5. Jealous

1453 Kata
"Udah selesai Pris?" tanya Hana pada Prisa yang kini kembali datang dan ikut duduk disamping Hana yang masih bergelut dengan tumpukan berkas di lantai. Prisa mengangguk sambil menghela napas panjang, "akhirnya selesai juga, capek gila. Kakiku rasanya pegal sekali." "Yaiyalah, banyak banget dan jarak gudang juga lumayan dari sini. Memang gila tuh Bu Lia." "Ada yang lebih gila lagi, tahu nggak?" "Apaan?" "Tadi Bu Lia ngedapatin aku dan Pak Deni lagi berdua di gudang." Hana langsung membelalak menatap Prisa tak percaya, "hah!? Ngamuk nggak tuh?" "Tahu deh, tapi jelas-jelas dia nggak suka dan marah." "Lagian kamu juga ngapain berduaan sama Pak Deni di gudang??" "Orang nggak sengaja, kebetulan Pak Deni lagi nyari sesuatu, ya mau ga mau aku bantuin dong, toh dianya sendiri yang minta tolong, lagian juga biasanya itu kerjaanku. Eh pas udah selesai dan waktu basa-basi terima kasih gitu datang lah si Bu Lia ini," Prisa mengecilkan suaranya berbicara pada Hana sambil melihat ke sekitar, takutnya yang sedang dibicarakan ada disekitar mereka. "Terus gimana?? Bu Lia ngomong apa?" Hana luar biasa penasaran. "Ya ngomel yang nyudutin aku gitu, katanya aku sengaja lama-lama dan ambil kesempatan buat ketemu sama Pak Deni." "Terus kamu diem aja?" "Pak Deni sih yang jawab, ngasih tahu kenyataannya aja. Tapi yang bikin agak merinding sih Bu Lia ngingetin aku buat kerja baik-baik disini. Duh Han, padahal aku nggak niat nyari masalah sama sekali loh. Emang sial." Prisa bercerita sambil kini mulai bergerak untuk membantu Hana menyelesaikan pekerjaan. "Eh udah Pris, biar aku aja, lagian juga ini nggak harus selesai hari ini." Hana dengan cepat melarang sambil melihat jam dinding yang menunjukkan kalau sebentar lagi akan memasuki jam pulang kantor. "Kalau kata aku sih pasti Bu Lia cemburu." Hana lanjut bicara. Prisa memutar bola matanya malas, "tahu deh ah. Harus banget memangnya aku ngehindarin Pak Deni? Lagian interaksiku sama Pak Deni selama ini tidak berlebihan bukan? Aku hanya meladeninya seperlunya saja. Kalau aku terlalu menghindar apakah itu malah menjadi aneh?" Hana mengangguk, "nggak ada yang salah di kamu kok, malah kamu udah jaga jarak wajar. Emang si nenek lampir aja yang berlebihan. Iri dengki mah emang susah ngadepinnya." Prisa hanya bisa diam dengan pikirannya yang kini sebenarnya tidak tenang. "Kalau kamu jadian sama Pak Deni kayaknya Bu Lia bakalan stres banget tuh. Jadian aja, biar tahu rasa tuh dia." Hana menyarankan dengan semangat. "Lebih ke nyari mati sih namanya." * "Hari ini kamu pulangnya gimana?" Tanya Prisa pada Hana saat mereka sudah berjalan hendak keluar kantor untuk pulang. "Nggak tahu nih, adikku sejak tadi nggak jawab chat, di telfon juga nggak ngangkat." "Lagi di kampus mungkin." "Entahlah, mungkin juga lagi main. Aku pesan ojol aja deh kayaknya." "Hai, kalian mau pulang bareng nggak?" Tiba-tiba ada seseorang yang ikut nimbrung bersama mereka. "Ouh, hai Pak Deni," menyadari itu Hana langsung menyapa, sedangkan Prisa masih kaget. "Gimana? Mau nggak? Kita juga bisa makan dulu kalau kalian mau, ada gerai tempat makan yang baru buka tuh ga jauh dari kantor, saya traktir deh." ajak Pak Deni dengan sangat santai dan semangat. Hana langsung melirik Prisa dan diam-diam mengode, "eh saya sebenarnya mau banget sih pak, tapi saya harus pulang cepat. Prisa aja pak, tadi sih katanya lagi laper." Mendengar jawaban Hana tentu saja Prisa langsung menoleh kaget pada Hana, "hah? Kapan aku ngomong!?" "Udah lah Pris, nggak usah malu, lagian juga sama Pak Deni kok." Hana semakin menjadi yang membuat Prisa kesal bukan main. "Bener Pris? Yaudah ayo aja, lagian kan tadi saya udah bilang mau traktir kamu karena udah bantu saya." Pak Deni tampaknya senang sekali dan sangat ingin mengajak Prisa. "Duh pak, kan udah saya bilang kalau itu emang tugas saya. Bener pak, nggak papa kok, nggak usah repot." Prisa bersikeras menolak. "Udah nggak terhitung deh kayaknya kamu nolak ajakan saya." Pak Deni bicara dengan nada sedih yang tentu membuat Prisa tidak enak. "Eum.., bukan gitu pak," "Sok jual mahal banget, padahal mah..." suara lain kini sudah ikut ada berbarengan dengan sesosok wanita yang juga ikut nimbrung diantara mereka berjalan bersama. "Bu Lia??" Hana kaget luar biasa sampai ternganga karena tidak menyangka bagaimana bisa manusia itu dengan santainya ikut bergabung bersama mereka. Jangan tanya lagi tentang Prisa, tentu dia juga lebih kaget sekaligus panik. "Ngapain kamu disini?" Pak Deni tentu orang yang paling berani untuk angkat bicara terlebih dahulu perihal kehadiran Bu Lia. "Suka-suka saya dong, apa ada larangan? Mereka berdua adalah bawahan saya, kami tentu sangat boleh berjalan dan mengobrol bersama." Bu Lia bicara tanpa rasa sungkan sama sekali. Pak Deni memutar bola matanya malas, "tumben sekali." "Yaudah Pris, kalau kamu tidak bisa nggak papa. Saya duluan ya kalau gitu," Pak Deni akhirnya lebih memutuskan untuk pergi terlebih dahulu. Dia pergi dengan langkah besarnya dan cepat. "Prisa, kamu kalau emang nggak suka sama Pak Deni mending jangan berlagak kasih harapan dan centil." "Hah??" Prisa terperangah dengan apa yang baru saja diucapkan Bu Lia padanya. "Jangan belagu banget, kamu harus ingat posisi kamu." "Maaf sebelumnya bu, kayaknya ibu kurang pantas deh ngomong begitu ke orang lain, termasuk Prisa." Hana yang sebenarnya sudah kesal sejak tadi mendadak angkat bicara. "Kenapa? Saya hanya sedang memperingatkan." "Tapi itu terkesan lebih pada ujaran kebencian dan merendahkan deh bu." "Hana, kamu ngapain sih?" Prisa menyadari aura antara Hana dan Bu Lia sudah tidak baik langsung coba menahan Hana agar keadaan tidak jadi memburuk. "Ouh, kamu tidak terima dengan ucapan saya?" Hana melepaskan tangan Prisa yang coba menyuruhnya untuk menahan diri, "maaf ya bu sebelumnya, saya sadar kok kalau ibu atasan saya dan tentu saya sangat hormat pada ibu. Tapi tentu saya juga berhak bicara jika merasa ada sesuatu yang salah, terlebih ini konteksnya sudah di luar pekerjaan." Prisa sudah panik luar biasa, bahkan mereka yang tadinya berjalan kini sudah berhenti untuk bicara. Prisa merasa kalau Hana baru saja membangunkan singa yang sedang tidur, dan ini sangat tidak boleh. "Han.., please...," Prisa masih berusaha menyadarkan Hana, terlebih keributan ini berasal dari dirinya. Bu Lia tertawa miring, "saya bicara seperti ini karena kamu selaku teman tidak bisa mengingatkan temanmu. Anggap saja saya bicara selaku orang biasa yang tidak tahan melihat sikap temanmu." Hana sudah mengepalkan tangannya kuat, kalau saja Prisa tidak terus berusaha menenangkannya mungkin dia sudah meledak dan mengeluarkan berbagai kata-kata buruk dan kalau boleh menjambak atasannya itu. "Eum, maaf bu." Prisa inisiatif minta maaf karena tidak ingin ini menjadi berlarut-larut. "Ada apa ini? Kenapa tegang sekali?" Prisa, Hana dan Bu Lia langsung menoleh ke arah asal suara yang cukup asing namun mereka pasti kenal. "Pak Dehan!?" Dan itu memang adalah Dehan yang tadinya hendak lewat namun memutuskan untuk berhenti dan menyapa. Pria itu menyadari ada sesuatu yang aneh dari para tiga karyawan wanita ini. Biasanya setiap ia lewat semua karyawan akan menyapa setidaknya dengan senyum kecil, namun tidak dengan mereka bertiga yang seperti mengobrol namun tidak santai sampai tidak sadar dengan kehadirannya. Itu membuatnya penasaran dan memutuskan untuk menyapa terlebih dahulu. Dehan memang dikenal sangat ramah dan kadang tanpa segan menyapa para karyawan, siapapun itu bahkan untuk diajak mengobrol ringan. Dia memang terkenal se humble itu. Pria itu tersenyum lalu terkejut melihat salah satu wajah diantara mereka, "Prisa? Wah, akhirnya kita bisa bertemu juga." Prisa tentu juga kaget, ia pikir Dehan tidak mengingat dirinya, "selamat sore pak." Dehan mengangguk, "ada apa ini? Kalian tampak tegang sekali. Apa kalian bertengkar?" "Enggak kok Pak Dehan, kita hanya mengobrol biasa saja." Bu Lia menjawab terlebih dahulu dengan wajahnya yang sudah menunjukkan senyuman lebar. "Oh begitu. Ya sudah, kalian semua hati-hati pulangnya, terima kasih sudah bekerja dengan baik hari ini." Mereka semua tentu langsung mengangguk dan tersenyum membalas ucapan Pak Dehan yang terasa sangat sejuk, terlebih dengan senyumannya itu, "iya pak, sama-sama." "Kalau begitu saya duluan ya." "Baik pak." Mereka bertiga masih diam memperhatikan Pak Dehan yang sudah beranjak pergi dan menjauh dari mereka. "Ish, benar-benar wanita yang suka mencari perhatian para pria." tiba-tiba saja Bu Lia kembali bicara dengan tatapan sinis lalu pergi begitu saja. Prisa hanya bisa terkejut dan diam saja walaupun tentu ia merasa sangat tidak terima dengan ucapan Bu Lia. "Aish! Gua timpuk granat juga ya lu nenek lampir!" Hana yang kesal bukan main sudah greget sekali dengan wanita yang telah pergi itu. "Udah Han, sabar. Nggak ada gunanya kita ladenin." "Tapi Pris, mulutnya itu bener-bener minta disumpel cabe sama ulekannya sekalian tahu nggak!? Kamu pasti sakit hati banget kan? Aku aja yang denger kesel sampai ubun-ubun." Prisa menghela napas lelah, "udahlah, ga usah dipikirin. Kamu sendiri yang bilang kan kalau dia hanya iri?" "Iya sih tapi, eh BTW KENAPA TADI PAK DEHAN KENAL KAMU!?" Hana nyaris berteriak karena tak bisa percaya tadi Pak Dehan bisa mengenali Prisa. Prisa sampai agak memberi jarak karena suara Hana yang mendadak besar, "ah itu, nanti deh aku ceritain. Kita jalan dulu, orang-orang sejak tadi udah merhatiin kita."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN