Bab 2. Mau Dinikahin

1441 Kata
"Lu bilang apa?" tanya Leona, kedua matanya memicing, menatap wajah pemuda yang duduk di balik kemudi. "Kita nikah. Lu nikah sama gue. Kita kan udah kenal lama. Dari pada gue nikah sama cewek lain yang belum tau baik apa gaknya, ya mendingan sama lu." Kenzie berkata sungguh-sungguh, meraih telapak tangan Leona. Seketika, jantung gadis tomboy itu berdetak tak menentu. Ia mulai terlihat gugup. Apalagi melihat tatapan Kenzie yang menusuk. "Mendingan? Maksudnya lu jadiin gue pelampiasan? Ngenes amat nasib gue. Lagian dari dulu kita ini tercipta cuma jadi temenan." Leona mengingatkan, menghempaskan genggaman Kenzie. "Bukan gitu. Ya kan, cewek yang deket sama gue emang lu doang, Le. Lu juga cewek yang baik, masih perawan, paling pinter ngertiin gue. Nah kemaren-maren kita temenan, mulai sekarang kita demen-demenan. Setuju gak?" "Kagak. Dahlah, lu jangan banyak omong. Nyetir lagi! Tadi katanya telat meeting sama klien, sekarang malah ngajak ngobrol." "Gue udah bilang ke Usup, suruh meetingnya diundur jam dua siang," kata Kenzie kembali menyalakan mesin mobil, melajukan kendaraannya. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang berbicara. Mereka bergelut pada pikirannya masing-masing. Kenzie bisa saja menolak keinginan Benjamin, tapi sisi lain ia takut kalau yang dikatakan opanya itu benar. Benjamin tak dapat menghadiri acara pernikahannya karena sudah meninggal dunia. Sedih sekali jika peristiwa bersejarahnya tidak dihadiri oleh lelaki yang selama ini selalu membela jika Kevin memarahi atau menyalahkannya? "Leo?" "Apa?" "Mau ya gue nikahin? Ayoklah, demi Opa Ben," rengek Kenzie saat kendaraan yang mereka tumpangi memasuki gerbang gedung perusahaan papanya. "Lu kalau punya keinginan, bisa dipikir mateng-mateng dulu gak? Nikah itu bukan mainan, Ken. Acara sakral! Sak-ral." Leona menegaskan perkataannya. Kenzie menghela napas berat, mematikan mesin mobil ketika sudah berada di area parkir. Kemudian, Kenzie mengubah posisi duduk, lebih menyamping agar dapat memandang Leona, anak tunggal dari pasangan Jimmy dan Tiara. "Gue tau, tau banget. Masalahnya, Opa Ben minta gue nikah cepet. Lah gue bingung, nikah sama siapa?" "Pan tadi gue bilang, nikah sama si Mpus," kata Leona memamerkan senyum manisnya. Sesaat, Kenzie terpesona dengan senyum manis milik gadis tomboy itu. "Leo?" "Apa?" "Lu kalau senyum kayak tadi cantik. Makin kayak cewek tau gak?" puji Kenzie mengerlingkan sebelah mata. Bukannya bahagia, Leona justru memukul bahu Kenzie cukup keras hingga pemuda itu meringis kesakitan. "Lu pikir selama ini gue bukan cewek?" tanya Leona melotot. "Ya cewek. Tapi tomboy kayak cowok. Makanya, buktiin sama gue dengan cara kita nikah." "Bukti apaan?" "Bukti, bukti bentuk anu lu itu kayak donat apa kayak pisang." "Omes! Otak mesum." Leona menekan kening Kenzie kuat. "Otak lu emang harus gue londry biar isinya gak kotor mulu. Dahlah, cepet turun! Kerjaan gue banyak." Ditolak Leona, Kenzie semakin bingung, dengan siapa ia menikah? Kalau menikah hanya untuk sebuah permainan, bisa saja dia menyewa wanita lain untuk dijadikannya istri. Tetapi, sedikit banyak Kenzie tahu hukum agama. Agamanya melarang mempermainkan pernikahan. Dan lagi, ia selalu berkeinginan menikah dengan satu wanita, dan satu kali menikah dalam seumur hidup. Sekarang wanita yang dekat dengannya hanya Leona. Gadis tomboy yang hampir tiap hari bersamanya. Leona sebenarnya cantik hanya saja penampilannya seperti laki-laki. Rambutnya pun tidak pendek, cukup panjang, cuma selalu diikat ekor kuda. Gaya berpakaiannya jauh dari kata feminim. Leona lebih senang mengenakan celana panjang bahan atau jeans serta kemeja tunik, kaos kebesaran, atau kemeja yang sama dengan Kenzie. Diam-diam Kenzie membayangkan Leona mengenakan lingerie saat mereka jadi sepasang suami istri. "Hadeuh, si titut kembung lagi," ucap Kenzie sebelum turun dari mobil. *** Usai meeting dengan klien di salah satu restoran mewah, Kenzie malas kembali ke kantor. Padahal pekerjaannya masih menumpuk. "Cabut, yuk!" ajak Leona setelah merapikan beberapa dokumen dan memasukkan laptop ke dalam tas-nya. Tawaran kerja sama dengan salah satu perusahaan dari luar kota membuat Leona harus segera mengerjakan proyek tersebut. Ia tak ingin membuat perusahaan mengalami kerugian dengan hasil kerjanya. "Ken, lu denger gue gak? Malah ngelamun?" sentak Leona, membuyarkan lamunan Kenzie. "Jangan balik lagi ke kantor. Kita karaokean atau kalau gak, kita nonton." "Enggak bisa. Kita lagi banyak proyek. Harus balik lagi ke kantor. Ayok, cepetan!" Baru saja Kenzie hendah berdiri, suara dering handphone, menyentaknya. Cekalan Leona pada lengan Kenzie dilepas, membiarkan pemuda itu merogoh handphone yang disimpan di balik saku jas-nya. "Mamah telepon? Tumben amat?" gumam Kenzie melihat nama kontak yang tertera di layar ponsel. "Siapa?" "Nyokap. Sebentar, gue mau angkat telepon dulu." Leona mengangguk, kembali duduk di kursi semula. "Hallo, Mah?" "Ken, kamu lagi di mana?" "Di restoran habis meeting sama klien. Ada apa, Mah?" Kenzie mulai khawatir mendengar suara wanita yang telah melahirkannya. Jasmine seperti sedang menahan isak tangis. "Ken, o-opa masuk rumah sakit. Se-sekarang keadaannya mulai kritis, Ken." Akhirnya tangisan Jasmine pecah. Hati Ken tersentak mendengar kabar tentang Benjamin, lelaki yang amat disayanginya. "Mamah, tenang dulu. A-aku sekarang langsung ke rumah sakit. Mama tenang, ya?" Kenzie mematikan sambungan telepon. Hatinya belum sepenuhnya siap jika Benjamin meninggal dunia saat ini. "Le, kita ke rumah sakit sekarang, opa Ben kondisinya kritis." "Hah? O-oke." Tanpa banyak tanya lagi, Leona mengikuti saran Kenzie. "Gue yang nyetir," ujar Leona mengambil alih kunci mobil dari tangan Kenzie. Ia tahu kalau sahabatnya itu tengah panik dan bersedih. Tak ingin kalau terjadi hal buruk yang menimpa mereka gara-gara Kenzie tak fokus mengemudi. Dengan kecepatan di atas rata-rata, Leona melajukan kendaraan mewah milik Kenzie Ivander Khaled. Lelaki yang sedari kecil dikenalnya. Tak sampai tiga puluh menit, kendaraan yang mereka tumpangi sudah sampai rumah sakit, tempat Benjamin menerima perawatan. Kenzie dan Leona berjalan cepat beriringan. Mereka langsung ke ruangan ICU untuk melihat kondisi kakeknya. "Mamah!" panggil Kenzie, melihat mama dan papanya tengah duduk di kursi panjang depan ruangan. Ternyata di sana, ada Jimmy dan juga Tiara. Kenzie langsung memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya. Wajah Jasmine dibasahi air mata. Wanita itu sudah menganggap Benjamin selayak bapak kandungnya sendiri. Jika terjadi hal buruk yang menimpa lelaki itu, Jasmine sangat bersedih. "Mah, tenang, jangan nangis terus. Lebih baik kita berdoa, semoga opa diberi kesehatan lagi," ujar Kenzie pelan, seraya mengusap lelehan air mata di wajah mamanya. Jasmine menganggukkan kepala. Kemudian, Kenzie memapah Jasmine duduk kembali di bangku semula. "Mamah dan Papah ada di sini juga?" tanya Leona setelah mencium punggung tangan kedua orang tuanya. "Iya, Nak. Tadi om Kevin yang kasih tau. Nak, doakan Opa Ben, semoga saja ia diberi kesehatan lagi. Beliau orang yang sangat baik," ucap Tiara meneteskan air mata. Walau antara dirinya dengan Benjamin tidak ada hubungan darah, namun karena kebaikan Benjamin, ia sangat segan dan hormat pada lelaki itu. "Pasti, Mah." Jimmy dan Kevin tak banyak bicara. Mereka diam seribu basa meski demikian, hatinya tak putus-putus mendoakan Benjamin. Tiba-tiba saja Leona teringat permintaan Kenzie. Apa mungkin ia harus menikah dengan lelaki itu? Lelaki yang sudah amat sangat dikenalinya? Tetapi, Leona sendiri tidak tahu, apakah nantinya bisa mencintai Kenzie atau tidak? Rasa sayang yang dimilikinya saat ini hanya sebatas kasih sayang terhadap sahabat. Leona terus saja berpikir. Lewat ekor matanya, gadis itu melihat Kenzie meneteskan air mata. Ia ingin duduk di samping pemuda itu, tapi keberadaan kedua orang tuanya membuat Leona urung melakukannya. "Ken, ta-tadi sebelum opa kena serangan jantung. Opa sempet nanyain kamu." Suara Jasmine terdengar bergetar. Ia menoleh, memandang putra tunggalnya dengan lekat. Sedangkan Kevin, hanya merunduk, mengusap wajahnya. "Nanyain aku, Mah?" "I-iya, Nak. Ka-kata Opa, kapan kamu nikah? Kapan ka-kamu punya anak." Tangisan Jasmine kembali pecah. Memeluk anak tunggalnya. Kevin yang duduk di sebelah Jasmine, langsung memeluk. Kenzie tergelak, mendengar pertanyaan opanya. Pikirannya semakin ruwet. Ia tak menanggapi. Kenzie justru berdiri, berjalan menghampiri ruangan Benjamin. Pemuda itu berdiri di dekat ruangan itu, berharap dapat melihat sosok renta yang teramat menyayanginya. Leona pun beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Kenzie. Kini, mereka berdiri sejajar. Memandang lurus ke kaca ruangan ICU, meskipun Benjamin tidak terlalu jelas terlihat. "Ken?" panggil Leona lirih. "Hm?" timpal Kenzie tanpa menoleh pada gadis yang berdiri di samping kanannya. "Gue udah denger omongan tante Jasmine. Gu-gue mau tanya. Boleh?" Kenzie menoleh, mengangkat sebelah alisnya. "Mau tanya apa?" "Apa lu serius mau ngajak gue nikah?" "Serius." Leona menelan saliva mendengar jawaban Kenzie yang tidak ragu sedikit pun. "Emangnya lu udah gak, gak ngarepin si Melisa dateng lagi? Kembali ke lu lagi?" "Enggak." Selanjutnya, Leona terlihat gugup. Namun, Kenzie dapat menangkap arah obrolan Leona. "Leona, gue tau diantara kita belum ada rasa cinta. Dan gue tau banget, kalau lu ingin menikah dengan lelaki yang lu cintai dan mencintai lu. Kalau lu percaya sama gue. Gue yakin banget, cinta itu akan ada seiring kebersamaan kita dalam berumah tangga. Gue yakin. Tapi, kalau lu gak yakin sama gue, ya udah." Kenzie mengalihkan pandangan, tatapannya kembali lurus ke depan. Beberapa menit tidak ada yang berbicara. Leona kemudian memberanikan diri menggenggam telapak tangan Kenzie sambil berkata, "Kalau gitu, gue juga yakin, mau lu nikahin, mau jadi istri lu, mau jadi ... i-ibu dari anak-anak kita nanti."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN