03 - Membuat Jengkel

1412 Kata
Saat ini, Almira sudah berada di dalam mobil Naga Mahawira. Keduanya sudah mengenakan sabuk pengaman, dan Naga pun sudah siap menjalankan kendaraan itu. Sedari tadi, Almira memilih terdiam. Ia tidak mau banyak bicara yang hanya akan membuatnya tampak sok akrab dengan Naga. Apa lagi saat laki-laki itu memilih diam seperti saat ini.   “Jadi, kamu mau tahu cara agar tidak membuat Nasya Ratrina Dewi itu terus-terusan merasa bersalah?” tanya Naga berbasa-basi. Almira mendesah malas. Bukankah tujuannya mau menerima `niat baik` Naga tadi memang untuk itu?   “Ya. Dan saya menunggu Anda untuk segera mengatakannya,” ujar Almira.   “Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah, tunjukkan jika kamu sudah move on,” ucap Naga yang membuat Almira langsung membisu.   Move on? Bukankah istilah itu terdengar sangat simpel? Siapapun akan menyarankan pada orang yang baru patah hati untuk move on, kan? Tanpa tahu seberapa sulit dan beratnya untuk melakukan hal yang selalu dianggap sederhana itu.   “Kalau untuk itu, saya tahu. Saya juga sudah berusaha agar tidak tampak menyedihkan di mata mereka,” balas Almira.   “Apa menurutmu itu saja cukup? Mereka akan percaya?”   “Saya harap demikian. Meski saya tidak tahu pasti karena saya bukan cenayang yang bisa membaca pikiran orang-orang di sekelilingnya.” Jawaban itu membuat Naga terkekeh pelan, sebelum kembali memasang ekspresi serius.   “Ternyata kamu sepolos itu. Untuk ukuran gadis berusia dua puluh enam tahun, kamu terlalu naif,” ejek Naga. Almira menyerit saat dirinya merasa tercubit dengan ucapan Naga.   “Maaf, Pak Naga. Tapi kita bahkan baru saja kenal. Tapi kenapa Anda bisa menghakimi saya seperti itu? Anda kan tidak tahu bagaimana saya dalam kehidupan sehari-hati,” protes Almira yang kurang setuju dengan ucapan Naga terhadapnya.   “Kamu pikir, setelah pertemuan pertama kita dulu, aku tidak langsung menemuimu karena apa?” tanya Naga. Namun, Almira sama sekali tidak punya jawaban atas pertanyaan laki-laki itu. “Tentu saja aku harus menyelidiki semua tentangmu dulu, Almira. Jadi kalau kamu bilang aku tidak tahu apa-apa tentangmu, sepertinya kamu salah besar.”   Almira menelan salivanya dengan susah payah. Memang apa yang menarik dengan kehidupan Almira sehingga Naga mau repot-repot cari tahu tentangnya? Almira merasa dirinya bukanlah gadis istimewa yang bisa sampai membuat orang tergila-gila seperti itu. Ia hanya gadis biasa, seorang desainer yang cukup beruntung karena memiliki ibu yang punya ketertarikan di bidang yang sama, serta berhasil menyelesaikan studinya di kampus kenamaan dunia.   “Aku harap kamu tidak meragukan keseriusanku. Aku benar-benar berniat menjadikanmu istri,” imbuh Naga. Lagi-lagi bahasan itu muncul dari mulut Naga.   “Saya masih bingung, kenap harus saya? Anda seorang pengusaha yang punya segalanya. Secara penampilan visik, pekerjaan, latar belakang keluarga dan bahkan pendidikan Anda berada jauh di depan saya. Lalu-”   “Jika aku memang sebaik itu, apa menurutmu aku layak mendapat penolakan?” potong Naga, yang lagi-lagi harus membuat Almira diam sejenak untuk mencerna kata-kata lelaki itu.   “Bukan berarti Anda buruk karena saya yang menolak lamaran Anda. Hanya saja, bukankah itu aneh? Anda tiba-tiba datang, masuk ke hidup saya dan kemudian meminang saya. Andai Anda hanya orang biasa, saya masih bisa memakluminya. Tapi masalahnya saya tahu Anda.”   “Memang apa yang salah denganku?” bingung Naga.   “Tidak ada. Hanya saja saya sedikit trauma dengan lelaki yang memiliki kelas terlalu jauh di atas saya,” ucap Almira tanpa mau menoleh ke arah Naga yang sering kali mencuri pandang ke arahnya meski lelaki itu juga masih harus fokus menyetir.   “Ah soal Pak Bara!” seru Naga. “Tapi bukankah Pak Bara justru menikah dengan gadis yang lebih sederhana dari Anda? Saya dengar, awalnya Bu Nasya adalah pekerja di butik Anda. Lalu, apa salahnya dengan kita?”   “Ck, saya jelaskan pun Anda tidak akan paham, Pak. Lagi pula saya juga tidak sedang suasana hati yang baik untuk membahasnya,” balas Almira.   “Lalu kamu masih mau keras kepala dengan menolak lamaranku?”   “Ya. Keputusan saya sudah bulat. Lagi pula, jika hanya karena disuruh menikah, Anda kan bisa mencari perempuan lain. Saya yakin di luaran sana banyak kok yang mau menjadi pendamping seorang Naga Mahawira,” ujar Almira berusaha meyakinkan Naga jika pria itu bisa mendapatkan yang jauh di atas Almira di luaran sana.   “Sayangnya aku sudah memberikan fotomu pada ibu dan keluargaku. Dan mereka terlanjur suka denganmu,” ucap Naga yang membuat Almira melotot.   “Anda tadi bilang apa? Saya-”   “Bisakah kita bicara informal? Ini bukan menyangkut masalah pekerjaan atau semacamnya, kan?” pinta Naga dengan nada tegas tak terbantah.   “Mana mungkin? Anda tetap rekan kerja mama saya. Dan bisa dibilang jabatan Anda lebih tinggi dari kami. Jadi bukankah saya harus sopan?”   “Mana ada orang yang berkali-keli menolak lamaran `atasan`nya dibilang sopan?” gumam Naga yang masih dapat ditangkap oleh indera pendengaran Almira.   “Pak, maaf saya mau mengingatkan. Bukankah saya bersedia ikut mobil Anda karena Anda ingin menceritakan tentang beberapa hal?” tanya Almira. Namun laki-laki itu tidak lagi menjawab pertanyaan Almira. Awalnya Almira khawatir jika ia salah bicara hingga membuat Naga bungkam. Tapi ternyata...   “Kamu tidak mau turun? Apa memang sebaiknya kita mampir ke kantorku dulu? Sepertinya kamu masih ingin bersamaku lebih lama.” Almira tersentak. Ia baru sadar jika saat ini ia sudah berada di pelataran butiknya.   “Ah, sudah sampai. Kalau begitu-”   “Aku tunggu jawaban kamu yang lebih baik tentang lamaranku hari ini, Almira. Aku hanya akan memberimu waktu satu minggu. Jika kamu masih keras kepala juga, aku pastikan aku akan mendapatkanmu dengan cara apapun,” tegas Naga.   Almira kembali merinding dibuatnya. Lelaki itu benar-benar mengerikan. Terlebih ia punya jabatan dan uang yang sangat banyak untuk melakukan apa yang dia mau, termasuk merealisasikan ancamannya, kan. Jangankan soal pernikahan, bahkan membunuh orang lain pun ia tidak akan peduli.   “Jika kamu masih keras kepala, maka bisa aku pastikan kamu tidak akan lagi mendapat undangan fashion show, entah itu di luar ataupun di dalam negeri. Kamu tahu pengaruhku kan, Almira?”   `Brakkk`   “Tidak, terima kasih, Pak Naga. Harap hati-hati di jalan!” pinta Almira setelah ia turun dari mobil dan menutup pintunya secara kasar. Setelah itu, Almira segera masuk ke butiknya. Ia bisa merasakan tatapan penuh curiga dari para karyawanya.   “Apa pekerjaku sekarang punya hobi baru suka mengomentari atasannya?” sindir Almira. Hari ini suasana hatinya benar-benar kacau akibat Naga. Sangat jarang Almira bersikap menyebalkan seperti ini. Sekalipun saat meeting membahas hal genting masalah pekerjaan.   Almira membanting tubuhnya di sofa. Kepalanya terasa pening dan berat. Belum lagi hatinya yang menahan dongkol mendapati perlakuan Naga yang seenaknya. Seumur-umur, Almira belum pernah bertemu dan berurusan dengan orang semenjengkelkan Naga. Dan kenapa sekalinya bertemu, orang itu langsung memaksa Almira menjadi istrinya?   “Sinting! Aku nggak nyangka seorang Naga Mahawira yang dielu-elukan itu ternyata orang sinting yang bisa mengajak siapa saja menikah dengan sangat gampangnya!” geram Almira. Naga Mahawira. Rasanya baru kemarin Almira berkenalan dengan orang itu. Tapi ternyata orang itu bisa memberikan dampak yang luar biasa besar pada Almira, hingga Almira bisa uring-uringan berkepanjangan seperti ini.   “Jika kamu masih keras kepala, maka bisa aku pastikan kamu tidak akan lagi mendapat undangan fashion show, entah itu di luar ataupun di dalam negeri. Kamu tahu pengaruhku kan, Almira?”   Kata-kata itu terus terngiang di telinga Almira. Andai bukan Naga Mahawira yang mengatakannya, mungkin Almira bisa tetap santai dan menjalani hari-harinya seperti biasa. Sayangnya, orang itu adalah Naga Mahawira, orang yang sangat dihormati dalam bidang fashion dan sering kali menjadi donatur utama pada sebuah event fashion show kelas satu di negara ini.   Andai Almira masih dekat dengan Bara atau paling tidak Tari, mungkin Almira bisa minta tolong pada mereka untuk bicara pada Naga. Hanya saja, mengingat hubungan mereka yang tak lagi sedekat dulu, Almira sungkan. Terlebih lagi mengingat jika pria dari masa lalunya itu kini sudah memiliki calon istri lain. Rasanya sudah cukup Almira terlibat dalam kehidupan asmara mereka. Inilah waktunya bagi Almira untuk mandiri dan memulai kisahnya sendiri.   `Mungkin di kisah Bara dan Mbak Nasya aku hanyalah second female lead yang memiliki akhir menyedihkan. Tapi, mulai hari ini aku akan fokus pada jalan ceritaku sendiri, di mana akulah yang jadi pemeran utama sekaligus orang yang paling berhak bahagia,` batin Almira memantabkan hati.   Tanpa sengaja, matanya kembali tertuju pada sebuah undangan yang ada di tepi mejanya. Mendadak, dadanya terasa sesak. “Akan ada waktunya untuk aku bahagia dengan kisahku sendiri, kan?” gumam gadis berusia dua puluh enam tahun itu, sembari berusaha menerawang ke arah masa depannya, membuang segala kenangan di masa lalunya yang telah ia rancang sedemikian rupa bersama Bara Ariswara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN