6. Old Friend

1123 Kata
"Lama banget sih angkotnya," keluh Prisa saat ia sudah menunggu cukup lama, bahkan ia sudah membiarkan Hana terlebih dahulu pulang dengan ojol pesanannya karena ia tidah enak Hana menemaninya menunggu cukup lama. Ya walaupun Hana tidak masalah sama sekali, dia malah keasikan karena bisa mengobrol dengan Prisa lebih lama. "Masih belum pulang??" Prisa kaget bukan main karena lagi-lagi ada Deni yang muncul, pria itu menyapanya dari dalam mobil yang ia kendarai, "Pak Deni? Saya pikir bapak udah pulang dari tadi." Pria berkulit cerah itu tertawa, "kamu sendiri masih disini." "Iya pak, soalnya angkotnya masih belum datang. Biasanya rame, sekarang malah nggak ada yang lewat." jawab Prisa masih melihat ke sekitar. "Udah saya bilang, yuk bareng saya aja. Bahkan Hana sudah pulang duluan, kamu sendirian." Prisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena bingung, "eum...," "Mau nolak lagi? Kenapa sih Pris? Emang ada yang salah ya sama saya? Kok kamu kelihatannya ogah banget diantar saya. Tenang aja, mobil saya bersih kok, saya juga ga bakal gigit kamu." Deni sudah bisa menebak kalau Prisa pasti lagi-lagi menolak tawarannya. Memang sudah tak bisa dihitung lagi berapa kali ajakan Deni ditolak oleh Prisa, gadis itu selalu punya cara untuk menolak. Prisa tersenyum kecil karena malu, sebenarnya ia juga sudah tidak punya cara lagi untuk menolak ajakan Deni, "saya takut banget ngerepotin pak." "Ya ampun Prisa, sudah berapa kali saya coba ngajak kamu? Udah seniat itu loh, dan kamu masih berpikir kalau itu akan merepotkan? Saya dengan senang hati loh, jujur saja saya sedih setiap kamu menolak tawaran saya." "Eh, kok gitu sih pak?" "Jadi kamu masih tidak mau saya antar?" Prisa menggigit sekilas bibir bawahnya bingung hingga akhirnya memilih untuk menerima tawaran Deni, "hm.., yaudah deh pak, tapi beneran nggak merepotkan kan pak?" "Kalau kamu nanya lagi saya beneran marah loh Prisa." Deni mengingatkan karena sudah mulai bosan dengan Prisa yang sangat berbasa-basi. "Eh, oke pak, baik baiik," dengan cepat Prisa bergerak membuka pintu mobil Deni dan duduk di kursi sebelah Deni yang duduk di bangku kemudi. "Akhirnya ya kamu mau juga pulang dengan saya, saya senang sekali." Deni tersenyum lebar sambil kini mulai melajukan mobilnya di jalanan. "Makasih ya pak, udah mau numpangin saya. Saya heran, padahal biasanya angkotnya banyak, lagi pada demo apa ya?" "Kalau kamu mau sih saya mau banget anter kamu tiap hari, pulang pergi malahan boleh banget." Prisa tertawa, "jangan dong pak, nanti malah kesannya jadi abang driver ojol, mana nggak dibayar pula." "Nggak papa lah kalau pelanggan nya kamu." "Bisa aja si bapak, kan jadi enak," Prisa inisiatif bercanda agar perjalanan mereka tidak kaku. "Iya dong enak. Eh ngomong-ngomong masalah kita di gudang, kamu nggak papa kan Pris?" "Masalah di gudang?" tanya Prisa bertanya lagi walaupun sebenarnya ia sudah paham sekali apa yang dimaksud Deni. "Iya, kan tadi Lia jelas-jelas ngomong yang nggak enak sama kamu." "Ouh itu, nggak papa kok pak, udah biasa sih Bu Lia begitu." "Dia masih suka aneh-aneh ya sama kamu? Maaf banget ya Pris, saya tahu dia begitu juga karena saya, saya merasa bersalah sama kamu, padahal kamu nggak tahu apa-apa tapi harus nerima sikap buruk Lia." Dengan cepat Prisa menggeleng, "ah bukan begitu kok pak, Bu Lia nggak aneh-aneh kok ke saya, ya kadang aja kalau dia lagi kambuh anehnya. Saya sudah biasa kok, bapak nggak perlu ngerasa bersalah atau mikirin apapun." Deni hanya bisa menghela napas pendek lalu menoleh melihat Prisa, "Pris, kalau dalam keadaan begini kayaknya kita nggak usah ngomong kayak di kantor deh." "Eh maksudnya pak?" "Ya itu, jangan panggil bapak. Toh kita sudah kenal sejak sebelum ini, panggil 'kakak' kayak kita biasa dulu aja." Prisa agak kaget tapi langsung tertawa melihat Deni, "enggak ah pak, udah biasa juga manggil bapak. Kalau manggil kakak berasa kita masih SMA." "Ya apa salahnya? Kan awalnya kita memang kenal sebagai senior junior di sekolah." "Nah itu masalahnya, inget banget kalau Pak Deni itu jadi senior nyebelin banget, suka jailin dan gangguin junior, apalagi junior imut dan polos seperti saya." Deni terbahak karena mendadak memori jaman sekolahnya kembali teringat, "kamu masih dendam ya Pris?" "Siapa yang nggak dendam disuruh nyanyi di depan satu angkatan plus panitia ospek dengan suara saya yang sangat jelek dan cempreng. Udah dibilang ga bisa nyanyi malah dipaksa." Prisa bercerita dengan rasa kesal yang menggebu-gebu. "Ya salah kamu sendiri kenapa mau?" "Kan diancem kalau saya ga nyanyi, satu angkatan ga bakal lolos ospek. Siapa yang ga bakal tertekan coba?" Deni tidak bisa menahan diri untuk tidak terbahak, mengingat Prisa yang benar-benar buta nada untuk menyanyi di depan banyak orang sungguh lucu, "bahkan mengingatnya saja kakak ikutan malu, padahal kamu yang nyanyi." Prisa melirik Deni kesal dan geleng kepala, "puas banget ya? Aku dipanggil diva SMA selama satu semester penuh, aku ingetin kalau Kak Deni lupa." Tentu saja itu membuat Deni semakin terbahak sampai memegangi perutnya yang sakit, "duh Pris, sumpah kamu kasihan banget." "Masih nanya kenapa aku masih dendam sampai detik ini?" "Iya iya maaf, tapi kan kamu jadi terkenal satu sekolahan. Siapa coba yang ga kenal Prisa si diva angkatan anak sepuluh B?" Deni masih tak henti-hentinya tertawa. "Makasih banget loh, tapi kalau boleh jujur serius itu nggak penting banget." "Dasar Prisa, bener-bener deh kamu lucu banget. Kakak kangen banget kita cerita-cerita bagini, tapi sayang banget sekarang kita udah kayak orang yang nggak akrab." Prisa menarik kecil sudut bibirnya, "ya karena sekarang posisi kita udah beda kak." tanpa sadar Prisa sudah mengikuti permintaan Deni untuk bisa berinteraksi dengan lebih santai, tidak formal seperti sebelumnya. "Terutama tentang Lia ya?" Prisa menghela napas lelah diam-diam, "ya aku ngerasa memang situasinya beda aja. Kak Deni tahu sendiri posisiku di kantor, sedangkan kakak kan posisinya lumayan bagus. Aku juga sebelum kakak masuk kantor malah berawal dari office girl yang beruntung aja bisa jadi karyawan. Aku hanya berlaku sesuai posisi aja." "Pris, kamu nggak boleh ngomong begitu." Prisa langsung tertawa, "loh kok nggak boleh? Kan memang begitu. Kalau boleh tahu Bu Lia masih deketin kakak?" "Entahlah, kakak nggak begitu peduli. Kakak cuma berusaha ngehindar aja." "Hm, aku jadi kasian sama Bu Lia." "Kenapa kasihan? Posisinya kan sama aja dengan kakak ke kamu." Prisa terdiam sambil mengangkat alisnya coba memahami maksud Deni, namun setelah sadar ia lebih memilih diam. Disaat itu terdengar suara dering ponsel yang berasal dari tas milik Prisa, "bentar ya kak, ada telfon." Deni mengangguk dan memfokuskan dirinya pada jalanan, namun perhatiannya langsung kembali pada Prisa yang terdengar terkejut bicara di telfon. "Ada apa Pris??" tanya Deni setelah Prisa mematikan telfon, wajah gadis itu juga tampak panik. "Mamaku, kak." "Kenapa?" "Mamaku drop lagi, mama dibawa ke rumah sakit sekarang." Deni ikut kaget, "rumah sakit? Kita langsung kesana sekarang?" "Aku minta tolong ya kak, ga papa kan?" "Tentu, kita langsung aja ya." "Makasih banyak kak." "Jadi, rumah sakit mana?" ****************************************** yuk bisa yuk update everyday nyaaa!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN