13. Scream

1733 Kata
"Makasih ya Om, udah nyempetin datang lihat mama," ujar Prisa mengantarkan seorang pria berusia sekitar empat puluhan keluar kamar inap mamanya. Pria itu mengangguk, "kamu kenapa nggak kasih tahu kalau mama kamu udah seminggu di rawat di rumah sakit begini?" "Maaf banget ya om, aku sampai lupa soalnya sibuk ngurus ini itu dan aku juga harus tetap kerja. Nania juga lagi sibuk-sibuknya di sekolah buat ujian dan segala macam." "Walaupun begitu harusnya kamu tetap sempetin ngabarin. Memangnya kalau ada apa-apa gimana? Memang kalian bisa? Jangan sampai udah kesusahan banget baru ingat buat minta bantuan ke yang lain. Walaupun papa kamu udah meninggal, kita ini tetap keluarga." Prisa menarik sudut bibirnya dengan sedikit dipaksa, "maaf om." "Kamu masih kerja di tempat yang lama?" Prisa mengangguk, "masih om." "Gajinya cukup?" "Cukup kok om." "Dengan kondisi mama kamu yang sakit seperti sekarang dan Nania yang katanya mau lanjut kuliah? Kalau memang nggak bisa, lebih baik Nania nggak usah paksain kuliah dulu." Prisa langsung menoleh ke belakang memastikan kalau Nania tidak mendengarkan ucapan om nya ini, "aku yakin segala sesuatu ada rezekinya om, termasuk untuk kuliah Nania." "Kuliah itu biayanya nggak sedikit, walaupun mungkin dia berusaha dapatin beasiswa, tetap saja. Kalau nggak bisa sekarang kan bisa tahun selanjutnya, itupun kalau mau. Tapi om pikir tidak perlu, om lihat-lihat kamu terlalu memanjakan Nania dengan menuruti semua keinginannya yang kadang seperti tidak paham posisinya seperti apa. Kamu harus coba menyadarkan adikmu itu." Diam-diam Prisa menarik napas dalam karena setiap bicara dengan pihak keluarga mendiang papanya, terutama Om Fajar yang merupakan adik papanya yang kini berdiri di depannya, ia selalu merasa dianggap remeh dan memancing emosi. "Makasih untuk sarannya om, tapi kalau boleh aku membenarkan, aku tidak pernah terlalu memanjakan Nania bahkan jika aku sangat ingin melakukannya aku tidak bisa melakukannya. Nania adalah orang yang paling sadar bagaimana keadaan keluarganya." Om Fajar hanya mendecak malas, "kalian memang susah sekali untuk dinasehati. Ini ada sedikit, om tahu kalian butuh." pria itu mengeluarkan sebuah amplop dan memberikannya ke tangan Prisa. Namun dengan cepat Prisa menjauhkan tangannya dan sedikit mundur, "eum, nggak usah om. Kita nggak kekurangan sama sekali kok." "Udahlah, jangan basa-basi, lagian ini juga bukan dari om saja, tapi titipan saudara papa kamu yang lain. Akan lebih susah mengembalikannya pada mereka jika kamu tidak mau terima. Kalaupun kamu nggak butuh, tapi mama dan adik kamu pasti butuh." Prisa hanya terdiam dan amplop itu sudah diberikan secara paksa oleh Om Fajar ke tangannya. "Disaat seperti ini akan lebih baik untuk kamu selaku anak tertua untuk tidak berlagak malu. Kamu harus realistis saja. Om pulang sekarang." Prisa masih diam di tempat memperhatikan Om Fajar yang sudah memunggunginya dan berjalan menjauh. Gadis itu melihat amplop yang ada di tangannya dengan tatapan nanar. "Mbak Pris..., udah pulang si om nyebelin??" tiba-tiba Nania keluar menghampiri sang kakak. Prisa yang sempat melamun langsung mengangkat kepalanya melihat sang adik, namun ia tak bicara apapun. Nania mengangkat alisnya bingung dan menyadari amplop yang kini ada di tangan kakaknya itu, ia langsung bergerak mengambil amplop tersebut. "Apa nih mbak? Dari Om Fajar?" tanya Nania sambil mengintip isi amplop. Prisa mengangguk, namun anggukannya itu malah membuat wajah Nania langsung berubah kesal. "Ngomong apa dulu ke mbak sebelum dia kasih ini? Dia kan kebiasaan banget nyakitin orang dulu sama omongannya sebelum ngebantu. Aku balikin aja ya mbak, nggak perlu kita nerima bantuan tu orang." "Nania jangan...," Prisa dengan cepat menahan tangan Nania yang sudah akan bergerak mengejar Om Fajar. "Kenapa?" "Nggak baik begitu. Dia udah ngasih ke kita secara baik-baik dan ikhlas." "Tapi kan.., serius dia ngasihnya baik-baik? Dia nggak ngomong yang aneh-aneh kan ke mbak?" Prisa menggeleng sembari tersenyum lebar, "nggak kok, lagian itu juga bukan dari Om Fajar sendiri, juga dari saudara papa yang lain. Nggak baik kita nolak bantuan orang yang niatnya baik ke kita. Lagian mereka memang keluarga kita." Nania diam sejenak sambil melihat amplop yang masih di tangannya, "hm, yaudah deh. Nih mbak pegang lagi." walaupun masih ragu Nania mengembalikan amplop berisi uang itu ke Prisa. Prisa kembali menunjukkan senyum dan masuk ke dalam kamar inap. "Apa iya? Aneh banget sih kalau Om Fajar nggak ngajak ribut," Nania bicara sendiri sebelum ikut masuk menyusul sang kakak. "Udah pulang Om Fajarnya?" tanya mama saat melihat Prisa kembali masuk disusul Nania di belakangnya. Prisa mengangguk, "udah." "Om Fajar ngasih Mbak Prisa uang," Nania memberi tahu mamanya. "Bener?" Prisa mengangguk dan menunjukkan amplop yang ia pegang pada mamanya, "ini katanya dari saudara-saudara papa." Mama tersenyum, "pegang aja, mereka memang sayang sama kalian makanya ngasih." "Sayang? Tapi kok ngomongnya suka nyakitin kita?" celetuk Nania sambil duduk di sudut ranjang mamanya dengan wajah malas. "Nania, jangan gitu ngomongnya." mama memperingati. "Kan emang? Tadi aja si Om Fajar duduk bentar doang disini udah ngomong yang aneh-aneh. Aku tahu kok mama tadi juga nggak nyaman kan? Bahkan sejak papa masih ada kan mereka emang begitu." "Jangan sok tahu gitu ngomongnya." "Lah kan emang iya? Walaupun waktu papa meninggal aku masih SD tapi aku inget loh semuanya." Mama hanya bisa menghela napas pendek, sedangkan Prisa hanya diam saja. "Oh iya ma, yang ujian try out waktu itu hasilnya udah keluar loh." Nania tiba-tiba bicara dengan semangat. "Benarkah? Terus gimana hasilnya?" tanya mama tentu ikut antusias melihat ekspresi si bungsu. "Coba deh mama tebak dalam satu angkatan nilai aku ranking berapa." "Hmm, terakhir kali kalau satu angkatan kamu dapat ranking delapan kan??" Nania mengangguk, "kalau sekarang??" "Kalau dilihat dari ekspresinya sih kayaknya naik nih, ranking enam ya??" tebak mama senang. "Salah! Aku dapat ranking tiga dong!" "Ranking tiga dari dua ratus lima puluh delapan siswa??" mama menunjukkan wajah kaget sekaligus takjub dengan kabar yang dibawakan oleh anaknya itu. "Mama seneng kan?" "Ya seneng lah, siapa coba yang nggak seneng? Ya kan Pris??" jawab mama lalu bertanya pada Prisa yang sejak tadi hanya berdiri diam mendengar. Prisa ikut tersenyum, "adiknya mbak emang pinter banget." "Iya, kata guruku aku bakal punya kesempatan lebih besar buat keterima di universitas yang aku mau melalui jalur prestasi." Nania menjelaskan penuh semangat dan wajahnya jelas-jelas menunjukkan kebahagiaan. "Ngomong-ngomong Gama gimana?" tanya mama tiba-tiba. "Ih, kok malah nanya Gama?" "Ya ga papa dong, kan dia udah pernah jengukin mama, wajar mama juga pengen tahu." Nania memutar bola matanya sekilas, "Gama ranking dua." "Wuah!? Pinter banget dong Gama? Nggak nyangka loh mama, padahal wajahnya kelihatan kayak anak yang santai banget, ternyata hebat anaknya." "Ya gitu deh." *** "Pris, bukan yang ini, tapi yang satu lagi." Hana memberi tahu Prisa yang tengah memberikan sebuah tumpukan laporan padanya. "Eh? Astaga, maaf ya Han, bentar aku ambil lagi." Prisa yang tampaknya melamun kaget menyadari kesalahan yang ia lakukan, dengan cepat ia berbalik meninggalkan Hana yang sibuk menandai berbagai kertas yang ada di depannya. "Prisa kenapa sih dari tadi kayak yang nggak fokus banget," Hana bicara sendiri sambil geleng kepala melihat Prisa yang pergi dengan terburu-buru. Di tengah Hana yang kembali sibuk, ia dikejutkan oleh kehadiran seseorang mendekatinya. "Hana, dimana Prisa?" Hana agak terkejut karena Bu Lia datang dan bicara dengan tiba-tiba, "Prisa lagi ke ruangan Pak Bambang, bu. Memangnya kenapa bu? Ada yang harus dilakukan? Ouh, itu Prisa udah kembali bu," Hana memberi tahu karena Prisa sudah datang kembali. Prisa yang menyadari kalau sepertinya dirinya sedang dicari langsung bicara, "ibu nyari saya??" "Prisa! Tadi saya udah bilang kan buat kasih laporan yang ada di meja saya ke Pak Reza!?" Bu Lia langsung bicara dengan nada marah pada Prisa. Prisa terkejut menyadari kalau ia baru saja membuat kesalahan, "oh maaf bu, saya minta maaf. Tadinya saya sudah mau kasih ke Pak Reza, tapi Pak Reza nya sedang tidak ada dan saya kembalikan lagi ke meja ibu. Saya minta maaf karena saya lupa untuk kembali memberikannya pada Pak Reza." "Kamu itu benar-benar ya!" "Sebentar bu, saya akan kasih ke Pak Reza sekarang." Prisa sudah bergerak hendak berlari lagi untuk pergi. "Tidak perlu! Laporannya sudah saya berikan sendiri pada Pak Reza." "Saya benar-benar minta maaf bu." Prisa merasa begitu bersalah, ia meminta maaf sambil menunduk. "Kamu itu kalau kerja yang benar dong. Harusnya kamu bersyukur udah bisa bekerja di posisi ini. Kamu lupa kalau kamu itu awalnya cuma office girl! Kamu jangan keenakan, harusnya kamu sadar!" Prisa hanya bisa terdiam tak bisa menjawab ucapan Bu Lia, bahkan beberapa orang lain mulai memperhatikan mereka karena suara Bu Lia yang cukup keras. "Bu, saya pikir Prisa benar-benar tidak sengaja. Hari ini dia mengerjakan banyak hal." Hana inisiatif coba membela Prisa dengan menjelaskan keadaan sebenarnya pada Bu Lia. "Diam ya kamu Hana, saya sedang tidak bicara dengan kamu." Bu Lia tidak menerima penjelasan sama sekali. "Kalau kamu masih ingin bekerja disini harusnya kamu lebih perhatikan kinerja dan sikap kamu Prisa." Bu Lia mengakhiri ucapannya dan pergi begitu saja. Hana dengan cepat mendekati Prisa setelah Bu Lia pergi karena ia khawatir dengan keadaan sahabatnya itu. "Pris, kamu nggak papa kan?" Prisa sedikit menghindar saat Hana hendak bergerak ingin merangkulnya, "aku baik-baik aja kok, udah biasa." "Pris, ini udah mau jam makan siang, kita ke kantin yuk istirahat." ajak Hana lagi ingin menghibur. "Kamu duluan aja, aku ke toilet bentar." Prisa langsung bergerak dengan sangat cepat keluar meninggalkan Hana yang memutuskan untuk membiarkan. "Pris, aku nunggu di kantin ya, jangan lama-lama." Hana coba mengingatkan lagi. * Bukannya pergi ke toilet seperti yang ia katakan pada Hana, nyatanya Prisa kini malah pergi ke basement yang merupakan tempat parkir beberapa karyawan dan suasananya cukup sepi. Ia terduduk di salah satu sudut sambil kini tak bisa lagi menahan tangisnya, hatinya sakit sekali saat ini dan tak bisa lagi untuk terus menyembunyikannya semua emosinya. Satu-satunya hal yang saat ingin ia teriakkan ke seluruh dunia adalah kalau ia sangat lelah, tapi apa boleh buat, ia seolah dihukum untuk tidak boleh menyampaikan hal tersebut. Isakan terus keluar dari Prisa yang menunduk dibarengi dengan air mata yang mengalir deras, ia hanya ingin melepaskannya sejenak dan semoga setelah ini ia bisa berlagak kuat dan tidak terjadi apa-apa lagi. "Hei?" Disaat itu tiba-tiba Prisa yang menunduk merasakan seseorang menyentuh pundaknya dengan sangat lembut. Prisa yang masih menangis sesegukan mengangkat kepalanya dan kaget melihat siapa yang kini ada di hadapannya tengah berjongkok memperhatikannya. "Prisa? Apa yang kamu lakukan disini sendirian dan menangis?" tanya pria itu ikut kaget mendapati seseorang yang tengah menangis ini adalah Prisa. Prisa coba menenangkan dirinya dengan menarik napas dalam dan menghapus air matanya, namun mendadak kepalanya menjadi terasa sangat sakit dan pandangannya buram. Bahkan kini badannya terasa ringan dan tak bisa menahan diri lagi untuk tetap sadar, ia jatuh pingsan. "Prisa!?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN