12. Friend

1287 Kata
"Mbak, mbak nggak ke shelter hari ini?" tanya Nania pada kakaknya yang baru saja masuk setelah menanyakan sesuatu ke salah satu perawat di luar kamar. Prisa menggeleng, "enggak, mbak udah ijin buat hari ini. Kamu sendiri nggak pergi ke tempat bimbel hari ini?" Nania juga membalas dengan gelengan, "enggak, aku mau disini aja hari ini." "Yaudah deh, padahal tadinya mbak sengaja nggak ke shelter karena mbak pikir nggak ada yang jagain mama karena kamu pergi bimbel. Tapi yaudah deh, kapan lagi kita sama-sama begini." "Nggak papa kan mbak?" Prisa mengangkat alisnya melihat sang adik, "nggak papa untuk apa?" "Karena aku nggak pergi bimbel." "Ya terserah kamu dong, ngapain mbak mesti permasalahin?" "Soalnya kan uang bimbel dari mbak, akunya malah malas-malasan." Prisa langsung tertawa, "astaga Naniaaaa, ngapain juga sih kamu ngomong begitu? Kamu juga perlu buat nyantai, kamu itu terlalu rajin dan ambis kalau kata mbak. Tapi sebenarnya kamu juga nggak bisa begitu santai sih karena keadaan nggak begitu mendukung, mbak minta maaf ya." "Mbak kenapa sih dikit-dikit minta maaf? Toh sering mbak nggak salah tapi tetep aja minta maaf." Prisa menarik sudut bibirnya sambil duduk santai disamping sang adik sembari melihat mamanya yang tidur sekilas, "minta maaf nggak melulu berarti kita melakukan kesalahan. Kadang minta maaf juga membuat suasana terasa menjadi lebih baik." Nania menghela napas pendek, "kalau kata aku sih kadang minta maaf cuma ucapan disaat seseorang nggak tahu mau bicara apa lagi dan berusaha bersembunyi dari sesuatu." Prisa tersenyum kecil, "kamu harus lebih belajar buat bilang tolong, maaf dan terima kasih. Kamu udah dewasa, tiga kata itu akan sangat berguna." Nania tidak menjawab, dia hanya mengalihkan pandangannya ke arah jendela untuk melihat keluar. "Kalau mbak sama mama sih udah biasa dan paham aja sama kamu, tapi kamu akan bertemu orang lain secara lebih luas yang nggak melulu bisa menangkap setiap maksud kamu dengan baik. Juteknya agak dikurangin juga ya cantiik," Prisa menambahkan nasehat sambil mencubit pipi adiknya itu dengan gemas. "Iya iya," jawab Nania pendek khas dengan wajah malasnya. "Temen kamu?" tanya Prisa menyikut Nania yang duduk disampingnya setelah beberapa saat mereka diam karena sibuk masing-masing. Nania yang tadinya sedang membaca sebuah buku mengangkat kepalanya dan ikut menoleh ke arah yang kakaknya maksud. Mata gadis berambut pendek sebahu itu langsung membelalak, "Gama!? Ngapain kesini??" Laki-laki yang tampaknya memang teman Nania itu menunjukkan senyum lebar, "hai, hai juga mbak, ouh, selamat siang tante," ia juga menyapa mama dari Prisa dan Nania yang baru saja terbangun dari tidurnya. "Hai, ayo duduk sini, temennya Nania ya?" Prisa mempersilahkan laki-laki bernama Gama itu untuk duduk di kursi yang tadi ia pakai sehingga kini ia bersebelahan dengan Nania. "Makasih mbak." "Ih, lo ngapain sih disini? Kan gua udah bilang jangan kesini!" Nania malah mengomel seolah tidak suka dengan kehadiran Gama. "Eh, Nania kok ngomongnya gitu? Temen kamu udah susah-susah dateng kesini loh," mama memperingatkan bungsunya itu. Nania hanya mendecak pelan sambil memutar bola matanya malas. Sedangkan si sumber permasalahan, Gama tetap tersenyum seolah tidak ada masalah apapun atas ucapan Nania. "Kenalin tante, mbak, nama saya Gama, temannya Nania. Ini saya bawakan sesuatu." pria berparas cukup manis dan tampan itu meletakkan paperbag dengan sopan di atas meja. Ia inisiatif memperkenalkan diri sendiri karena Nania sepertinya tidak akan melakukan hal itu untuknya. "Makasih ya nak Gama," mama tersenyum. "Teman satu kelasnya Nania ya?" Prisa yang duduk di sudut ranjang mamanya tertarik ingin tahu siapa pria ini. "Iya mbak, kita sekelas terus sejak kelas sepuluh sampai sekarang. Udah deket banget sih kita." "Sejak kapan gua deket sama lo? Pede gila." Nania menyela masih dengan nada tak bersahabatnya menatap Gama tak senang. "Ih Nania, kok kamu gitu sih ngomongnya?" "Nggak papa mbak, Nania kan emang begitu orangnya, saya udah biasa dan paham kok maksudnya bukan gimana-gimana. Dia sebenarnya baik, mana pinter banget pula." Prisa langsung tertawa mendengar jawaban Gama, "oalah beneran deket kayaknya kalau sampai paham begini." "Ish, yang benar saja," Nania bicara sendiri. "Oh iya tante, kata Nania dia emang nggak boleh pacaran ya?" Gama tiba-tiba bertanya suatu hal yang membuat semua orang terkejut. Mama terkejut plus bingung mendengar pertanyaan Gama, mama malah melihat ke arah Prisa, "kamu yang larang Nania? Mama sih rasanya belum pernah larang Nania kalau emang mau punya pacar." Prisa ikut menggeleng, "aku juga nggak pernah kok." Gama menoleh melihat Nania, "kok kamu bilang kamu nggak dibolehin pacaran?" "Gua yang ga bolehin diri gua buat pacaran, apalagi sama cowok yang modelannya aneh dan absurd kayak lo." Prisa dan sang mama kontan saja tertawa melihat interaksi dua anak SMA di hadapan mereka. Bukannya kesal, Gama malah menunjukkan senyum senang. "Gama kalau mau deket sama Nania emang harus sabar banget ya," Prisa iseng untuk mendukung Gama walaupun Nania sudah menunjukkan wajah tak senang. "Wah, lagi ramai ternyata." tiba-tiba ada suara lain yang ikut hadir disana. "Ouh, Kak Deni?" Prisa lah yang kini kaget dengan kehadiran seseorang yang lain. * Setelah mengobrol sebentar, Prisa dan Deni memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di sekitar lingkungan rumah sakit meninggalkan Nania dan Gama bersama mamanya. "Yang tadi itu siapa? Temen atau pacarnya Nania?" tanya Deni penasaran. "Temen, cuma kayaknya lagi berjuang buat naklukin Nania." Prisa menjawab sambil terkekeh. Gama terlihat sangat menarik dan lucu bagi Prisa. "Berjuang naklukin Nania? Masih pedekate gitu ceritanya?" Prisa mengangguk, "ya gitu deh, kayaknya sih Gama ini suka sama Nania, tapi tahu sendiri deh Nania gimana jutek dan cueknya jadi orang. Tapi Gama nya keliatan sabar dan niat banget sih, lucu liatnya. Padahal Nania udah ngeselin banget." "Susah gitu ya luluhin Nania?" "Iya sih kelihatannya." "Sama kayak mbaknya." Prisa agak kaget mendengar ucapan Deni, ia bahkan sampai menoleh pada pria yang berjalan di sampingnya itu, "beda lah." Deni tersenyum kecil, "memang sih kamu nggak jutek dan cuek, ramah banget malah kayak kebalikan Nania. Tapi temboknya lebih tebel." Prisa tertawa, "ih apaansih kak?" "Buktinya udah jelas. Inget nggak dulu waktu SMA kita sedeket apa? Eh sampai lost contact terus ketemu lagi kayak orang asing dan mulai deket lagi seperti sekarang, hubungan kita masih belum pernah jadi apa-apa tuh. Kamu pinter banget ngasih batasan." Deni menjelaskan secara apa adanya. Prisa tersenyum kecil sambil diam-diam menghela napas berat. "Oh iya, kakak sebelumnya dapat kabar dari Hana. Katanya kemarin kamu panik banget ya? Kamu kenapa sih nggak langsung hubungin kakak? Kakak kan udah bilang kalau ada apa-apa jangan ragu buat bilang." Deni mulai membahas hal lain yang sebenarnya memang ingin ia sampaikan pada Prisa sejak awal. "Ya namanya juga panik, kak. Lagian juga si Hana bener-bener, pakai cepu segala ngomong ke kakak." Prisa menjawab sambil pura-pura kesal pada Hana. "Bukan Hana yang cepu, tapi kakak yang nanya ke Hana." "Berarti Kak Deni yang kepo banget." "Kalau bukan kamu ya kakak nggak bakal kepo Prisaaa." Deni menjawab sambil melihat Prisa dengan wajah datar. "Makasih loh udah mau ngepoin." canda Prisa sambil tertawa. "Pris, kamu sekarang ada lagi deket sama cowok nggak?" Prisa langsung menggeleng, "nggak sama siapa-siapa kayaknya." "Berarti cuma kakak dong?" Prisa langsung tertawa, "jadi ceritanya kakak lagi deketin aku nih?" "Kamu ya Pris, bener-bener deh. Ngomong-ngomong seminggu ini pasti kamu nggak istirahat dengan baik ya?" "Kenapa memangnya?" "Wajah kamu agak pucat dan mata kamu kelihatan lelah banget. Kamu baik-baik aja kan?" tanya Deni menyadari kalau Prisa memang terlihat tidak seperti biasanya. "Efek belum mandi mungkin, hari ini aku belum mandi loh hehe." Prisa menjawab santai sambil mengusap sekilas wajahnya. "Pantesan aromanya agak berbeda ya." balas Deni ikut bercanda, "kamu juga harus makan dengan baik walau mungkin kadang kamu nggak selera. Nanti kakak kasih vitamin juga ya karena kamu pasti capek banget." "Jangan terlalu perhatian gitu, kan kita cuma temen." Deni tertawa sambil memegang puncak kepala Prisa sekilas karena gemas, "makasih loh udah diingetin. Kan jadi makin semangat buat misi pedekate nya." "Yah.., malah salah paham." "Udah sebelas dua belas sama Gama ya sepertinya, wkwkwkwk."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN