47. Like a Sibling

1089 Kata
"Gue gak tahu lho, kalo lo sama Kinn ternyata seakur itu." Key terkikih setelahnya, terutama saat Adel langsung menatap tajam ke arahnya. "Diem ya, Keanna!" Adel mengerucutkan bibirnya. Gadis itu mengeluarkan satu per satu peralatan menulisnya ke atas permukaan meja dengan wajah masam. "Nih, ya, Key. Kalo bukan karena ban motor gue yang bocor, gue ogah banget numpang sama si Kinn. Jadi gak usah ngomong yang aneh-aneh," tegas Adel. Bukannya takut, Key justru kini membuat gerakan menutup mulut namun gadis itu terlihat masih berusaha menahan tawa. Ia senang sekali jika sudah menggoda sahabatnya itu. Jarang sekali melihat Adel dan Kinn bernangkat bersama. Ia jadi membayangkan seramai apa perjalanan mereka berdua ke sekolah. Adel pasti mengomeli lelaki malang itu hampir di sepanjang jalan. Namun karena tak ingin membuat Adel benar-benar kesal padanya, akhirnya Key pun mengalihkan perhatiannya pada buku paket miliknya dan membaca salah satu halaman di sana. "Eh, Key, BTW gimana hubungan lo sama Tristan?" Tiba-tiba Adel bertanya. Gadis itu melirik Tristan yang kini terlihat sedang bercengkerama dengan beberapa murid laki-laki di barisan belakang. Mendengar kalimat Adel barusan, Key refleks mengalihkan perhatiannya dari buku, "Gak ada masalah kok. Semuanya lancar-lancar aja. Kenapa emang?" tanyanya. "Ah, enggak sih. Nanya aja, tapi syukur deh kalo semuanya berjalan lancar. Berarti Ravano juga udah gak ada masalah sama sekali?" Adel kembali bertanya. Key menganggukkan kepalanya, "Hm. Dia sama sekali gak masalah sama Tristan. Mereka udah gak berantem lagi tiap ketemu dan kalo Tristan ngajak gue jalan pun Ravano sama sekali gak masalah selama Tristan minta izin dulu." "Sip deh. Gue ikut seneng dengernya. Lo tahu gak sih, Key. Betapa capeknya gue waktu itu yang nyari-nyari solusi dari hubungan lo.sama Ravano itu. Apalagi pas datang Tristan, beuh ... kepala gue berasa mau meledak." Mendengar ucapan Adel membuat Key tertawa pelan. "Haha, sori ya, Del. Gue gak bermaksud bikin lo pusing sama sekali kok. Tapi makasih juga karena lo selalu jadi orang yang bisa gue andalkan setiap kali gue ada masalah sama Ravano— ah, bukan masalah sama Ravano aja sih sebenernya. Lo tuh udah kaya penasehat gue," ujarnya. "Haha, enak aja! Tapi, ya, gue akuin keberanian Tristan itu wajib diacungin jempol deh. Bisa-bisanya dia ngomongin tentang perasaan dia ke elo di saat situasi lagi panas-panasnya sama Ravano. Ya gimana Ravano gak meledak waktu itu coba. Gak ngerti lagi emang gue sama tuh cowok satu." Adel membuang napasnya dan kembali menatap Tristan di belakang sana. "Ah, yang waktu mereka ribut di kantin itu, ya? Iya, sih. Gue juga sempet gak habis pikir. Gue awalnya mikir kalo dia cuma mau manas-manasin Ravano tapi siapa sangka kalo ternyata hal itu bukan bercandaan sama sekali. Dia bahkan gak ada niatan bikin hubungan gue sama Ravano makin renggang dan justru sebaliknya, padahal gue tahu kalo hal itu pasti susah banget, bahkan dia beberapa kali babak belur karena kena tinjunya Ravano." Key mengikuti arah pandang Adel. Di sisi lain, ia juga merasa beruntung karena bertemu dengan laki-laki seperti Tristan. Siapa sangka, lelaki yang pernah tak sengaja ditemuinya di tengah arena tawuran itu akan pindah ke sekolahnya dan bahkan mencari keberadaannya di sana, lalu dengan sengaja ia menginginkan berada di kelas yang sama dengannya, tak peduli seperti apa masalah yang sedang terjadi. "Tapi Tristan itu aslinya emang baik, kan? Sekarang lo juga setuju kan, sama gue?" ujar Key. "Hm. Gue akuin itu sih. Ya gimana ya, Key. Sebaik apapun dia aslinya, image dia di luar ya cuma tukang tawuran sama berandalan sekolah di mata gue. Jadi dulu bawaannya gue suudzon mulu sama Tristan." Adel tertawa. "Dan— siapa sangka ternyata dia malah jadi cowok lo," lanjutnya seraya menyikut pelan lengan Key, membuat teman sebangkunya itu tersipu-sipu dengan kedua permukaan pipi yang perlahan menghangat. "Eh, kali-kali kita harus pergi bareng lagi kalo libur, kayak minggu kemaren! Sumpah itu vibes-nya enak banget. Gue seharian bener-bener enjoy, berasa keluar dari sangkar burung," ujar Adel. Key langsung menganggukkan kepalanya tanpa ragu. Jujur ia juga sangat menikmati waktunya minggu lalu. * "Gue gak ngerti!" Tristan langsung menenggelamkan wajahnya di permukaan buku. "Dikit lagi, woy. Buruan, biar cepet beres! Gue udah laper nih! Nanti keburu bel lagi!" Kedua tangan Key mencoba menangkup wajah Tristan dan memaksa lelaki itu agar mau mengangkat wajahnya lagi. "Bisa gak, dilanjut aja ntar pulang sekolah? Gue gak kuat, Keanna. Kepala gue pusing kalo disuruh ngitung!" Tristan memasang tampang melas, membuat Key membuang napasnya kasar. "Padahal kan tinggal satu nomor lagi. Lo juga gak bakalan sampe pingsan gara-gara hal ini, kan." Key menatap lelaki di depannya selama beberapa saat, sebelum akhirnya gadis itu beranjak dari sana, "Ah, ya udahlah, terserah. Dilanjut nanti aja, sekarang gue laper." Gadis itu langsung berjalan keluar dari kelas. Senyuman Tristan seketika melebar dan lelaki itu langsung memasukkan semua peralatan menulisnya ke dalam tas dengan terburu-buru lalu berlari mengejar Key yang sudah mendahuluinya. Ia langsung merangkul bahu Key setelah berhasil mengejar gadis itu. "Sebagai permintaan maaf, gue traktir deh!" Key melepas tangan Tristan dari bahunya dan melirik lelaki itu, "Kenapa juga lo minta maaf? Gue gak marah." "Ya udah deh bukan sebagai permintaan maaf. Tapi anggap aja kalo gue kali ini lagi pengen traktir lo, gitu. Ya?" "Oke. Sama minumnya, ya!" Key tersenyum lebar. Mereka berdua menuruni satu per satu anak tangga dan berjalan menuju kantin, sementara Adel sudah pergi ke sana lebih dulu dari tadi. Langkah keduanya sempat memelan begitu berpapasan dengan Ravano dari arah yang berlawanan. "Adel dari tadi udah di kantin. Kenapa lo baru turun?" tanya Ravano. "Ah, biasalah. Bantuin bocah paud ngerjain tugas dulu," jawab Key seraya menyingkirkan tangan Tristan dari bahunya. "Ya udah sama makan. Oh, iya, Tris. Ntar pulang sekolah lo bisa sekalian anterin Key pulang, kan? Soalnya gue ada kerja kelompok di rumah temen." Ravano beralih menatap Tristan. "Oh, oke, oke. Gak masalah kok." Ravano menepuk bahu Tristan lalu kembali melangkah hingga melewati mereka berdua. "Coba aja dari dulu kayak gini, pasti adem," ujar Key. "Gak usah ada adegan tonjok-tonjokan," lanjutnya seraya menatap Ravano yang sudah cukup jauh. "Lho, gue juga sebenernya dari dulu akur kok sama Ravano. Cuma lo nya aja kali yang gak nyadar," balas Tristan. "Tapi kalo dipikir-pikir, lo sama Ravano lama-lama agak mirip, ya? Atau cuma perasaan gue doang?" Key terkikih. "Kalian jadi kayak adek kakak tahu gak, kalo akur begini, tapi gak masalah, itu malah bagus." "Kan, emang adek kakak. Ravano kan ipar gue!" ujar Tristan. Key seketika membulatkan kedua matanya dan gadis itu refleks menolehkam kepalanya ke belakang, was-was jika Ravano yang tiba-tiba kembali ke arah mereka begitu mendengar ucapan Tristan barusan. Key pun langsung memukul lengan Tristan dan membawa lelaki itu ke kantin. —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN