Jorge keluar dari gedung apartmen dengan wajah yang masih murka, ia terus saja mengingat setiap perkataan Vella dengan jelas.
"Kenapa kamu bisa ngomong gitu sih, Vel? Aku itu udah sayang sama kamu, makanya aku nggak pernah anggap kamu itu cewek bayaran aku. Mungkin kalau orang lain bilang, aku ini udah jatuh cinta beneran sama kamu. Ya, aku akui itu. Aku kecanduan mulut kamu, aku terus mau ada di dekat kamu, parahnya lagi cuma dengan mengingat wajah mu? Si junior terus aja kenceng nggak bisa diobati siapa pun kecuali kamu. Nindi aja nggak berhasil kemarin, bahkan video call aja nggak bisa juga nyembur. Hanya aku perlu meyakinkan sama perasaanku ini. Aku takut kamu kayak mantan pacarku si Noni dulu itu, Vel. Aku takut kamu tinggalkan. Aku takut kamu nggak kuat menahan omelan dan sikap kasar Mama yang pasti bakalan nggak terima sama hubungan kita. Aku harus bagaimana, Vel?" batin Jorge, naik ke atas mobil sportnya.
Sang CEO itu bahkan sempat memukul stir mobil, lantas dengan kencang melajukan kendaraan roda empat miliknya ke kantor saat ocehan Jimmy akhirnya berputar lagi dalam otak.
Tapi tak berselang lama, kemacetan pun terjadi akibat sebuah kecelakaan lalu lintas di ujung jalan sana.
"Duhhh... Ada apaan lagi sih ini? Dari tadi macet aja nggak jalan-jalan mobil di depan." umpat Jorge memukul stir mobilnya lagi.
Lima belas menit berlalu, akhirnya Jorge bisa bernapas lega dan mobilnya kembali meluncur menuju ke kantor.
Sesampainya di kantor ia sudah di tunggu oleh Nindi, samg sekretaris pribadi.
"Siang, Pak," sapa Nindi berjalan mengikuti sang Bos dari belakang.
Jorge yang dengan langkah berat menuju ke ruangannya, pun langsung duduk dan meminta berkas-berkas di tangan Nindi.
"Pak, cabang perusahaan Adara yang ada di Singapura katanya ingin merencanakan meeting ulang sama Bapak karena ada beberapa proposal yang tidak sesuai dengan kesepakatan," Nindi menjelaskan panjang lebar.
"Lalu kapan mereka minta meeting ulangnya?" tanya Jorge terus fokus memeriksa berkas dari perusahaan Adara.
"Mereka minta kalau bisa nanti sore atau besok pagi, Pak."
"Kok cepat sekali? Apa sudah kamu kasih tau kalau saya paling nggak suka sama hal-hal mendadak seperti ini ke mereka?" kesal Jorge menaikkan satu oktaf suaranya.
Nindi terlihat kikuk dengan teriakkan Jorge, namun apa daya jika ternyata rekanan bisnis De Olmo Corporation itu tetap berkeras pada pendiriannya.
"Sudah, Pak. Tapi kata sekretarisnya, CEO dari perusahaan Adara itu berencana akan cuti selama sebulan untuk menemani Istrinya melahirkan, Bos. Jadi--"
"Ck! Alasan yang tidak profesional! Ya udah, pesenin tiketnya sekarang! Nanti sore kita langsung berangkat bersama tim yang kemarin ikut menangani proposal proyek ini. Awas aja kalau sudah disetujui kayak gini masih ada komplain nggak jelas seperti di berkas ini! Lebih baik gue batalin aja dari pada ngelunjak terus!" kesal Jorge meremas berkas yang di kirim oleh rekanan bisnisnya itu melalui faksimile.
"Apa yang mau kamu batalkan, hem? Siapa yang mulai berulah duluan itu? Kamu atau mereka? Ingat ya, Ge?! Jangan macam-macam dalam hal bekerja! Papa dan Mama membangun perusahaan ini dari nol, tanpa mengharapkan belas kasihan keluarga De Olmo!" ujar Liely Fransiska, wanita yang melahirkan sang CEO muda itu ke dunia.
"Eh, Mama. Tumben main ke kantor. Papa mana, Ma? Kok sendirian aja?" kikuk Jorge.
Ia sebenarnya tahu jika sang Ibu akan menguntitnya ke kantor, karena Jimmy sendiri sudah lebih dulu memberi kabar itu tadi. Hanya saja Jorge selalu merasa was-was ketika berdekatan dengan Ibunya, karena memang wanita paruh baya itu sangat temperamental dan sering meletup-letup sejak di diagnosa memiliki penyakit Hipertensi sekitar tujuh tahun yang lalu.
Hal itulah yang kadang menjadi satu alasan bagi Jorge untuk terus mencoba menjadi anak manis di depan sang Ibu.
"Alah! Nggak usah basa-basi! Mama ke sini itu karena kamu pagi-pagi udah ngilang aja. Mana pake acara nyuruh Jimmy stay di rumah lagi. Ya jelaslah Mama curiga!" cerocos Liely, "Dan kamu Nindi! Kenapa kemarin saya titipin pesan, kamu nggak kasih tau sama bosmu? Dasar! Bikin capek saya aja kamu itu!"
"Maaf, Bu. Sa-saya anu, Bu. Saya--"
"Anu-anu! Udah berhenti gelesnya! Tadi bos mu ini sampai ke kantor jam berapa?" tanya Liely dengan nada tajam.
"Hah? Ke kantor?" gugup Nindi.
"Iya! Ini loh anak saya yang jadi Bos kamu itu tadi masuk kerja jam berapa? Apa dia barusan datang?" selidik Liely.
Wanita dua puluh tiga tahun itu pun segera membulatkan bola matanya. Ia menatap ke arah sang Bos, yang langsung memberi kode dengan sedikit berdeham dan mengedipkan sebelah netranya.
"Egh... I..tu, Bu. Pak Jorge su-sudah datang dari pagi tadi. Memangnya kenapa, Bu?" tanya Nindi berusaha menutupi rasa kikuknya.
"Kamu nggak bohong, kan?"
"Mama--"
"Mama itu cuma mau kamu jadi baik, Gege! Maka itu Mama bersikap seperti ini! Paham kamu?"
"Ya tapi bukan di depan Nindi, Ma! Dia karyawan Gege!" kesal Jorge, menampilkan wajah kurang bersahabatnya.
"Ya kalau begitu harusnya dia keluar dong dari sini. Bener, kan?" sahut Liely melipat kedua telapak tangannya di d**a.
"Egh, ma-maaf. Kalau gitu saya permisi dulu, Pak. Mari, Bu," Nindi pun cepat berbalik dan meninggalkan ruangan itu dengan rasa takut.
"Tuh, udah keluar dia. Jadi stop ngambeknya. Mama percaya kok kalau kamu datangnya pagi, 'kan tadi Nindi udah bilang sama Mama. Mana berani tuh anak bohong sama Mama, ya 'kan?" ujar Liely menghampiri putranya.
"Ya udah, Ma. Pulang sana gih! Gege lagi pusing sama kerjaan yang kemarin meeting di Singapura itu. Nanti sore harus ke sana lagi buat meeting mendadak yang mereka ajukan barusan tadi," ujar Jorge mengusir sang Ibu.
"Kamu itu. Mama 'kan baru datang, Ge. Selalu deh kayak gitu. Belum lagi akhir-akhir ini Mama ngerasa kamu berubah. Memangnya apa sih yang kamu umpetin dari Mama?"
"Ih, Mama! Nyembunyiin apa sih, Ma? Orang Gege nggak nyembunyiin apa-apa kok." elak Jorge menjawab perkataan Ibunya.
"Ge, kamu itu anak Mama. Mama mengandung kamu selama sembilan bulan. Jadi Mama tahu sekali kalau kamu itu nyembunyiin apa-apa dari Mama. Hati seorang Ibu selalu tahu kalau anaknya kenapa-kenapa, Ge," sahut Liely yang masih saja tidak percaya pada perkataan sang Putra.
"Tapi beneran, Ma. Gege nggak nyembunyiin apa-apa dari Mama. Suwer deh," ucap Jorge menaikan kedua jarinya, "Udah sana Mama pulang aja deh. Nggak bisa konsentrasi Gege kalau ada Mama. Gimana mau dapat duit kalau kayak gini coba?"
"Iya-iya! Mama pulang sekarang. Tapi awas aja kalau kamu sampai bohong. Mama akan coret nama kamu dari hak ahli waris keluarga!" ancam Liely.
"Mama tuh ancamnya pasti itu mulu, terus kalau di coret. Itu hak ahli waris mau di kasih sama siapa lagi, Ma? tanya Jorge penasaran.
"Akan Mama sumbangin semua ke Panti Sosial."
"Sudah ya, Mama sayang. Jangan marah-marah lagi. Gege nurut sama Mama kok," ujar Jorge memilih untuk mengalah saja.
Ia lantas bangun dari kursi kebesarannya dan lekas memeluk tubuh wanita paruh baya itu, untuk menenangkannya.
"Ya, udah! Mama pulang ini. Kebetulan juga Mama ada arisan setelah makan siang. Kamu jangan lupa makan siang juga ya? Suruh aja si cewek centil sekertaris kamu itu yang beli ke bawah kalau kamu maunya makan masakan Padang tapi nggak bisa delivery," sahut Liely lagi.
"Siap, Ma. Gampanglah itu nanti Gege pesan dari kantin aja," jawab Jorge, ikut melangkah ke pintu utama di ruangannya.
Liely lalu mengecup pipi putranya, dan berlalu pergi meninggalkan kantor. Sepeninggal sang Ibu, Jorge dengan segera meraih benda pipih di dalam saku celananya. Meski ia sedang bertengkar dengan Vella tapi rasa rindu selalu saja membuncah dalam hatinya.
Jorge pun mencari nomor ponsel Jimmy dengan segera dan sambungan telepon pun tersengar ditelinganya.
Tuttt... Tuttt... Tuttt...
"Halo. Iya, Bos? Ada apa nih?" tanya Jimmy di seberang.
"Ada apa? Gue nggak boleh telepon lo emangnya?"
"Yaelah, si Bos. Sensitif amat sih. Maaf, Bos," kekeh Jimmy, membuat Jorge mengeraskan rahangnya.
"Gimana? Sudah belum lo daftarin cewek gue ke tempat kuliah yang dia mau?" tanya Jorge antusias.
"Cewek? Cewek yang mana, Bos?" goda Jimmy menahan tawanya.
"Ck! Sialan, lo! Felicia Vella lah. Siapa lagi?"
"Oh, jadi sekarang Bos udah jadian sama dia?!" pekik Jimmy, membuat Jorge menjauhkan ponselnya.
"Banyak bacot, lo! Jawab aja apa yang gue tanya, Oncom!"
"Yeee... Marah lagi si Bos. Lha 'kan ini gue lagi nungguin dia, Bos. Dia masih di dalam, gue nunggu di luar sambil liat cewek-cewek. Biasa Bos cuci mata," ucap Jimmy dengan nada nyengir.
"Oke-oke. Terserah elo deh itu. Tapi awas ya kalau lo gangguin Vella kayak biasanya lo cicipin cewek-cewek bayaran bekas gue dulu! Vella itu beda! Nggak bakalan jadi bagian icip-icip lo lagi kayak dulu! Ngerti lo?"
"Siap, Bos. Tenang aja itu mah. Sudah gue tulis barusan pakai spidol yang nggak bisa di hapus, kalau Vella itu ceweknya Jorge Luis de Olmo, Bos gue yang paling ganteng sejabodetabek. Iya 'kan, Bos?" sahut Jimmy dan Jorge terkekeh di ujung telepon.
"Anak pinter. Ya udah, lo jagain aja terus dia di sana. Jangan sampai ada cowok yang--"
"Ya jelas ada lah, Bos! Tadi aja udah banyak yang deketin. Harusnya tuh tadi Bos yang nganterin Vella. Egh, si Bos malah nyuruh gue."
"APA?!" pekik Jorge terhentak seketika dari kursinya.
"Lha. Emang gitu adanya kali, Bos. Maka itu Bos harusnya nggak usah aja kasih kuliah Vella, memangnya nanti dia di kampus nggak ada teman cowoknya? Kalau gue jadi Bos mah, kuliahnya di kasur aja lebih enak," kekeh Jimmy, tapi tak terasa lucu bagi Jorge.
Ia memikirkan ucapan Jimmy yang bernada guraian tadi, dan tangannya pun segera mengakhiri panggilan telepon tersebut.
"s**t! Bener juga 'tuh kata si Jimmy oncom. Vella pasti nanti digangguin temen-temen cowok kuliahnya. Udah dia itu polos banget, tapi aku harus gimana dong? Kuliah itu tujuan hidup dia sekarang. Kalau aku nggak kasih kesempatan, ya mana mau lah dia capek-capek layanin gue? Duh, Kamprettt...! umpat Jorge dalam hatinya.
Pria dua puluh lima tahun itu lantas menemui sekretarisnya dan mencoba bernegosiasi lagi di sana.
"Nin, rapatnya besok pagi, kan? Minta pas jam makan siang sekalian aja bisa nggak, tuh? Coba kamu tanya sekarang. Jadi besok pagi aja baru kita terbang dari sini ke sana."
"Aduh! Gimana ya, Pak? CEO Perusahaan Adara itu nggak punya waktu selain sore ini dan besok pagi, Bos. Terus saya juga udah pesan tiket kelas bisnis buat lima orang dengan jadwal keberangkatan sore ini. Gimana dong Bos?" ucap Nindi.
"Ck, kamu tuh. Cepet banget kerjanya."
"Ya 'kan tadi Bos bilang--"
"Iya-iya! Jangan jawab lagi. Beresin kerjaan kamu deh. Batal udah niat gue mau ketemu sama Vella," potong Jorge berbalik dan masuk lagi ke dalam ruangannya.
Namun sebuah guncangan besar ternyata sedang terjadi dalam diri Nindi, dan itu disebabkan oleh perkataan Jorge.
Ternyata walaupun nada bicara pria itu diakhirnya tadi semakin mengecil, namun telinga Nindi masih mampu bekerja dengan baik. Ia menangkap satu nama wanita dari mulut pujaan hatinya dan tersulutlah rasa cemburu sang Sekertaris.
"Vella? Hem, siapa dia? Apa Gege punya cewek baru? Ck! Ini nggak bisa dibiarkan. Gue harus cari tau, karena yang boleh ngisap burung Beo si Gege itu cuma gue! Bukan yang lain!"