46. Berdamai Dengan Diri Sendiri

1026 Kata
Suasana meja makan pagi ini terlihat berbeda dari biasanya dan juga lebih menyenangkan. Beberapa orang yang ada di sana mengobrol satu sama lain serta tertawa sesekali di saat membicarakan hal lucu. Irina menceritakan kegiatan di sekolahnya kemarin dengan begitu antusias, membuat beberapa orang dewasa di sekitarnya memperhatikannya dengan atensi penuh serta kedua sudut bibir yang terangkat hingga membentuk lengkungan bulan sabit. "Terus akhirnya dia dimarahin sama guru karena jahil," ujar Irina seraya menatap orang-orang di sekitarnya. Mendengar itu, Key yang duduk di sebelahnya pun terkikih pelan dan ia mengusap puncak kepala adiknya, "Nah, Irina enggak boleh kayak dia, ya? Gak baik gangguin orang lain," ujarnya. Irina memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya kemudian gadis kecil itu menjawab, "aku enggak gitu kok, Kak! Aku enggak suka gangguin temen-temen." Ia berujar. "Percaya kok, Irina kan anak yang baik," sambung Handoko yang duduk berseberangan dengan kedua putrinya. "Wah, ngomongin apa nih, kayaknya seru." Ravano yang baru saja bergabung itu menatap orang-orang di sana. Ia tersenyum pada Irina dan mengusap kepala gadis itu sebelum akhirnya mendudukkan dirinya di salah satu kursi di sana. "Rav, kamu kesiangan lagi, ya?" Sang ibu yang merapikan piring itu berujar seraya menatap tajam putra sulungnya. "Hehe, maaf, Ma. Semalem aku—" "Dia maen game terus, Ma." Key segera menginterupsi ucapan Ravano, membuat lelaki itu kini membulatkan padanya, namun langsung dibalas dengan juluran lidah oleh Key. "Bukannya belajar, malah maen game. Mama gak mau ya, nilai kamu turun." Mamanya kemudian mendengkus pelan, "Key, tolong awasin Ravano, ya? Kalo dia maen game terus, bilang ke Mama. Oke?" "Siap, Ma!" Key menjawab dengan antusias seraya membuat gerakan hormat. Bersamaan dengan itu, terdengar suara motor memasuki halaman rumah mereka. Key yang baru saja memasukkan makanannya ke d dalam mulut langsung menghabiskannya dengan terburu-buru. "Astaga, Key, pelan-pelan!" tegur Handoko saat Key mulai tersedak. "Maaf, Pa. Eh, Rav. Gue duluan, ya? Tristan udah dateng!" Key segera bangkit dari kursinya dan gadis itu memakai tas namun Ravano dengan cepat menariknya hingga gadis itu berbalik kembali. "Minum dulu, woy!" Ia menatap Key yang masih sibuk mengunyah. Gadis itu pun menurut dan ia mengunyah makanannya, lalu segera meminum habis air yang ada di dalam gelasnya, membuat Ravano beserta papanya geleng-geleng kepala. "Dadah, Kak Key!" Irina melambaikan tangannya pada Key yang sudah berlari dari sana. "Ya ampun, dia itu. Padahal sering kena tegur Tristan juga gara-gara makannya buru-buru. Emang gak ada kapoknya, ya?" Mamanya menatap piring dan gelas milik Key yang sudah kosong. "Ah, biasa, Ma. Namanya juga cewek lagi jatuh cinta." Ravano membalas. Ia membuang napasnya kasar dan mulai bosan karena hampir setiap pagi harus menegur Key yang tersedak karena terlalu buru-buru menghabiskan makanannya setiap kali Tristan datang. Sementara itu di luar sana, Key berlari menghampiri Tristan yang duduk di atas motor. Lelaki itu menatap gadis yang berlari ke arahnya dengan kening mengerut, lalu ia membuang napasnya kasar. "Kan, kan. Lo tuh udah gue ingetin berkali-kali, dasar bandel." Tristan melipat kedua tangannya di depan d**a dan menatap Key yang kini tengah mengatur napas, "Padahal gue juga gak pernah ya nyuruh lo buat makan buru-buru. Santai aja, Key, ya ampun. Gue juga bakal tetep nunggu sampe lo selesai makan kok," lanjut Tristan seraya mengusap salah satu bibir Key yang kotor karena kecap. "Ya habisnya mau gimana lagi. Gue kan enggak enak bikin lo nunggu," balas Key pada akhirnya. "Heh, emangnya lo makan bisa ngabisin waktu berapa lama? Seharian? Enggak, kan? Jadi ya santai aja, Keanna. Kalo lo kenapa-napa gimana?" Tristan menggelengkan kepalanya. Lelaki itu mengomeli Keanna dan memakaikan helm di kepala gadis itu. Key mengaduh pelan saat salah satu pipinya ditarik oleh Tristan. Sementara lelaki itu kini menghidupkan motornya. Key segera naik ke atas motor milik Tristan dan mereka pun berangkat ke sekolah. Di perjalanan, Key sesekali menatap ke sekitarnya, lalu gadis itu menatap ke atas, tepat ke arah langit yang berwarna biru. Cuaca pagi ini begitu cerah, membuat mood-nya cukup bagus. Setelah beberapa masalah yang dihadapinya, akhirnya ia menemukan jalan keluar yang menurutnya paling terbaik. Pada akhirnya, baik ia atau juga Ravano, mereka kini sudah saling berdamai dengan diri sendiri. Dan jangan lupakan juga Tristan. Jika bukan karena lelaki itu, Key mungkin akan lebih kesulitan dalam menghadapi kehidupannya yang cukup berat. Berbagai masalah yang ia hadapi kemarin pasti akan ia hadapi dengan begitu sulit jika tak ada Tristan. Jadi, ia bersyukur karena ia bisa bertemu dengan lelaki seperti Tristan. Yang paling membuatnya kagum adalah, bahkan di saat Ravano tak suka dengan kehadirannya, Tristan sama sekali tak pernah menyimpan dendam pada lelaki itu dan selalu berpegang pada pendiriannya agar tak memisahkan Key dari Ravano dan malah berniat membuat keduanya kembali akur walaupun hal itu hampir mustahil. Namun di tengah kesulitan itu, ia tak pernah menyerah hingga akhirnya benar-benar berhasil. Key tersenyum dan gadis itu lega karena akhirnya ia bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Bahkan bukan hanya itu, ia juga bisa berdamai dengan Ravano dan mamanya dan ia kini tak menyakiti mereka semua lagi, bahkan termasuk Irina dan juga papanya. Tidak lama kemudian motor milik Tristan sudah melesat melewati gerbang sekolahnya dan mereka ke parkiran. "Sekarang ada PR gak?" tanya Tristan usai mereka turun dari motor. "Seinget gue sih enggak," ujar Key seraya memberikan helm miliknya pada Tristan. Di saat mereka hendak pergi ke kelas, bersamaan dengan itu sebuah motor terlihat memasuki parkiran. Baik Tristan maupun Key, keduanya sempat tertegun melihat pemandangan yang cukup langka itu. "Apa liat-liat? Mau gue pukul pake helm?" Adel melotot ke arah dua orang yang tak jauh dari posisinya itu. "Kok— kalian bisa berangkat bareng? Tumben amat," ujar Key. "Ban motornya si Junet bocor tadi. Kebetulan gue lewat dan dia dengan seenaknya nyuruh gue berhenti," ujar Kinn seraya melepas helm. Ia menatap hadis di sebelahnya lalu membuang napas kasar. "Bawel lo, ya! Sini gue bayar deh ongkos bensinnya!" Adel sudah merogoh tasnya dan bersiap mengeluarkan sejumlah uang namun Kinn dengan segera mencegahnya dengan tak kalah sewot. "Gak usah woy! Lo pikir gue tukang ojek?!" protes lelaki itu. Melihat pemandangan itu, baik Key maupun Tristan, keduanya kembali dibuat geleng-geleng kepala. Semula mereka berpikir kalau Adel dan juga Kinn memang sengaja berangkat bersama karena akur. Tapi rupanya hal itu tak sengaja dan mereka berdua ternyata sama saja seperti biasanya. —TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN