, celana, kaos dan hoodie hingga topi yang dikenakannya di atas kepala. Tas ransel yang diselempangkannya di punggung juga berwarna hitam. Gadis itu tidak bisa mengenali laki-laki itu karena laki-laki itu mengenakan masker di wajahnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Aldo berdiri membelakanginya sehingga gadis itu tidak bisa membaca mimik muka Aldo meski jarak mereka sebenarnya tak terlalu jauh---setidaknya untuk menebak apakah perbincangan mereka serius atau tidak meski tanpa mendengarnya. Namun dari tempat duduknya sekarang, dengan jelas gadis itu bisa melihat Aldo yang menengok ke kanan dan kiri beberapa kali selama berbicara dengan laki-laki itu---hal yang sedikit mencurigakan menurutnya. Terlebih di akhir perbincangan, ia melihat Aldo yang mengeluarkan sesuatu dari jaket kulitnya dan menyerahkan sesuatu yang dibungkus amplop cokelat besar itu kepada si laki-laki asing. Prosesi penyerahannya juga masih terbilang mencurigakan karena gelagat keduanya yang terlihat cukup aneh. Amplop itu bukan narkoba kan? Begitu pikir gadis itu. Di sisi lain ia juga berpikir jangan-jangan laki-laki itu adalah pembunuh bayaran yang sedang disewa Aldo lalu amplop besar dan tebal yang baru diterimanya adalah uang bayarannya atas tindak kejahatannya. Siapa yang tahu jika Aldo sebenarnya adalah seorang penjahat berdarah dingin, seorang psikopat?! Di drama-drama yang belakangan gadis itu lihat, tidak jarang laki-laki berwajah tampan sebenarnya adalah seorang penjahat. Bisa jadi Aldo adalah salah satunya. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya mengenyahkan pikirannya yang sudah tercemari oleh drama itu. "Aku pasti gila!" gumamnya sambil memukul kepalanya sendiri. Tak lama Aldo dan laki-laki itu terlihat saling berjabat tangan kemudian laki-laki itu langsung pergi setelahnya. Sebelum pergi, laki-laki itu menyimpan amplop besar yang diberikan Aldo di balik hoodie hitam yang ia kenakan alih-alih memasukkannya ke dalam ransel. "Maaf lama," kata Aldo sekembalinya ia ke tempat duduk mereka. Sambil tersenyum. Sangat kontras dengan ekspresi serius yang laki-laki itu tunjukkan di wajahnya tadi saat berbalik badan setelah bertemu laki-laki asing di luar rumah makan. "Loh, kok nggak pesen makanan?" tanya Aldo sembari melihat ke arah meja yang ada di depannya. Tidak ada apa-apa di sana selain dua buah gelas minuman yang sudah mereka pesan sejak tadi. Gadis itu memasang cengiran kudanya sambil menggeleng. "He he. Lagi nggak laper. Tadi udah makan sebelum ke sini." Aldo menatap wajah gadis itu sambil memperlebar senyumnya. "Beneran?" tanyanya sambil meraih buku menu. "Iya." Gadis itu mengangguk. "Bohong, jomlo sumur hidup lho ya," kata Aldo setengah menggoda. "Ih. Apaan?" respons si gadis. "Beneran, tadi aku udah makan sebelum ke sini," sahut gadis itu lagi. Aldo menanggapinya dengan memainkan kedua alis lebatnya dan memasang senyum mengejek. "Lagi diet, ya?" tanyanya dengan nada tengil setengah menuduh. "Halah, nggak usah diet! Badan kecil-kecil juga nggak bagus kalau dilihat. Yang penting itu sehat," lanjutnya lantas membuka buku menu. "Mau makan apa? Biar aku yang pesen." Gadis itu memasang wajah sebal namun tetap tidak bisa menahan senyumnya di depan Aldo. "Beneran, Kak. Tadi aku udah makan malam sebelum ke sini. Habis dari lokasi pemotretan Pelita aku langsung makan bareng dia. Aku nggak lagi diet!" elaknya. Aldo tersenyum kecil menatap gadis itu. "Hm. Iya, iya. Jadi beneran nggak mau pesen makanan nih?" "Iya." "Pesen minuman lagi deh." "Nanti aja. Katanya Kak Aldo ada yang mau dibicarain sama aku." "Hm." Aldo manggut-manggut. "Kalau gitu aku pesen kentang goreng satu, ya?! Buat temen ngobrol." "Iya." Aldo pun memanggil seorang pelayan dan memesan satu porsi kentang goreng dari buku menu. "Kak. Kalau kamu mau pesen makanan berat ya pesen aja. Kayaknya Kak Aldo belum makan malam deh," ucap gadis itu pelan. Aldo kembali mengulas senyum. "Enggak. Seporsi kentang goreng aja cukup, Arina. Nanti kita makan sama-sama. Sebelum ke sini aku juga udah makan tadi." Arina pun hanya mengangguk. Ya, gadis yang duduk bersama Aldo di rumah makan itu adalah gadis berambut kecokelatan dengan kulit sawo matang itu, Arina Eva Novaliana. Teman dekat sekaligus asisten pribadi Pelita. Sebelum ini mereka juga sudah sempat bertemu tadi pagi di sebuah kafe dekat universitas. "Mbak. Saya jadi pesan kentang goreng satu ya. Nanti tolong keju mozarellanya dikasih yang banyak," pesan Aldo pada sang pelayan yang barusan ia panggil. "Baik, Mas. Ada lagi? Mungkin pesanan untuk Mbaknya?" Aldo melihat Arina yang sedang menatapnya. "Enggak, Mbak. Itu aja," jawab Aldo. "Baik kalau begitu. Ditunggu ya, Mas!" Pelayan itu pun melenggang pergi ke arah dapur. Aldo mengawasi kepergian pelayan itu sebentar lalu menatap Arina yang masih menatapnya. "Kenapa? Kok ngelihatnya gitu?" Aldo mengulas senyum simpul. Arina mengerjapkan matanya beberapa kali. "Enggak. Nggak pa-pa," sahutnya lantas meraih segelas orange juice di depannya dan menyesapnya. Melihatnya senyum Aldo kian lebar. "Udah, bilang aja, Rin!" katanya ikut menyesap minumannya. "Kan, Kak Aldo, yang tadinya mau ngomong sesuatu sama aku. Kok jadi aku sih?" balas Arina. Aldo diam sebentar sambil tetap tersenyum. "Tapi kayaknya barusan kamu juga ada yang mau kamu omongin deh. Ngomong aja, nanti baru aku yang ganti ngomong!" "Huft." Arina menghela napas. "Iya deh," lirihnya lalu diam mempertimbangkan apa yang akan dikatakannya kepada Aldo. Aldo menunggu kalimat gadis itu sambil terus menyesap minumannya hingga hampir tandas, tersisa setengah gelas. "Apa?" tanyanya. Arina masih diam lalu menggigit bibir bawahnya. "Bukan apa-apa sih sebenarnya. Itu ... tadi, aku cuman kepo sama orang yang Kak Aldo temui. Pakaiannya serba hitam gitu. Jadi kayak misterius," ujarnya ditutup tawa kecil yang terdengar kikuk. "Ooh." Wajah Aldo sedikit berubah. Ia melepas pegangan tangannya pada permukaan gelas kemudian menyandarkan tubuhnya ke badan kursi. Laki-laki itu terdiam sebentar. Kini ganti Arina yang menunggu Aldo memberinya jawaban. "Tadi itu temenku. Dia mau pinjem uang," kata Aldo akhirnya sembari menggenggam pinggiran gelasnya, kembali duduk tegak lantas meminum minumannya meski hanya sedikit. "O ...." Arina menganggukkan kepala dengan bibirnya yang sempurna membulat. "Oke. Sekarang giliran Kak Aldo. Apa yang mau kamu bicarain, Kak?" Aldo mengulas senyum sambil membenarkan jaketnya yang sebenarnya baik-baik saja. "Masalah pribadi boleh kan ditanyakan?" "Em ..., boleh aja. Apa emangnya?" Aldo tetap mengulas senyumnya. "Ekhem." Laki-laki itu berdeham singkat. "Kalau boleh tahu, sejak kapan kamu kerja jadi asisten pribadi temen kamu itu?" Arina mengernyitkan dahinya sebentar. "Kerja sama Pelita maksudnya? Eng ..., udah jalan hampir satu tahun setengah ini sih. Pelita tahu kalau aku butuh pekerjaan terus dia nawarin aku kerja buat jadi asisten pribadinya. Kenapa? Kok Kak Aldo nanyain hal itu?" Aldo tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya sebentar. "Bukan apa-apa," sahutnya kemudian membenarkan jaketnya lagi sembari membetulkan posisi duduknya di atas kursi. Arina menatap apa yang dilakukan Aldo dengan tatapan heran. Ia mengedikkan bahunya singkat lalu meraih gelas minumnya. Saat itu, pelayan perempuan yang tadi datang kembali dengan kentang goreng berbalur ekstra keju mozzarella yang menjadi pesanan Aldo. "Ekhem." Aldo kembali berdeham singkat yang kali ini terdengar seperti dibuat-buat setelah kepergian pelayan itu. "Jadi ... kamu beneran masih jomlo? Aku lihat kayaknya kamu sibuk banget sama pekerjaan kamu." Arina manggut-manggut samar. "Hm. Iya, Kak. Gitu deh. Kegiatan sehari-harinya Pelita emang padat banget. Dia bahkan nggak punya waktu buat tidur selama tujuh jam dalam sehari. Apalagi sembilan jam seperti yang dokter-dokter anjurkan buat kesehatan. Sebagai asistennya, ya ... aku ikut sibuk juga meski nggak sesibuk Pelita." Aldo diam mendengarkan baik-baik apa yang diucapkan Arina. "Terus, soal masih jomlo?" tanyanya setelah cukup lama membiarkan keheningan mengisi atmosfer di antara mereka. "Uhuk." Arina yang sedang minum nyaris tersedak mendengar Aldo yang kembali bertanya setelah cukup lama diam. "Bentar, Kak. Aku mau minum dulu," pamit Arina. "Iya, silakan!" balas Aldo dengan wajah menahan senyum. "Soal itu, gimana, ya?" Arina melirik ke arah Aldo sembari menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. "Selama kerja sama Pelita, aku udah lama nggak pernah mikirin soal pacaran sih, Kak. Apalagi dalam satu tahun terakhir ini." Aldo diam mendengarkan. "Seperti yang aku bilang, jadwal Pelita itu padat banget. Di kampus, kalau urusan pekerjaan lagi longgar kita biasa memanfaatkan waktu buat belajar karena selain di sana hampir nggak ada waktu buat ngelakuin itu. Jadi buat pacaran, sama sekali nggak ada waktu," terang Arina. "Oke. Ada aja sebenarnya. Tapi setelah kerja sama Pelita, circle pertemanan aku nggak bisa seperti dulu lagi. Fake friend memang masih selalu ada di mana-mana. Apalagi dalam pertemanan sesama cewek. Banyak temen yang bermuka dua, Kak. Tapi sejak sama Pelita, ke mana-mana ya aku selalu sama dia terus. Seolah-olah, temenku ya cuman Pelita itu dan nggak ada yang lain." Aldo masih diam. "Karena Pelita jarang temenan sama cowok, aku juga sama kayak dia. Jadi kemungkinan aku buat pacaran makin tipis. Job Pelita terus makin banyak belakangan ini. Kesempatan aku buat jalin pertemanan sama yang lain jadi jauh lebih nggak seleluasa dulu. Terus satu lagi, temenan sama Pelita juga ada dukanya selain ada sukanya. Ya ... meski dukanya nggak seberapa sih daripada sukanya karena kepribadian Pelita yang baik banget." Aldo mengangkat sebelah alisnya merasa tertarik. "Dukanya itu, cowok-cowok yang deketin aku kebanyakan deketin aku karena mereka lagi ngincer Pelita, Kak," lanjut Arina. "Bukannya aku iri atau gimana. Orang sebaik Pelita tuh haram hukumnya buat diiriin, terlebih, sama orang kayak aku. Aku merasa sebel sama hal itu karena capek ngadepin cowok-cowok itu. Saat nggak sama Pelita, mereka bakal ngikutin aku ke mana pun kayak buntut, sampai-sampai bernapas aja aku nggak bisa merasa bebas. Ngadepin mereka itu merepotkan. Pake banget." Arina memungkasi dialog panjangnya dengan menghela napas lantas meraih gelas minum dan menyesapnya. "Ha ha ha." Aldo kemudian tertawa di depan gadis itu. "Eh. Kok ketawa sih?" tanya Arina sambil mengerutkan dahi. "Jangan-jangan, tujuan Kak Aldo deketin aku karena suka juga sama Pelita, ya? Astaga ... nambah lagi dong beban anak cantik yang juga jadi beban di keluarga dan negaranya ini." Gadis itu menepuk dahinya sekali. "Ha ha ha." Aldo semakin keras tertawa di depannya. Arina sendiri makin dalam mengerutkan dahi. "Kamu ternyata jauh lebih cerewet dari yang kuduga, ya," komentar Aldo kemudian menyuapkan satu potong kentang goreng dari piring di depannya ke mulut. Arina yang sedikit merasa malu setelah menyadari kekonyolannya memilih diam sambil mengulas senyum kecil. "He he," kemudian tawanya. "Tapi, yang aku ucapin bener, kan?! Kak Aldo suka kan sama Pelita? Udah aku duga juga sih dari awal," ujarnya mencoba mengabaikan malu yang ia rasakan. Aldo mengunyah kentangnya sambil menggelengkan kepala. "Jujur, aku sempat mikir kalau kamu deketin aku karena pure emang mau temenan sama aku, Kak," ucap Arina lagi. "Tapi nggak pa-pa sih, kalau tujuan kamu sebenarnya mau deket sama Pelita. Kalian berdua kayaknya bakal cocok deh, kalau temenan." Arina terkekeh. "Eh." Aldo mengernyitkan dahi sambil tersenyum. "Kok kamu malah jadi kayak ngeledek aku, ya?" tanyanya. Arina mengulas senyumnya. "He he. Oke. Aku ceritain kenapa aku bilang gitu. Sebelum kamu, ada satu cowok yang keliatannya bakal berhasil deket sama Pelita meski aku nggak yakin apakah cowok itu akan berhasil atau enggak mengambil hatinya. Namanya Arka. Bedanya sama Kak Aldo, dia masih satu angkatan sama kami. Cowoknya juga ganteng. Cuman badannya aja yang tipis kayak triplek meski tinggi. Jadi ya kayak tiang listrik gitu. Arka hampir berhasil deket sama Pelita tapi cowok itu gagal karena satu orang." Arina menghentikan ucapannya seolah sengaja ingin membuat Aldo penasaran. Tapi bukannya terlihat penasaran, Aldo malah kembali tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Orang itu adalah June Aldrian Adams," lanjut Arina. "Kamu pasti kenal juga kan, Kak? Meski nggak kenal, aku yakin seenggaknya Kak Aldo pasti pernah denger namanya meski sekali." Aldo tetap tersenyum dan hanya mengangguk pelan. "Karena Kak June, Arka gagal deket sama Pelita bahkan nggak pernah nunjukkin batang hidungnya lagi di depan kami, kecuali saat kita ada kelas bersama. Pelita nggak ambil pusing sama apa yang terjadi. Sepanjang aku kenal dia, dia memang gitu ke semua cowok. Tapi yang jelas, sejak itu semua cowok yang nyoba deketin Pelita paham kalau orang pertama yang harus mereka hadapi kalau ingin dekat sama Pelita adalah Kak June. Sejauh ini, belum ada yang berhasil sih ngelawan dia." Aldo kembali memakan kentang gorengnya. Merasa cukup dengan ceritanya, Arina tidak bicara lagi dan memilih meminum sisa orange juice di gelasnya. Aldo masih menyemil kentang gorengnya dengan lahap. Tatapannya berubah sedikit kosong. "Jadi, sejak kapan Kak Aldo suka sama Pelita?" tanya Arina setelah beberapa lama. Tersadar, lagi-lagi Aldo hanya tersenyum sambil menggeleng menatap Arina. "Siapa yang bilang kalau aku suka dia?" tanyanya. "Em. Nggak ada sih. Tapi, emang bener kan?!" balas Arina. "Ha ha ha. Enggak. Ada cewek lain yang kusuka." Arina diam. "Lalu, tujuan Kak Aldo deketin aku apa?" Ia memberanikan diri untuk bertanya setelah membuang jauh-jauh rasa malu yang dimilikinya. Aldo tersenyum. "Anggap aja tujuanku sama seperti dugaan kamu yang sebelumnya. Tujuanku adalah pure mau berteman sama kamu." Arina tersenyum tipis mendengar itu. "Em. Oke." Gadis itu mengangguk. "Minuman kamu udah habis juga tuh. Aku pesenin lagi, ya?!" "Iya." Arina tidak sadar jika Aldo sempat menatapnya dengan tatapan tak biasa. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN