04 - Membuat Keputusan

1966 Kata
Almira memijat pangkal hidungnya yang terasa pening. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Dan hampir semua pegawai butiknya juga sudah pulang. Harusnya Almira pun demikian. Tapi, mengingat kata-kata Naga siang tadi benar-benar membuatnya pusing. Lelaki itu bilang kalau ia akan menjemput dan mengantar Almira pulang. Andai dia bukan Naga, Almira pasti akan langsung menolak atau bahkan nekat kabur. Tapi, dia tetaplah Naga Mahawira yang tak akan mudah ia hindari. `Tok tok tok` Secepat kilat, Almira menoleh ke arah pintunya yang diketuk dari luar. Bukankah ini sudah lewat jam pulang kantor? Kalau memang itu karyawannya, mau apa dia menemui Almira sore-sore begini? “Siapa?” tanya Almira. “Nindy, Mbak. Mbak Rara tidak apa-apa? Dari tadi siang kok tidak keluar?” tanya Nindy. Almira menghela napas panjang mengetahui pegawai barunya lah yang mengetuk pintu. Ia kira dia... “Di depan ada orang nunggu Mbak Rara. Katanya calon suami Mbak Rara. Katanya Beliau khawatir karena Mbak Rara belum juga keluar.” Astaga, seperti yang Almira duga. Lelaki itu akhirnya datang juga. Almira segera beranjak untuk membukakan pintu. “Siapa? Saya belum mau menikah. Jadi kalau ada yang ngaku-ngaku seperti itu, pasti bohong. Tolong katakan saja saya masih ada kerjaan. Kalau dia sibuk atau capek, suruh duluan saja karena saya memang tidak mau pulang bersamanya,” ucap Almira. “Tapi-” “Tidak perlu, Mbak. Saya sudah mendengar semuanya.” Almira merutuki nasibnya dalam hati. Bagaimana bisa laki-laki itu masuk begitu saja ke butik Almira? Dan... sejak kapan? “Kalau begitu saya permisi ya, Mbak, Pak. Mari,” pamit Nindy yang kemudian segera mengundurkan diri. “Masih ada pekerjaan? Aku bisa menunggu,” ucap Naga. Lelaki itu hendak menerobos tubuh Almira yang masih berdiri di ambang pintu. Namun, Almira segera merentangkan tangannya, membuat langkah Naga terhenti. Lelaki itu juga tampak menyeritkan alisnya seolah meminta penjelasan. “Memangnya Anda tidak punya kerjaan, sampai-sampai harus menunggui saya bekerja?” sindir Almira. “Ada. Tapi aku kan sudah janji untuk menjemputmu,” balas Naga. “Kalau Anda-” “Aku lelaki sejati yang tidak mungkin mengingkari janjinya jika tidak dalam keadaan yang sangat terdesak,” potong Naga dengan tegas. Almira menyenderkan tubuhnya pada tembok di sampingnya. Ia menghela napas panjang, putus asa menyadari sifat Naga yang mutlak tidak mau dibantah. “Bagaimana?” tanya Naga. “Baik, kita pulang sekarang,” jawab Almira dengan terpaksa. Gadis dua puluh enam tahun itu masuk kembali ke ruangannya untuk membereskan meja kerja dan mengambil tasnya. Setelah itu, ia keluar dan kembali ke hadapan Naga. Menatap lelaki itu sebentar, sebelum menutup pintu dan melewatinya begitu saja. Ketika di mobil, keduanya tidak banyak bicara. Sudah hampir lima belas menit mereka duduk bersama. Namun tak seorang pun dari mereka yang lebih dulu buka suara. Sesekali, Naga menoleh ke arah Almira yang tampak nelangsa duduk di sebelahnya. Jujur, ia sedikit tersinggung. Memangnya, ada yang salah dengan duduk di samping Naga? Di luaran sana banyak yang antre agar bisa duduk berdua dengan Naga. Tapi, Almira yang mendapat kesempatan langka ini malah tidak memanfaatkannya dengan baik. “Ibuku mau bertemu,” ucap Naga setelah cukup lama terdiam. Almira menoleh ke arah Naga, menatap pria itu dengan kebingungan. “Maksudnya? Bertemu dengan siapa?” “Kamu.” “Hah?” Almira melongo. Tunggu dulu! Apa dia salah dengar? Lagi pula kenapa sih, Naga bicara sepotong-sepotong seperti itu? Membuat Almira salah sangka saja. “Maksud Anda, ibu-” “Bukankah tadi aku sudah bilang, kita bicara dengan bahasa informal saja!” potong Naga. Almira berdecak. Memang saat ini cocok untuk membahas soal hal itu? “Oke, maaf. Tapi, maksud Anda tad- eh maksudnya kamu tadi apa? Ibu An- kamu mau bertemu dengan siapa?” tanya Almira untuk memastikan jika pendengarannya pasti salah. Ya. Ia memang berharap entah pendengaran atau pemahamannya, setidaknya salah satu ada yang salah. “Ibuku mau bertemu dengan calon istriku. Dan bukankah itu kamu?” ulang Naga. Almira mendengus kesal. Kenapa sih laki-laki ini ngebet sekali mengejarnya? “Bukan. Kan saya sudah menolak,” protes Almira. “Jadi kamu memilih tidak bisa hadir di acara fashion show besar lagi?” tanya Naga. Almira menggeleng cepat. Mana mungkin ia bisa tidak hadir di acara oeragaan busaa bergengsi selamanya? Biar bagaimana pun ia sudah memutuskan untuk terjun ke dunia fashion. Dan bagi desainer dan pengusaha di bidang fashion, peragaan busana adalah sebuah pameran untuk mempromosikan produk mereka secara besar-besaran. Bisa menampilkan karyanya di ajang peragaan busana adalah sebuah kebanggaan besar bagi seorang desainer dan pemilik brand pakaian. “Jadi, bukankah seharusnya kamu sudah tahu harus memutuskan seperti apa?” “Tidak. Masih belum. Masalah pernikahan dan pekerjaan harusnya tidak disangkut-pautkan seperti ini. Mama dan aku sudah mati-matian mendirikan butik kami. Aku juga sudah sampai harus berkuliah bertahun-tahun di luar negeri untuk memaksimalkan kemampuanku. Lalu kamu tiba-tiba mau menghancurkannya begitu saja?” protes Almira. “Aku tidak berniat menghancurkannya. Tapi kau sendiri. Lagi pula, aku memberimu pilihan, kan?” balas Naga santai. Almira menghela napas panjang kemudian mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Percuma saja ia bicara panjang lebar dengan Naga. Toh pada akhirnya laki-laki itu akan tetap pada egonya sendiri. Dia memang berkuasa. Tapi, bukankah hal seperti ini sangat keterlaluan? Ia menggunakan kekuasaan dan kekayaannya untuk menekan orang lain. Terlebih sampai membawa tentang pernikahan. Hal yang paling rumit di dunia ini. “Sebenarnya aku tidak peduli dengan jawaban akhirmu. Karena bagaimana pun caranya aku pasti akan tetap mendapatkanmu.” “Ya ya ya. Anda kan sangat berkuasa, dan semua orang takluk pada Anda. Jadi Anda pasti bisa melakukan apa pun yang Anda mau,” sindir Almira. Bukannya marah dengan sindiran Almira, namun Naga malah tersenyum miring seolah ia tidak menyangkal tuduhan itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka sampai di sebuah restoran indoor yang cukup berkelas. Sebelumnya, Almira pernah beberapa kali datang ke sini bersama Tari, ibu dari mantan lelaki yang pernah dijodohkan dengannya. “Kita-” “Ayo turun! Ibu sudah menunggu,” ajak Naga. Napas Almira tercekat. Jadi, Naga bear-benar membawa Almira untuk bertemu dengan ibunya? Lalu apa artinya percakapan tadi di mobil? Dan apa artinya Naga memberi waktu Almira untuk memikirkan soal lamarannya, jika pada akhirnya lelaki itu tetap melakukan apa pun sesuai rencananya sendiri? Kesadaran Almira belum sepenuhnya pulih. Namun, pintu di sampingnya sudah lebih dulu terbuka dari samping. Tampak Naga di sana, mempersilakan Almira untuk segera turun. Tak punya pilihan lain, Almira pun segera turun dari kendaraan roda empat itu. “Jangan bicara macam-macam dengan ibuku. Beliau punya riwayat penyakit jantung yang cukup serius,” ucap Naga. Almira kembali terkejut. Lalu, apa yang harus ia lakukan dan katakan di dalam nanti? “Lalu aku harus apa kalau ibu kamu tanya-tanya tentang aku? Aku-” “Sesuai rencana yang sudah aku susun, kamu tinggal menjawab apa adanya, kecuali soal status kita.” “Ya?” “Katakan pada Ibu jika kita sudah cukup lama berkencan dan sudah siap untuk menikah.” “APA?” Almira memekik kaget hingga mereka menjadi pusat perhatian beberapa orang yang ada di sekitaran mereka. “Yang begini saja kamu juga keberatan?” sindir Naga. “Hmm it- itu, tapi kan kita belum ada kesepakatan apa-apa. Aku juga belum memutuskan untuk menerima pernikahan ini. Bukankah itu artinya kamu meminta aku berbohong pada ibumu sendiri? Lalu bagaimana kalau di masa depan Beliau membahas ini lagi?” bingung Almira. Naga melingkarkan tangannya di pinggang ramping Almira hingga gadis itu nyaris memekik untuk kedua kalinya. Almira hendak melepas rengkuhan Naga, namun lelaki itu justru mengencangkan pelukannya. Semakin Almira berusaha untuk kabur, maka semakin kuat juga Naga akan menahannya. “Lakukan saja sesuai intruksi yang sudah aku katakan!” Benar, kan! Lelaki itu tetap pada kehendaknya sendiri. Ucapan Almira sebelumnya bak hanya angin lewat yang tak berharga. Almira mendengus kesal. Ia terjebak, dan tidak mungkin ia bisa lepas dengan mudah. Tak berselang lama, mereka berhenti di hadapan seorang wanita paruh baya berwajah oriental. Wanita itu mengangkat kepalanya kemudian tersenyum ramah ke arah Naga dan Almira. “Kamu Almira, ya?” tanya wanita itu, yang membuat Almira segera menganggukkan kepalanya. “Perkenalkan, sayang. Tante ibunya Naga. Nama Tante Dami,” ucap wanita itu memperkenalkan diri. `Dami? Tidak seperti nama orang Indonesia. Lagi pula, wajah Beliau juga sepertinya bukan wajah orang lokal. Apa mungkin...` “Ah, Tante orang asli Korea, namun sudah pindah dan menetap di Indonesia selama hampir tiga puluh tahun,” terang Dami seolah bisa membaca apa yang tengah mengganggu pikiran Almira. “Kamu jangan curiga kalau Ibu bisa membaca pikiran orang. Ibu tidak seperti itu. Tapi Ibu memang lebih sensitif daripada kita,” ucap Naga yang membuat Almira mengangguk paham. “Beliau adalah seorang psikolog,” bisik Naga. Setelah itu, Almira dan Naga duduk berseberangan dengan Dami. Dengan sigap, Dami segera memanggil pelayan untuk mencatat pesanan mereka. “Almira apa kabar?” tanya Dami membuka pembicaraan. “Ba- baik, Tante,” jawab Almira kaku. “Ibu tadi menunggu lama, ya?” tanya Naga pada sang ibu. “Belum terlalu lama. Oh iya, Almira. Jadi kapan Tante boleh bertemu dengan mama kamu?” “Ha?” “Nanti pasti akan Naga kabarin, Bu. Naga belum bicara banyak pada Tante Lira,” Naga mengambil alih jawaban Almira, membuat gadis itu menghela napas lega. “Kalau bisa, bulan ini saja, ya? Bukankah lebih cepat lebih baik? Toh kalian sudah dewasa. Ibu dan mamanya Almira juga sudah semakin menua. Sebagai orang tua, kami tidak tenang jika membiarkan anaknya sendirian di usia kami yang kian renta. Harus ada yang mengurus kamu, Naga. Dan juga, Almira butuh pelindung,” ucap Dami, membuat Almira dan Naga membeku. Dami seolah bisa membaca keraguan dari mata Almira. Wanita paruh baya itu menghela napas berat kemudian tersenyum miris. Sepertinya, butuh waktu lebih lama dari yang ia harapkan untuk bisa melihat putra semata wayangnya membina rumah tangga. Sementara Almira, seketika teringat dengan sang ibu, yang beberapa kali jugamenyarankannya untuk segera membuka hatinya pada pria lain. Sepertinya Dami benar. Setiap orang tua berharap anaknya segera membangun keluarga kecilnya sendiri setelah mereka dewasa. “Sebagai anak, kalian juga pasti ingin kan, orang tua kalian hadir di pernikahan kalian? Dan sekarang, kalian tinggal punya ibu. Hanya tinggal satu. Apa kalian tega membiarkan mereka menunggu lebih lama? Sementara kita semua tidak ada yang tahu umur manusia sampai mana,” imbuh Dami. “Bu...” ucap Naga lirih, seolah tidak suka dengan apa yang baru saja ibunya katakan. “Ibu tidak mau ikut campur, Nak. Ibu cuma mau menyadarkan kalian tentang hal itu. Dan soal keputusan akhir, Ibu menyerahkannya pada kalian. Ibu tahu kalian sudah cukup dewasa untuk menentukan mana yang baik untuk kalian. Yang pasti, apapun itu, jangan lupa pertimbangkan juga kepentingan orang-orang di sekeliling kalian!” terang Dami sambil melirik ke arah Almira yang wajahnya sudah semakin tidak karuan. “Pada hakekatnya, manusia terlahir secara berpasangan, dan saling membutuhkan. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendirian di dunia ini. Hanya tinggal waktunya saja, kapan mereka akan siap untuk memulai. Dan-” “Saya akan coba bicara dengan mama saya, Tante. Tentang pertemuan keluarga,” Almira memotong ucapan Dami. Bukan maksud tidak sopan. Hanya saja rasanya ia sudah cukup mengerti dengan apa yang Dami katakan. Terlebih, Almira merasa tidak enak sendiri ketika sadar jika Dami sudah bisa membaca tentang keraguannya. “Almira, kamu serius? Kita bahkan belum-” “Aku baru akan meminta pendapat Mama. Jika Mama mengizinkan, aku akan mencoba mengatur pertemuan untuk bulan ini,” ucap Almira sambil menatap Naga. Almira tidak tahu apakah keputusan yang ia ambil ini benar atau salah. Tapi, ucapan Dami benar. Pada intinya nanti Almira juga harus mendapatkan pasangannya sendiri. Kalau bisa, sebelum pernikahan Nasya dan Bara digelar, agar Almira tidak menjadi beban mental lagi bagi dua sejoli itu. Dan saat ini, ada Naga yang hadir dan mengajaknya untuk menjalin hubungan yang serius. Bahkan ibunya pun sudah setuju dan tampaknya mau menerima Almira. Lalu, apa lagi yang membuat Almira harus menolak untuk sekadar mempertimbangkan tawaran itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN