05 - Membuat Keputusan 2

1951 Kata
Saat ini, Almira berada dalam mobil Naga. Gadis itu masih bungam sejak pertamuan pertamanya dengan Dami beberapa saat yang lalu. Hingga suara deheman Naga terdengar, membuat atensi Almira beralih pada lelaki itu. “Ada apa?” tanya Almira. Gadis itu sangat peka untuk menangkap sinyal yang Naga berikan. “Kamu serius akan membicarakan soal pertemuan keluarga pada ibumu?” tanya Naga. “Bukankah itu yang kamu mau?” Almira balik bertanya. Naga terkekeh, “Sekarang kamu sedang berusaha membuatku tampak seperti lelaki berengsek?” “Tidak sama sekali, kok. Aku hanya melakukan dan mengatakan apa yang seharusnya. Aku rasa Tante Dami benar. Tidak ada salahnya kan aku juga memilih untuk mencoba?” ucap Almira. “Tapi aku bahkan belum bicara pada ibumu.” “Biar aku saja yang bicara.” “Tidak bisa begitu. Biar bagaimana pun juga aku sebagai pihak laki-laki yang akan melamarmu harus-” “Tidak harus kok. Lagi pula Mama pasti akan merasa lebih bebas saat bicara denganku. Aku tidak mau Mama terlalu syok mengetahui keputusanku ini. Dan juga aku ingin memberi Mama kebebasan untuk berpendapat, tanpa adanya rasa sungkan,” potong Almira. “Ternyata kau cukup cerewet juga, ya? Tapi baiklah. Terserah kamu saja mau bagaimana. Yang jelas, bagaimana pun caranya aku pasti akan menikahimu,” balas Naga yang membuat Almira menghela napas panjang. Memang apa yang Almira harapkan? Lelaki itu berubah menjadi manis dan meminangnya dengan romantis? Jangan harap. Almira pernah mendengar desas-desus tentang Naga. Lelaki itu sangat dingin, cuek dan tak tersentuh. Lelaki itu irit bicara. Ia baru akan mengeluarkan suaranya saat membahas hal-hal penting. Jadi, bagaimana bisa lelaki itu bersikap romantis pada Almira yang bahkan belum lama dikenalnya? “Aku ingin bertanya sesuatu. Tapi, untuk kali ini aku mohon jawab dengan sungguh-sungguh!” pinta Almira. “Katakanlah!” ucap Naga mempersilakan. “Di antara banyaknya perempuan yang ada di sekelilingmu, kenapa kamu memilihku?” tanya Almira, langsung pada intinya. Gadis itu pun bukan tipe orang yang suka berbasa-basi. Ia lebih suka mengungkapkan apa yang memang perlu saja, tanpa banyak menambahi. Naga melirik ke arah Almira. Menatap lekat gadis itu hingga membuatnya risih dan memalingkan wajahnya. “Menurutmu, apa?” “Ck, kan aku sudah bilang, tolong jawab dengan serius! Lagi pula, kalau aku tahu, aku juga tidak akan basa-basi bertanya,” kesal Almira. “Kamu desainer yang cukup terkenal, kamu terdidik untuk menjadi perempuan yang mandiri, bekerja di bidang yang sama denganku, dan apakah kamu tidak merasa kalau kamu cantik?” “Ya?” Almira tersingkap dan sontak menatap Naga dengan tatapan penuh tanyanya. Apa laki-laki itu bilang tadi? Apakah Almira salah dengar? “Memang laki-laki mana yang tidak ingin memperistrimu, selain Bara Ariswara yang bodoh itu?” imbuh Naga yang membuat Almira tercengang. “Kamu baru saja menghina mantan tunanganku di hadapanku,” tegur Almira. “Dia hanyalah masa lalu yang bahkan tidak layak kamu ingat,” balas Naga. “Ck. Kamu hanya belum mengenalnya. Dia tidak sejahat dan semenjengkelkan seperti yang kamu bilang,” ucap Bara. Naga melirik malas gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. “Kamu masih terus saja membela si sampah itu setelah apa yang dia lakukan padamu?” “Aku tidak-” “Cukup, Almira! Aku tidak mau mendebatkan hal yang tidak penting ini denganmu. Tolong fokus saja pada masa depan kita sendiri!” potong Naga, yang justru membuat Almira semakin kesal. Bukankah laki-laki itu duluan yang membawa Bara dalam pembicaraan mereka? Almira mendengus kesal, kemudian memalingkan wajahnya menghadap ke luar jendela. Tiga puluh lima menit kemudian, mereka telah sampai di halaman rumah Almira. Almira menghela napas lega saat melihat keberadaan mobilnya yang tampak baik-baik saja. Sebelum turun, Almira menoleh ke arah Naga satu kali lagi. “Terima kasih atas tumpangan dan ajakan makan malamnya,” ungkap Almira tulus. “Kamu tidak menawariku untuk mampir?” tanya Naga keheranan. Almira merasa tersentil dengan pertanyaan Naga. `Memangnya itu perlu?` Seingat gadis itu, dulu Bara tidak pernah minta mampir setelah mengantarnya. Hanya beberapa kali, itupun karena Ira yang tiba-tiba keluar dan setengah memaksanya untuk masuk. “Apa `mantan tunanganmu` itu belum pernah mampir sebelumnya?” sindir Naga, membuat Almira berdecak. “Jangan membawanya lagi ke dalam masalah kita! Aku hanya... hmm... memangnya kamu tidak capek dan buru-buru pulang? Aku kira kamu-” “Kamu salah. Aku tidak keberatan untuk mampir jika kamu mengizinkannya,” potong Naga. Almira menghela napas panjang. Memang apa yang bisa ia lakukan setelah lelaki itu menyindirnya? Almira tahu, laki-laki itu ingin mampir, tapi gengsi jika belum mendengar Almira sendiri yang memintanya. Sialan! Almira dijebak. “Baiklah. Kalau begitu, ayo masuk dulu! Aku akan membuatkanmu teh mint untuk membantu mengembalikan tenagamu,” tawar Almira dengan mempertahankan keramahannya. “Bercanda. Aku ingin cepat pulang karena masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan malam ini.” Almira melotot tak percaya. Apa kata Naga tadi? Bercanda? Memang bagian mananya yang lucu? “Kenapa kamu belum juga turun? Kamu mau ikut pindah ke rumahku sekalian?” tanya Naga saat melihat Almira yang masih tampak `nyaman` di kursinya. Almira tersentak kemudian segera bersiap untuk turun. Namun, baru saja gadis itu membuka pintu, lengannya sudah lebih dulu dicekal oleh Naga, membuatnya terpaksa harus kembali menoleh pada pemilik mobil yang ia tumpangi ini. “Ada apa lagi? Apa kamu tiba-tiba berubah pikiran dan ingin mampir?” tanya Almira mulai kesal. Naga tersenyum miring. “Apa kamu begitu ingin aku mampir ke rumahmu?” “Tidak. Bukan begitu maksudku. Kamu salah paham. Aku hanya-” “Aku hanya mau mengingatkan, kalau mulai hari ini, aku yang akan mengantar-jemputmu ke butik,” potong Naga. “Apa? Untuk yang satu itu, apa aku tidak boleh menawar? Aku juga punya mobil sendiri. Dan bukankah akan lebih efisien kalau kita berangkat sendiri-sendiri? Butikku dna kantormu tidak satu arah. Belum lagi-” “Tidak ada bantahan. Dan jangan membuatku kerepotan dengan sifat kekanak-kanakanmu yang suka kabur-kaburan itu!” Almira memutar bola matanya malas. “Baik. Terserah kamu saja. Jadi, bolehkah aku meminta tanganku dilepaskan sekarang?” Naga menatap tangannya yang masih mencekal lengan gadis itu, kemudian melepasnya. Setelah itu, Almira pun turun dari mobil dan segera menutup pintunya. Tanpa perlu menunggu Almira masuk, Naga sudah lebih dulu memundurkan mobilnya, bersiap meninggalkan kediaman gadis itu. “Padahal setelah lepas dari Bara, aku kira aku akan mendapat laki-laki yang lebih hangat dan romantis. Tapi ternyata sama saja,” keluh Almira. Gadis itu pun segera melangkahkan kakinya masuk ke rumah. Ia menyapa ibunya yang tengah memasak di dapur sebelum akhirnya menuju ke lantai dua, di mana kamarnya berada. Seperti biasa, hal yang pertama Almira lakukan setelah pulang bekerja adalah mengisi daya telepon selulernya, kemudian mandi. Gadis itu memang terbilang ketat dalam urusan kebersihan. Selesai mandi, Almira segera kembali ke lantai satu untuk membantu Ira yang tengah menyiapkan makan malam. “Ma, aku tadi sudah makan. Tidak apa-apa kan, kalau Mama makan sendiri?” “Oh ya? Tumben?” heran Ira. Biasanya, putrinya itu akan menyempatkan makan malam di rumah. “Iya. Aku lupa bilang tadi,” jawab Almira. Meski tidak makan, Almira tetap duduk di ruang makan untuk menemani ibunya, serta encari waktu yang tepat untuk membicarakan hasil percakapannya dengan Naga dan Dami sore tadi. Dan dengan insting keibuannya yang kuat, Ira pun paham dengan sikap aneh Almira sore ini. Ia menyelesaikan waktu makannya dengan lebih cepat daripada biasanya. “Jadi, kamu mau bicara soal apa?” tanya Ira yang membuat kesadaran Almira pulih kembali. Almira sebenarnya masih ragu. Ia juga belum yakin untuk menjalin hubungan dengan Naga. Apalagi, dari pihak laki-laki itu sepertinya ingin langsung menuju jenjang yang paling serius dalam sebuah hubungan, yaitu pernikahan. Tapi, bukankah mungkin saja, berbicara dengan Ira bisa membantunya membuat keputusan? “Ma, ini Almira baru minta pendapat loh ya, Ma. Mama jangan berpikiran yang macam-macam dulu!” ucap Almira, membuat wanita paruh baya di hadapannya terkekeh. “Sepertinya hal yang snagat penting, ya? Apa berhubungan dengan laki-laki yang mengantarmu tadi?” tanya Ira. Seketika, wajah Almira memerah. Ira pun kembali terkekeh melihat sikap putrinya yang tidak seperti biasa itu. “Kamu sudah mulai membuka hatimu untuk orang lain?” “Bu- bukan begitu, Ma. Hmm... maksudku, mungkin belum. Tapi...” Lidah Almira terasa kelu untuk mengatakannya. Ia khawatir Ira akan berpikiran terlalu jauh, lalu berharap terlalu tinggi, mengingat wanita itu juga sangat ingin Almira segera bangkit dari Bara. “Tapi?” “Mama ingat soal Naga?” tanya Almira. “Pak Naga Mahawira yang katanya ingin memperistri kamu itu? Ah ya, kata orang yang mengantar mobilmu tadi siang, dia adalah suruhan Pak Naga. Jadi, kamu sekarang bersama Pak Naga?” “Bukan, belum seperti itu, Ma. Hanya saja, menurut Mama, apa ini sudah waktunya untuk aku move on dari Bara? Dan soal Naga, menurut Mama dia bagaimana?” Ira menatap sendu putri semata wayangnya itu. Sejak dulu, Ira selalu mengusahakan yang terbaik untuk Almira. Bahkan, ia juga menjodohkan anak gadisnya itu dengan anak dari sahabat baiknya, berharap Almira kelak bisa mendapat suami yang terbaik. Tapi, nyatanya hal itu justru sempat menghancurkan hati anak gadisnya itu. Menyisakan penyesalan besar bagi seorang ibu seperti Ira. “Kamu sudah dewasa. Dan juga, Mama cukup mengenal pola pikir kamu. Kamu bukan orang yang bisa membuat keputusan hanya karena emosi sesaat. Apapun itu, pasti kamu akan mempertimbangkannya dengan matang. Mama akan dukung apapun keputusan kamu,” ucap Ira tegas. Almira menunduk mendengar ucapan Ira yang justru menyerahkan semua keputusan ini padanya. Tapi Almira juga tidak bisa terlalu memaksa ibunya. Mungkin ia harus to the point saja dengan apa yang terjadi hari ini antara dirinya bersama Naga dan Dami. “Tadi, Naga mengajak Rara bertemu dengan ibunya.” “Dia sudah sejauh itu? Lalu apa yang terjadi?” tanya Ira. “Kami bicara cukup banyak. Tapi, yang terus-terusan melintas di benak Rara, sepertinya Tante Dami benar. Rara berhak bahagia kan, Ma?” “Iya, sayang. Anak Mama harus bahagia.” “Tapi, apa menurut Mama, Rara bisa bahagia bersama Naga?” tanya Almira. “Apa ibu Nak Naga setuju dengan kedekatan kalian? Karena biar bagaimana pun juga, restu adalah hal yang tidak bisa disepelekan jika menyangkut soal pernikahan. Apalagi, mereka bukan berasal dari keluarga biasa.” “Tante Dami mendukung hubungan kami,” jawab Almira. “Lalu, bagaimana dengan Nak Naga? Apa dia bersikap baik denganmu? Dan apakah kamu sudah menyelidi tentang kesehariannya?” Almira terdiam. Ia mengingat-ingat kembali, adakah hal buruk yang Naga lakukan padanya selama ini. “Selain soal penculikan di bandara waktu itu, Rara rasa dia normal-normal saja. Dia memang terkadang egois dan menjengkelkan. Tapi masih berada di batas wajar, menurut Rara.” Ira tersenyum hangat. “Mama rasa kamu sudah mulai bisa mempertimbangkan Nak Naga, ya?” “Bisa dibilang begitu. Kalau seandainya Almira mencoba menjalaninya dengan Naga, bagaimana menurut Mama?” tanya Almira lagi. “Selama dia bisa memperlakukanmu dengan baik, maka Mama tidak akan melarang. Apalagi, laki-laki itu juga kan pernah datang dan mengungkapkan keseriusannya. Itu sudah menjadi point plus sendiri dari Mama.” Almira mengangguk setuju. Memang, lelaki jaman sekarang susah untuk diajak bicara soal komitmen. Banyak yang menjalin hubungan hanya untuk main-main dan kesenangan semata. Bahkan, Bara yang sudah lama kenal dengannya pun tidak membawa Almira berakhir ke pelaminan. Lalu, datanglah Naga yang dengan keseriusannya langsung meminang gadis itu, bahkan di depan ibunya. “Usia kamu sudah tidak muda lagi, sayang. Jika memang kamu mau menjalin hubungan dengan seseorang, bukankah sudah waktunya kamu mencari orang yang memiliki visi misi yang sama denganmu? Laki-laki matang yang sudah tidak lagi berniat untuk main-main semata? Mama tidak menargetkan kamu untuk menikah secepatnya. Menikahlah saat kamu sudah benar-benar siap. Tapi, Mama berpesan, jangan membuang waktu dan tenagamu hanya untuk bermain-main di luaran sana!” ucap Ira dengan nada lembut, penuh kasih sayang. Lantas, apakah itu artinya pilihan Almira untuk menerima pinangan Naga adalah pilihan yang tepat?  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN